Senin, 15 November 2010

CONTOH KHILAF (PERBEDAAN PENDAPAT) DI ANTARA PARA ULAMA AHLUS SUNNAH AKAN TETAPI MEREKA TIDAK SALING MENGINGKARINYA

Oleh
Abu Abdil Muhsin Firanda Ibnu Abidin



Berikut ini adalah beberapa contoh khilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama Ahlus Sunnah akan tetapi mereka tidak saling mengingkari. Namun mereka berusaha menjelaskan pendapat yang paling benar menurut mereka, tanpa adanya sikap saling menjatuhkan, terlebih lagi saling tahdzir, hajr, apalagi tabdi.

[1]. Khilaf antara Syaikh Al-Albani dan Syaikh Ibnu Baaz rahimahumallah mengenai boleh tidaknya tentara Amerika berpangkalan di Arab Saudi untuk menghancurkan Irak. Syaikh Ali bin Hasan menjelaskan bahwa khilaf ini bukanlah khilaf yang biasa-biasa saja, namun merupakan khilaf yang nyata. Meskipun demikian mereka tetap tidak saling hajr [1]. Padahal jika kita perhatikan, khilaf ini berkaitan dengan keselamatan orang banyak dan berkaitan dengan masa depan negeri Saudi. Keduanya saling mempertahankan pendapat, tetapi mereka tetap saling mencintai dan saling menghormati.

[2]. Khilaf antara Syaikh Ibnu Baaz dan Syaikh Al-Albani rahimahumallah mengenai masalah sedekap setelah ruku’ (ketika i’tidal). Syaikh Al-Albani memandang hal ini merupakan bid’ah. Sebaliknya Syaikh Ibnu Baaz memandang bahwa hal ini disyari’atkan. Namun apakah Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa orang yang berpendapat seperti pendapat Syaikh Ibnu Baaz adalah ahli bid’ah? Tentu saja tidak. Padahal Syaikh Al-Albani benar-benar meyakini bahwa hal itu merupakan bid’ah. Sedangkan setiap bid’ah adalah kesesatan, dan tiap kesesatan adalah di Neraka.

Mungkin saja nanti ada orang yang membesar-besarkan masalah ini, lalu menjadikannya sebagai ajang perpecahan, dengan alasan bahwa bid’ah itu berbahaya dan kita tidak boleh meremehkan bid’ah sekecil apapun. Pernyataan tersebut benar jika yang dimaksud adalah bid’ah yang disepakati oleh para ulama. Adapun bid’ah yang masih diperselisihkan maka pernyataan ini tidak berlaku.

[3]. Khilaf antara Syaikh Al-Albani dengan para ulama Arab Saudi tentang jumlah raka’at shalat Tarawih. Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa shalat Tarawih lebih dari 11 raka’at merupakan bid’ah. Namun apakah beliau menyatakan bahwa orang yang menyelisihi beliau adalah mubtadi? Tentu saja tidak. Bahkan beliau berkata, “Kami tidak membid’ahkan dan tidak juga menyesatkan siapa saja yang shalat Tarawih lebih dari sebelas raka’at, jika tidak jelas baginya Sunnah dan dia tidak mengikuti hawa nafsunya’ [2]

Beliau juga berkata, ‘Janganlah seorang menyangka bahwa jika kami memilih pendapat (wajibnya) mencukupkan bilangan raka’at Tarawih sesuai Sunnah (yaitu sebelas raka’at) dan tidak boleh manambah bilangan tersebut, berarti kami telah menyesatkan atau membid’ahkan mereka yang tidak berpendapat demikian dari para ulama, baik ulama yang dahulu maupun yang akan datang sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang, sehingga menjadikan hal ini sebagai kesempatan untuk mencela kami. Mereka menyangka bahwa pendapat kami tentang tidak dibolehkan atau bid’ahnya suatu perkara melazimkan bahwa siapa saja yang berpendapat bolehnya atau disunnahkannya perkara tersebut sebagai ahli bid’ah yang sesat. Sama sekali tidak melazimkan demikian. Ini adalah persangkaan yang bathil dan kebodohan yang sangat. Sesungguhnya yang dicela adalah para ahli bid’ah yang menghalangi tersebarnya sunnah dan menganggap baik seluruh bid’ah tanpa ilmu, tanpa petunjuk, dan tanpa kitab yang memberi penjelasan, bahkan tanpa taqlid terhadap para ulama, namun hanya sekedar mengikuti hawa nafsu dan mencari pujian orang awam.[3]

Beliau juga berkata : “Karena itu, kita lihat meskipun para ulama berselisih pendapat secara sengit pada sejumlah masalah namun mereka tidak saling menyesatkan dan tidak juga saling membid’ahkan satu sama lain. Satu contoh dalam hal ini, para ulama telah berselisih pendapat (bahkan) sejak zaman para sahabat tentang masalah menyempurnakan shalat wajib (empat raka’at) ketika safar. Di antara mereka ada yang membolehkan, sedangkan sebagian yang lain melarangnya dan memandang bahwa hal itu adalah bid’ah yang menyelisihi Sunnah. Meskipun demikian ternyata mereka tidak membid’ahkan orang yang menyelisihi pendapat mereka. Lihatlah Ibnu Umar, beliau berkata, ‘Shalat musafir dua raka’at, barangsiapa yang menyelisihi Sunnah maka telah kafir’. (Sebagaimana diriwayatkan oleh As-Sarraj dalam Musnad-nya XXI/122-123, dengan dua isnad yang shahih dari Ibnu Umar). Meskipun demikian Ibnu Umar tidak mengkafirkan juga tidak menyesatkan orang-orang yang menyelisihi Sunnah disebabkan ijtihadnya. Bahkan, tatkala beliau shalat di belakang imam yang memandang menyempurnakan shalat (empat rakaat), maka beliau pun ikut menyempurnakan shalat bersama imam tersebut. As-Sarraj juga meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu Umar bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di Mina dua raka’at, begitu juga Abu Bakar, Umar dan Utsman di awal masa pemerintahan beliau. Setelah itu Utsman shalat empat raka’at, dan jika beliau shalat sendirian maka beliau shalat dua raka’at.

Perhatikanlah, bagaimana keyakinan Ibnu Umar terhadap kesalahan orang yang menyelisihi Sunnah yang shahih –dengan menyempurnakan shalat empat raka’at- tidak menjadikan beliau menyesatkannya atau membid’ahkannya. Bahkan beliau shalat di belakang Utsman. Sebab, berliau tahu bahwa Utsman tidaklah menyempurnakan shalat empat raka’at karena mengikuti hawa nafsu namun beliau melakukan demikian karena ijitihad beliau.

Inilah jalan tengah yang menurut kami harus ditempuh oleh kaum muslimin untuk memperoleh solusi dari perbedaan pedapat yang timbul diantara mereka yaitu masing-masing menampakkan pendapatnya yang menurutnya benar dan sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan syarat tidak menyesatkan atau membid’ahkan orang yang tidak sesuai dengan pendapatnya tersebut..”[4]

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata :”Diriwayatkan dari Salafus Shalih jumlah bilangan raka’at Tarawih yang beraneka ragam –dalam masalah ini-, sebagaimana perkataan Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyyah, maka lapang bagi kita apa yang lapang bagi mereka. Kita telah didahulukan oleh mereka, maka tidak semestinya kita bersikap keras” [5]

Beliau juga berkata, “Ketahuilah, bahwasanya khilaf tentang jumlah bilangan raka’at shalat Tarawih -dan yang semisalnya, yang termasuk perkara-perkara yang dibolehkan ijitihad di dalamnya- hendaknya tidak dijadikan ajang perselisihan dan perpecahan umat. Terlebih lagi jika Salaf berbeda pendapat pada masalah ini. Tidak ada satu dalil pun yang melarang berlakunya ijtihad dalam perkara ini” [6]

[4]. Khilaf antara Syaikh Al-Albani dengan para Ulama Arab Saudi –di antaranya Syaikh Ibnu Baaz- tentang hukum jual beli kredit dengan harga yang berbeda dari harga kontan. [7]. Menurut Syaikh Al-Albani hal itu adalah riba, namun apakah Syaikh Al-Albani men-tahdzir dan meng-hajr para ulama Arab Saudi dengan alasan bahwa mereka membolehkan riba, dan orang yang membolehkan riba terlaknat sebagaimana dalam hadits? Tentu tidak, karena ini adalah masalah khilafiyyah ijtihadiyyah.

[5]. Khilaf antara Syaikh Al-Albani dan Syaikh Muqbil mengenai Syaikh Muhammad Rasyid Ridha. Syaikh Muqbil menyatakan bahwa Syaikh Muhammad Rasyid Ridha berada di atas kesesatan. [8] Hal ini tidak disetujui oleh Syaikh Al-Albani, dan beliau berkomentar, “Aku rasa ini adalah pensifatan yang terlalu luas dan tidak pada tempatnya, yaitu dalam memutlakkan sifat dhalal (kesesatan) kepada seperti orang ini (Muhammad Rasyid Ridha). Menurut keyakinan saya, beliau memiliki jasa terhadap banyak Ahlus Sunnah di zaman ini. Karena beliau menyebarkan dan menyeru kepada As-Sunnah dalam majalah beliau yang terkenal, Al-Manar. Bahkan pengaruhnya sampai di banyak negeri kaum muslimin non-Arab. Oleh karena itu, pendapat saya, perkataan ini adalah perkataan yang ghuluw (berlebihan) yang semestinya tidak terlontarkan dari orang seperti saudara kita, Muqbil.

Bagaimanapun juga (sebagaimana perkataan penyair):

Engkau menghendaki seorang teman yang tidak ada aibnya,
Maka dapatkan kayu gaharu mengeluarkan wangi tanpa asap..?

Meski demikian, Syaikh Al-Albani sendiri menyatakan bahwa masalah ini adalah masalah ijtihadiyyah. [9]

[6]. Khilaf antara Syaikh Muqbil dan hampir seluruh Syaikh kibar –bahkan mungkin dapat dikatakan seluruh Syaikh Salafiyyun- [10] dalam masalah menghukumi Abu Hanifah. Hampir seluruh Syaikh tersebut menyatakan bahwa Abu Hanifah merupakan salah satu Imam dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Karena itulah madzhab beliau termasuk madzhab yang diakui sejak dahulu, berbeda dengan pendapat Syaikh Muqbil. [11]

[7]. Khilaf antara Syaikh DR Muhammad bin Hadi dan Prof. DR Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al-Abbad. Syaikh Muhammad bin Hadi menganggap bahwa Yayasan At-Turats Kuwait adalah yayasan hizbiyyah dan beliau mentahdzir yayasan ini. Sedangkan Syaikh Abdurrazzaq sendiri bermu’amalah dengan yayasan tersebut. Lantas bagaimanakah sikap Syaikh Muhammad bin Hadi terhadap Syaikh Abdurrazzaq ? Apakah mereka saling hajr dan meninggalkan salam? Justru sebaliknya. Jika bertemu mereka saling berpelukan. Hal ini menunjukkan rasa cinta dan saling memahami di antara keduanya. Bahkan, meskipun Syaikh Muhammad berpendapat bahwa Syaikh Abdurrazzaq telah melakukan kesalahan, namun apa kata beliau? Beliau berkata, “Aku dan Syaikh Abdurrazzaq seperti tangan yang satu, bahkan jari yang satu” [12]

Masih banyak contoh-contoh yang lain. Namun cukuplah apa yang kami sebutkan kali ini menjadi pelajaran. Tatkala dua orang yang berselisih saling memahami bahwa keduanya sama-sama menginginkan Sunnah, sama-sama menginginkan kebenaran, maka perkaranya akan jadi lebih ringan. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Sungguh indah perkataan seorang ulama kepada orang yang menyelisihinya dalam perkara yang dibolehkan ijtihad, “Engkau dengan penyelisihanmu kepadaku sesungguhnya telah sepakat denganku, yaitu kita berdua sama-sama memandang wajibnya mengikuti ijtihad yang benar dalam masalah yang masih dibolehkan ijtihad" [13]

Dan sungguh indah ucapan Syaikh Al-Albani rahimahullah :

“Khilaf yang terjadi di antara kita adalah khilaf yang menggabungkan dan tidak mencerai-beraikan, berbeda dengan khilafnya orang lain”

Setiap orang boleh mengucapkan pendapatnya, tidak ada halangan, selama masih dalam batasan penuh adab, tanpa celaan, cercaan dan seterusnya.

“Dan bagi masing-masing ada kiblatnya yang dia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kalian (dalam) kebaikan” [Al-Baqarah : 148] [14]

[Dinukil dari buku Lerai Pertikaian, Sudahi Permusuhan Menyikapi Fenomena Hajr Di Indonesia, Fasal Kesimpulan Kesepuluh Tidak Ada Hajr Dalam Perkara Debatable, Penulis Abu Abdil Muhsin Firanda Ibnu Abidin, Penerbii Pustaka Cahaya Islam, Cetakan Ke-2 Rajab 1427H/Agustus 2006]
sumber :http://www.almanhaj.or.id/content/2317/slash/0

Tidak ada komentar:

Posting Komentar