Kamis, 31 Maret 2011

Aqidah Ahlus Sunnah Seputar Arsy



oleh :Ustadz Kholid Syamhudi


Mengenal hal-hal yang ghoib dan mengimaninya merupakan salah satu sifat kaum muttaqin sebagaimana firman Allah :

ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدَى لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

Kitab (Alquran) ini tidak ada keraguan di dalamnya ; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. [Al-Baqarah/2:2-3]

Diantara hal-hal yang penting adalah mengenal makhluq-makhluq Allah yang ghoib yang tidak tampak oleh panca indera kita, akan tetapi telah diberitakan oleh Allah melalui Al-Quran dan As-Sunnah keberadaannya, sehingga menuntut kita untuk mengetahui dan mengimaninya agar dapat dikatakan telah beriman kepada yang ghoib.

Diantara mereka adalah Arsy, tempat bersemayamnya Allah Taala sebagaimana disebutkan di 19 surat dalam Al-Quran, di antaranya.

إِنَّ رَبَّكُمُ اللهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِى الَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلاَلَهُ الْخَلْقُ وَاْلأَمْرُ تَبَارَكَ اللهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Rabb semesta alam. [Al A'raf /7:54]

وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ

Dia adalah Rabb yang memiliki 'Arsy yang agung". [At-Taubah/9:129]

إِنَّ رَبَّكُمُ اللهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُدَبِّرُ اْلأَمْرَ مَامِن شَفِيعٍ إِلاَّ مِن بَعْدِ إِذْنِهِ ذَلِكُمُ اللهُ رَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ أَفَلاَ تَذَكَّرُونَ

Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy (singgasana) untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa'at kecuali sesudah ada keizinan-Nya. Yang demikian itulah Allah, Rabb kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran. [Hud/10:3]

وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَآءِ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَلَئِن قُلْتَ إِنَّكُم مَّبْعُوثُونَ مِن بَعْدِ الْمَوْتِ لَيَقُولُنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ هَذَآلَسِحْرٌ مُّبِينٌ

Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa dan adalah 'Arsy-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan jika kamu berkata (kepada penduduk Mekah):"Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati", niscaya orang-orang yang kafir itu akan berkata:"Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata". [Yunus/11:7]

اللهُ الَّذِي رَفَعَ السَّمَاوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ يَجْرِي لأَجَلٍ مُّسَمًّى يُدَبِّرُ اْلأَمْرَ يُفَصِّلُ اْلأَيَاتِ لَعَلَّكُمْ بِلِقَآءِ رَبِّكُمْ تُوقِنُونَ

Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy, dan menundukkan matahari dan bulan.Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan.Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan(mu) dengan Rabbmu. [Ar-Rad/13:2]

قُل لَّوْ كَانَ مَعَهُ ءَالِهَةٌ كَمَا يَقُولُونَ إِذًا لاَّبْتَغَوْا إِلَى ذِي الْعَرْشِ سَبِيلاً

Katakanlah:"jikalau ada ilah-ilah di samping-Nya, sebagaimana yang mereka katakan, niscaya ilah-ilah itu mencari jalan kepada (Rabb) Yang mempunyai 'Arsy". [Al-Isra/17:42]

الرَّحْمَنُ عَلَى اْلعَرْشِ اسْتَوَى

(Yaitu) Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas 'Arsy. [Thoha/20:5]

لَوْكَانَ فِيهِمَآ ءَ الِهَةٌ إِلاَّ اللهُ لَفَسَدَتَا فَسُبْحَانَ اللهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ

Sekiranya ada di langit dan di bumi ilah-ilah selain Allah, tentulah keduanya itu sudah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan. [Al-Anbiya/21:22]

قُلْ مَن رَّبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيم

Katakanlah:"Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya 'Arsy yang besar?" [Al-Mu'minun/23:86]

فَتَعَالَى اللهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ لآإِلَهَ إِلاَّهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيم

Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya;tidak ada ilah (yang berhak disembah) selain Dia, Rabb (Yang mempunyai) 'Arsy yang mulia. [Al-Mu'minun/ 23:116]

الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَمَابَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ الرَّحْمَنُ فَسْئَلْ بِهِ خَبِيرًا

Yang Menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arsy, (Dialah) Yang Maha Pemurah, maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia. [Al-Furqan/25:59]

اللهُ لآإِلَهَ إِلاَّهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ

Allah, tiada Ilah Yang disembah kecuali Dia, Rabb Yang mempunyai'Arsy yang besar". [An-Naml/27:26]

الله الذِيْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَابَيْنَهُمَا فِيْ سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى اْلعَرْشِ مَالَكُمْ مِنْ دُوْنِهِ مِنْ وَلِي وَلاشَفِيْعٍ أَفَلا تَتَذَكَّرُوْنَ

Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy.tidak ada bagi kamu selain daripada-Nya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa'at.Maka apakah kamu tidak memperhatikan? [AS-Sajadah/32:4]

وَتَرَى الْمَلاَئِكَةَ حَآفِّينَ مِنْ حَوْلِ الْعَرْشِ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رِبِّهِمْ وَقُضِيَ بَيْنَهُم بِالْحَقِّ وَقِيلَ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِين

Dan kamu (Muhammad) akan melihat malaikat-malaikat berlingkar disekeliling 'Arsy bertasbih sambil memuji Rabb-nya; dan diberi putusan di antara hamba-hamba Allah dengan adil dan diucapkan:"Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam". [Az-Zumar/39:75]

الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَىْءٍ رَّحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ

(Malaikat-malaikat) yang memikul 'Arsy dan malaikat yang berada di sekililingnya bertasbih memuji Rabbnya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan):"Ya Rabb kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang bernyala-nyala. [Al-Mu’min/40:7]

رَفِيعُ الدَّرَجَاتِ ذُو الْعَرْشِ يُلْقِي الرُّوحَ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَن يَشَآءُ مِنْ عِبَادِهِ لِيُنذِرَ يَوْمَ التَّلاَقِ

(Dialah) Yang Maha Tinggi derajat-Nya, Yang mempunyai 'Arsy, Yang mengutus Jibril dengan (membawa) perintah-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, supaya dia memperingatkan (manusia) tentang hari pertemuan (hari kiamat), (QS. Alm-Mu'min/40:15]

سُبْحَانَ رَبِّ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ

Maha Suci Rabb Yang mempunyai langit dan bumi, Rabb Yang mempunyai 'Arsy, dari apa yang mereka sifatkan itu. [Az-Zukhruf/43:82]

هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَايَلِجُ فِي اْلأَرْضِ وَمَايَخْرُجُ مِنْهَا وَمَايَنزِلُ مِنَ السَّمَآءِ وَمَايَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَاكُنتُمْ وَاللهُ بِمَاتَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia bersemayam di atas 'arsy dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang ke luar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya.Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. [Al-Hadiid/57:4]

وَالْمَلَكُ عَلَى أَرْجَآئِهَا وَيَحْمِلُ عَرْشَ رَبِّكَ فَوْقَهُمْ يَوْمَئِذٍ ثَمَانِيَةٌ

Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung 'Arsy Rabbmu di atas (kepala) mereka. [Al-Haaqah/69:17]

ذِى قُوَّةٍ عِندَ ذِي الْعَرْشِ مَكِينٍ

Yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai 'Arsy. [At-Takwir/81:20]

ذِي الْعَرْشِ اْلمَجِيْدِ

Yang mempunyai singgasana, lagi Mahamulia. [Al-Buruuj/85:15]

Ini semua menunjukkan keberadaan dan keagungannya

Berkata Imam Ath-Thohawy : Al Arsy dan Kursi adalah benar adanya.

Akan tetapi walaupun demikian masih banyak kaum muslimin yang mengaku telah beriman kepada yang ghoib yang belum mengetahui permasalahan ini bahkan mengingkari keberadaannya walaupun mereka telah membaca Alquran dan mengerti maknanya. Oleh karena itu tampaknya perlu dibahas lagi permasalahan ini agar diketahui dan difahami sesuai dengan hakikat kebenaran yang berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah.

PENGERTIAN ARSY
Arsy merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab yang pada asalnya mengandung makna ketinggian suatu bangunan akan tetapi ia dipakai bangsa Arab untuk menunjukkan beberapa makna, diantaranya:

1. Singgasana Raja.
Berkata Al-Khalil : Alarsy adalah singgasana untuk raja [1]
Berkata Al Azhaary: dan Al Arsy dalam bahasa Arab bermakna singgasana raja , yang menunujukkan hal itu adalah singgasana Raja Saba’ yang telah dinamai Allah dengan Al Arsy, dalam firman Nya:

إِنِّي وَجَدتُّ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِن كُلِّ شَىْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ

Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. [An-Naml/ 27:23] [2]

2. Atap Rumah.
Berkata Al-Khalil : Arsyul Bait yaitu atapnya. [3]
Berkata Az-Zubaidy: Dan Al Arsy dari rumah adalah atapnya sebagaimana dalam hadits:

أَوْ كَالْقَنْدِيْلِ اْلمُعَلَّقِ بِالْعَرْشِ

atau seperti kendil yang tergantung di Al Arsy, yaitu atap.

Dan dalam hadits lain.

كُنْتُ أَسْمَعُ قِرَاءَةَ رَسُوْلِ الله عَلَى عَرْشِيْ

Aku telah mendengar bacaan Rasulullah dari atas arsy yaitu atap rumahku.

Dn dengan makna ini juga ditafsirkan firman Allah:

أَوْ كَالَّذِي مَرَّ عَلَى قَرْيَةٍ وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَى عُرُوشِهَا

Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang-orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. [Al-Baqarah/2: 259] [4]

3. Tiang Dari Sesuatu
Berkata Az-Zubaidy : Dan Al-Arsy bermakna tiang dari sesuatu. Ini pendapat Az-Zujaaj dan Al-Kisaa’i. [5]

4. Kerajaan.
Berkata Al-Azhaary : Dan Al-Arsy adalah kerajaan, dikatakan: Tsulla Arsyuhu bermakna hilang kerajaan dan keperkasaannya.[6]

5. Bagian Dari Punggung Kaki
berkata Al-Khalil : Al-Arsy di kaki adalah bagian antara al-himaar dengan jari-jari kaki di bagian atas (punggung) telapak kaki, dan al-himaar adalah tulang yang menonjol di bagian punggung telapak kaki, dan jamaknya Iraasyah dan A’rasy. [7]

Dan berkata Ibnul A’rabi : Punggung telapak kaki dinanakan Arsy dan perut telapak kaki dinamakan Alakhmash. [8]

Inilah sebagian makna Al-Arsy dalam bahasa Arab, akan tetapi makna-makna tersebut akan berubah-ubah sesuai dengan yang disandarinya. Sedangkan yang dimaksud dengan Arsy Allah adalah singgasana, sesuai dengan petunjuk yang telah ditunjukkan oleh nash-nash Al-Quran dan As-Sunnah.

Adapun syubhat yang dilontarkan orang-orang Jahmiyah bahwa makna Al-Arsy dalam firman Allah :

الرَّحْمَنُ عَلَى اْلعَرْشِ اسْتَوَى

(Yaitu) Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas 'Arsy. [Thoha/20:5]

Mengandung kemungkinan beberapa makna, sehingga tidak diketahui makna apa yang ditunjukkan ayat ini dari makna-makna tersebut.

Hal ini telah dijawab oleh Ibnu Qayim dengan mengatakan : Ini merupakan perancuan terhadap orang-orang yang bodoh dan merupakan kedustaan yang nyata, karena Arsy Allah yang Dia bersemayam diatasnya tidak memiliki makna kecuali satu makna saja, walaupun Arsy secara umum memiliki beberapa makna. Akan tetapi huruf lam disini adalah untuk menunjukkan sesuatu yang telah diketahui sebelumnya (Al ‘Ahd), maka hal itu membuat makna Arsy menjadi tertentu saja yaitu Arsy Arrobb yang bermakna singgasana kerajaannya yang telah disepakati dan diakui para rasul dan para umat kecuali orang yang menentang para Rasul….[9]

APAKAH ARSY ITU?
Pengertian Al Arsy menurut Ahlu Sunnah wal Jamaah (manhaj Salaf), adalah makhluq Allah yang tertinggi berupa singgasana seperti kubah yang memiliki tiang-tiang yang dipikul dan dikelilingi oleh para malaikat.

Berkata Al-Baihaaqy : dan pendapat para ahli tafsir tentang Al-Arsy adalah singgasana, dan dia adalah jasad yang berbentuk yang telah diciptakan Allah dan Dia perintahkan para malaikat untuk memikilnya dan beribadah dengan mengagungkan dan berthawaf padanya, sebagimana Dia menciptakan satu rumah dibumi dan memerintahkan bani Adam untuk berthawaf padanya dan menghadapkan kepadanya ketika sholat. Dan pendapat-pendapat mereka itu ada dalil penunjukkannya yang jelas dalam ayat-ayat dan hadits-hadits serta atsar-atsar. [10]

Berkata Ibnu Katsir : Dia adalah singgasana yang memiliki tiang-tiang yang dipikul oleh para malaikat dan dia seperti kubah yang menutupi alam ini dan dia adalah atapnya para makhluq. [11]

Dan berkata Adz-Dzahabiy - setelah menyebutkan kebahagian ahli syurga- : Apa yang disangka tentang Al-Arsy yang agung yang telah dijadikan Allah untuk diriNya dalam ketinggian, luas, tiang-tiang, bentuk, pemikulnya dan melaikat-malaikat berlingkar disekeliling 'Arsy serta kebagusan dan keindahannya. Sungguh telah diriwayatkan, dia dibuat dari yaquut (jenis permata yang sangat indah (pen)) yang berwarna merah. [12]. Berdalil dengan dalil-dalil sebagai berikut:

1. Dalil Al-Arsy adalah makhluq Allah yang telah Allah ciptakan:
Dari Al-Quran

ذَالِكُمُ اللهُ رَبُّكُمْ لآَإِلَهَ إِلاَّ هُوَ خَالِقُ كُلِّ شَىْءٍ فَاعْبُدُوهُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ وَكِيلٌ

(Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Rabb kamu; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu. [Al-An’am/6:102]

Maka setiap sesuatu di alam ini adalah makhluq yang Allah ciptakan dan adakan, dan Al Arsy adalah salah satu makhluq dari makhluq-makhluq Allah.

Dan firman Allah :

اللهُ لآإِلَهَ إِلاَّهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ

Allah, tiada Ilah Yang disembah kecuali Dia, Rabb Yang mempunyai 'Arsy yang besar. [An-Naml/27:26]

وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ

Dia adalah Rabb yang memiliki 'Arsy yang agung. [At-Taubah/9:129]

Berkata Al Haafidz Ibnu Hajar, firman Allah :

وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ

Dia adalah Rabb yang memiliki 'Arsy yang agung". [At-Taubah/9:129]

Memberikan isyarat penunjukkan bahwa Al-Arsy dimiliki, dan setiap yang dimiliki adalah makhluq… dan dalam penetapan tiang-tiang Al-Arsy ada penunjukan yang tegas bahwa Arsy adalah sesuatu yang tersusun dari beberapa bagian dan anggota tubuh, dan sesuatu yang tersusun demikian adalah makhluq yang diciptakan.[13]

Dari As-Sunnah.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Abu Raziin Al uqailiy, beliau berkata:

يَارَسُوْلَ الله أَيْنَ كَانَ رَبُّنَا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ خَلْقَهُ ؟ قاَلَ كَانَ فِيْ عَمَاء مَا فَوْقَهُ هَوَاءُ وَ مَا تَحَْهُ هَوَاءُ ثُمَّ خَلَقَ عَرْشَهُ عَلَى اْلمَاءِ

Wahai Rasulullah dimana dahulu Rabb kita berada sebelum menciptakan makhluqNya ? Beliau menjawab: Dia berada di ‘amaa, tidak ada diatas dan bawahnya udara, kemudian dia menciptakan Arsy-Nya diatas air. [14]

Ini adalah dalil-dalil yang digunakan oleh para ulama salaf dalam menetapkan Arsy sebagai makhluq dari makhluq Allah.

2. Dalil Al-Arsy adalah makhluq Allah yang tertinggi dan berbentuk kubah.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا سَأَلْتُمُ الله فَاسْأَلُوْهُ اْلفِرْدَوْسَ فَإِنَّهُ وَسَطُ اْلجَنَّةِ وَ أَعْلاهَا وَفَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ وَمِنْهُ تَفْجُرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ

Jika kalian meminta, mintalah Al-Firdaus, karena dia adalah tengah-tengah syurga dan yang paling tinggi dan diatasnya adalah Arsy Allah, dan darinya terpancar sungai-sungai syurga. [15]

Berkata Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah bin Abi Zamaniin dalam kitabnya Ushulus Sunnah : Dan dari pendapat Ahlus Sunnah adalah Allah telah menciptakan Al-Arsy dan mengkhususkannya dengan berada diatas dan ketinggian diatas semua makhluqNya…[16]

Dan berkata Ibnu Taimiyah : Adapun Al-Arsy maka dia berupa kubah sebagimana diriwayatkan dalam As-Sunan karya Abu Daud dari jalan periwayatan Jubair bin Muth’im, dia berkata : Telah datang menemui Rasulullah seorang A’rab dan berkata : Wahai Rasululloh jiwa-jiwa telah susah dan keluarga telah kelaparan- dan beliau menyebut hadits- sampai berkata Rasulullah :

إِنَّ الله عَلَى عَرْشِهِ وَ إِنَّ عَرْشَهُ عَلَى سَمَوَاتِهِ وَ أَرْضِهِ كَهَكَذَا وَ قَالَ بِأَصَابِعِهِ مِثْلَ اْلقُبَّةِ

Sesungguhnya Allah diatas ArsyNya dan ArsyNya diatas langit-langit dan bumi, seperti begini dan memberikan isyarat dengan jari-jemarinya seperti kubah. [17]

Dan tentang ketinggiannya Rasulullah Shallalahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا سَأَلْتُمُ الله فَاسْأَلُوْهُ اْلفِرْدَوْسَ فَإِنَّهُ وَسَطُ اْلجَنَّةِ وَ أَعْلاهَا وَفَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ وَمِنْهُ تَفْجُرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ

Jka kalian meminta, mintalah Al-Firdaus, karena dia syurga yang paling utama dan yang paling tinggi dan diatasnya adalah Arsy Allah, dan darinya terpancar sungai-sungai syurga.[18]

Dan jelaslah dengan hadits-hadits ini bahwa Al-Arsy adalah makhluq yang paling tinggi dan dia seperti kubah…[19]

3. Dalil Al-Arsy Aalah Singgasana.
Berkata Ibnu Qutaibah : Mereka mencari-cari makna lain untuk Arsy selain singgasana, sedangkan Ulama bahasa (Arab) tidak mengenal makna untuk Arsy kecuali singgasana dan apa yang digelar dari atap-atap dan yang serupanya.[20]

Berkata Ibnu Katsier : Al-Arsy dalam bahasa Arab artinya dari singgasana untuk seorang raja, sebagaimana firman Allah :

وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ

Adalah dia (ratu Bilqis) mempunyai singgasana yang besar [An-Naml : 23]

Dan bukan galaksi.

Demikian juga bangsa Arab tidak mengenal hal itu sedangkan Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab, maka dia adalah singgasana yang memiliki tiang-tiang…[21]

4. Dalil Bahwa Arsy Adalah Singgasana Yang Memiliki Tiang-Tiang
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ النَّاسَ يَصْعَقُوْنَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ فَأَكُوْنَ أَوَّلَ مَنْ يَفِيْقُ فَإِذَا أَنَا بِمُوْسَى آَخِذٌ بِقَائِمَةٍ مِنْ قَوَائِمِ اْلعَرْشِ فَلا أَدْرِيْ أَفَاقَ قَبْلِيْ أَمْ جُوْزِيَ بِصَعْقَةِ الطُّوْرِ

Sesungguhnya manusia pingsan pada hari kiamat, lalu aku adalah orang yang pertama sadar, seketika itu aku mendapatkan Musa sedang memegang sebuah tiang dari tiang-tiang Al-Arsy, maka aku tidak tahu apakah dia telah sadar sebelumku ataukah dia dibebaskan (dari pingsan tersebut) karena telah pingsan di Bukit Thur. [22]

Berkata Ibnu Abil Izz : Telah tetap dalam syariat bahwa Al-Arsy memiliki tiang-tiang. [23]

4. Dalil Bahwa Arsy Dipikul Dan Para Malaikat MelakuKan Thawaf
Dari Al-Qur'an.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَىْءٍ رَّحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ

(Malaikat-malaikat) yang memikul 'Arsy dan malaikat yang berada di sekililingnya bertasbih memuji Rabbnya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan):"Ya Rabb kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang bernyala-nyala. [Al-Mu’min:7]

وَالْمَلَكُ عَلَى أَرْجَآئِهَا وَيَحْمِلُ عَرْشَ رَبِّكَ فَوْقَهُمْ يَوْمَئِذٍ ثَمَانِيَةٌ

Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung 'Arsy Rabbmu di atas (kepala) mereka. [Al-Haaqah/69:17]

Dari As-Sunnah.
Rasululla Shallallahu alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Jabir bin Abdillah : Aku diizinkan untuk membicarakan seorang malaikat dari para malaikat Allah dari pemikul Al-Arsy, sungguh jarak antara daun telinganya sampai bahunya sepanjang perjalanan 700 tahun. [24]

Dari sini jelaslah aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah tentang Al-Arsy dan ini merupakan pendapat salaf dalam hal itu.

sumber : http://almanhaj.or.id/content/3021/slash/0

siapa itu sururi?

Oleh Syaikh Abu Anas Muhammad bin Musa Alu Nashr Hafizhahullah Sururiyah (pemahaman Surur) adalah Jamaah Hizbiyyah. Muncul pada tahun-tahun terakhir ini. Tidak dikenal kecuali pada seperempat akhir abad ini. Karena semenjak dahulu hingga sekarang, ia berselimut Salafiyyah. Pada hakekatnya, Sururiyah memiliki prinsip-prinsip Ikhwanul Muslimin, bergerak secara sirriyah (sembunyi-sembunyi/rahasia). Merupakan pergerakkan politik, takfir, mencela dan menyindir para ulama Rabbaniyyin, seperti Imam-imam kita yang tiga: Bin Baaz, Al-Albani dan Utsaimin. Menuduh mereka sebagai ulama haidh dan nifas. Setelah perang Teluk II serangannya terhadap dakwah Salafiyyah secara terang-terangan, bertambah keras baik secara aqidah dan pemberitaan. Sampai menuduh para masyayikh dan ulama kita bahwa mereka tidak mengetahui waqi’ (situasi dan kondisi/kenyataan), ilmunya dalam perkara nifas dan wanita-wanita nifas. Mereka sesuai dengan ahli bidah zaman dahulu, yang mengatakan: Fiqh (Imam) Malik, Auzai dan lainnya tidak melewati celana perempuan. Alangkah besar dosanya. Kalimat yang keluar dari mulut mereka. Orang yang tidak menghormati para ulama, dia adalah para penyeru fitnah. Orang-orang yang merendahkan Al-Albani, Bin Baz dan Utsaimin di zaman kita, maka dia tenggelam (di dalam kesesatan), pembuat fitnah, dia berada di pinggir jurang yang dalam. Karena dia berkehendak memalingkan wajah manusia kepadanya dan menghalangi manusia dari para ulama dan imam mereka yang Rabbani. Sehingga walaupun mereka mengaku beraqidah Salafiyyah, tetapi manhaj mereka Ikhwani. Bahkan (mungkin) mereka lebih berbahaya dari Ikhwanul Muslimin, karena mereka berbaju Salafiyyah. Kita memohon kepada Allah Taala agar mereka diberi petunjuk menuju jalan yang lurus, dan agar kelak mereka bersama dengan Salafiyyah yang murni, yang para Sahabat Rasulullah dan para tabiin berada diatasnya. Tambahan Redaksi Majalah As-Sunnah: Sururiyah adalah nisbat kepada seseorang yang bernama Muhammad Surur bin Nayif Zainal Abidin. Dia pernah menjadi guru di Arab Saudi dalam waktu yang cukup lama, sehingga memungkinkan menjalankan rencananya dan menyebarkan racunnya di tengah-tengah para pemuda. Tetapi setelah nampak keburukan niatnya, dia pergi, lalu bermukim di kota London, Inggris, sebuah negara kafir. Di antara kesesatan dan penyimpangan Muhammad Surur ini adalah: [1]. Merendahkan Kitab-Kitab Aqidah Salafiyyah Dan Berlebihan Dengan Fiqhul Waqi. Dia berkata di dalam bukunya, Manhajul Ambiya fi Dakwah Ila Allah I/8: Aku memperhatikan kitab-kitab aqidah, maka aku lihat kitab-kitab itu ditulis bukan pada zaman kita. Sehingga kitab-kitab itu sebagai solusi berbagai permasalahan dan kemusykilan pada zaman ditulisnya kitab-kitab tersebut. Sedangkan pada zaman kita terdapat berbagai kemusykilan yang membutuhkan solusi yang baru. Kerena itulah model kitab-kitab aqidah itu sangat kering, karena hanya berisi nash-nash dan hokum-hukum. Karena inilah kebanyakan pemuda berpaling darinya dan tidak menyukainya. Perkataan orang ini tentulah sangat menyesatkan, karena kitab-kitab aqidah yang berisi nash-nash dan hukum-hukum merupakan kebenaran hakiki. Sedangkan berpaling darinya akan menjerumuskan kepada pendapat si Fulan dan Fulan yang tidak jelas kebenarannya. [2]. Beraqidah Takfir Bil Mashiyah, Yaitu Mengkafirkan Kaum Muslimin Dengan Sebab Maksiat. Dia mengkafirkan para penguasa zhalim, sehingga dia banyak mencela para penguasa dan menerjuni medan politik ala Barat! Dia berkata di dalam majalahnya yang terbit di London, majalah As-Sunnah no: 26, Jumadal Ula 1413H, hal: 2-3 (Tidak ada hubungan sama sekali dengan Majalah As-Sunnah kita ini): Dizaman ini perbudakan memiliki tingkatan-tingkatan yang berbentuk piramida: Tingkatan Pertama: Presiden Amerika Serikat, George Bush, duduk bersila di atas singgasananya, yang besok akan diganti Clinton. Tingkatan Kedua: Tingkatan penguasa negara-negara Arab. Mereka ini berkeyakinan bahwa kebaikan dan bahaya mereka di tangan Bush (Bagaimana dia bisa memastikan aqidah mereka seperti itu? Apakah dia telah membedah dada mereka? Atau mereka memberitahukan kepadanya? Maha suci Engkau wahai Allah, sesungguhnya hal ini merupakan kedustaan yang besar!-red). Oleh karena inilah mereka berhajji kepada (mengunjungi) nya, serta mempersembahkan nadzar-nadzar dan kurban-kurban (Perkataan ini merupakan pengkafiran secara nyata kepada Penguasa yang zhalim! -red). Tingkatan Ketiga: Para pengiring penguasa negara-negara arab, dari kalangan menteri, wakil menteri, komandan tentara, dan para penasehat. Mereka ini bersikap nifaq kepada tuan-tuan mereka, menghias-hiasi segala kebatilan dengan tanpa malu dan ahlaq. Tingkatan Keempat, Kelima dan Keenam: Para penjabat tinggi pada kementerian. Sesungguhnya perbudakan pada zaman dahulu sederhana, karena seorang budak memiliki seorang tuan secara langsung, tetapi sekarang perbudakan itu kompleks. Aku tidak habis fikir, tentang orang yang membicarakan tauhid, tetapi mereka adalah budak-budak, yang dimiliki oleh budak-budak, yang dimiliki oleh budak-budak, yang dimiliki oleh budak-budak, yang dimiliki oleh budak-budak. Tuan mereka yang akhir adalah seorang Nashrani (Alangkah keji dan lancangnya perkataan yang ditujukan kepada para ulama yang dimuliakan oleh Allah Taala ,-red). Perkataan orang ini dengan jelas menunjukkan kesesatan dan kedustaan yang nyata!. [3] .Juga Mengkafirkan Rakyat Karena Maksiat Yang Mereka Lakukan. Dia berkata di dalam bukunya, Manhajul Ambiya Fi Dakwah ila Allah I/158: Tidaklah aneh jika problem laki-laki mendatangi laki-laki (homo seksual) merupakan permasalahan paling penting di dalam dakwah Nabi Luth. Kerena seandainya kaumnya menyambut dakwahnya untuk beriman kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya, maka sambutan mereka itu tidak ada maknanya, jika mereka tidak meninggalkan kebiasaan keji yang telah mereka sepakati itu. Itulah aqidah sesat Surur! Adapun aqidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah terhadap pelaku dosa besar telah mansyur, yaitu tidak keluar dari iman, tetapi imannya berkurang, dan dia dikhawatirkan terkena siksaaan Allah Taala. [4]. Memusuhi Dan Mencela Para Ulama Ahlus Sunnah As-Salafiyyin. Dia berkata di majalahnya yang terbit di London, Majalah As-Sunnah no. 23, Dzulhijjah-1412 H hal. 29-30: Dan jenis manusia yang lain (Yang dimaksudkan adalah para ulama Arab Saudi ,-red) mengambil (yakni mengambil bantuan resmi) dan mengikatkan sikap-sikap mereka dengan sikap para tuan mereka (yang dimaksud dengan tuan mereka disini adalah para penguasa Arab Saudi). Maka jika sang tuan minta bantuan Amerika (Dia membicarakan masalah permintaan tolong kepada Amerika pada waktu perang teluk-red), para budak pun berlomba mengumpulkan dalil-dalil yang membolehkan perbuatan ini, dan mengingkari orang-orang yang menyelisihi mereka. Jika sang tuan berselisih dengan Iran Rafidhah, para budakpun membicarakan kebusukan Rafidhah. Dan jika perselisihan berhenti, para budakpun diam dan berhenti membagikan buku-buku yang diberikan kepada mereka. Jenis manusia ini: mereka berdusta, memata-matai, menulis laporan-laporan, dan melakukan segala sesuatu yang diminta oleh sang tuan kepada mereka. Mereka ini jumlahnya sedikit -al-hamdulillah-, mereka adalah orang-orang asing di dalam dakwah dan amal islami. Dokumen mereka telah terbongkar, walaupun mereka memanjangkan jenggot, memendekkan pakaian, dan menyangka sebagai penjaga sunnah. Adanya jenis manusia tersebut tidaklah membahayakan dakwah Islam. Kemunafikan sudah ada sejak dahulu. Alangkah sesatnya perkataan ini, karena memperolok-olok sunnah Nabi dapat membawa kepada kekafiran! Membenci ulama Ahlus Sunnah adalah ciri utama Ahli Bidah! Dan kesesatan-kesesatan lainnya. Lihat: [1] Fitnah Takfir Wal Hakimiyah, hal: 93, Karya: Muhammad bin Abdullah Al-Husain. [2] Al-Ajwibah Al-Mufidah An As-ilah Al-Manhaji Al-Jiddah, Bagian Pertama hal. 45-48 [3] Nazharat Fi Kitab Manhajul ambiya Fi Dakwah ila Allah, karya : Syaikh Ahmad Sallam. [4] Al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Farifuuha, karya: Abu Ibrahim Ibnu Sulthan Al-Adnani [5] Al-Irhab, Karya: Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Makhdali. [6] Dan lain-lain. Peringatan: Sebagian orang menuduh kami (redaksi dan ustad-ustad Salaf lainnya ,-pen) sebagai sururi, yakni mengikuti pemahaman sesat Muhammad bin Surur, kemudian mereka memperingatkan kaum muslimin agar menjauhi kami. Padahal sifat-sifat sururi tidak ada pada kami. Bahkan sifat-sifat itu banyak melekat pada orang-orang yang telah menuduh. Maka disini kami nasehatkan dengan beberapa ayat dan hadits tentang bahaya menyakiti kaum muslimin, dan memfitnah mereka dengan perkara yang tidak ada pada mereka. Semoga Allah Taala memberikan petunjuk-Nya kepada mereka sehingga segera kembali ke jalan yang benar. Ingatlah bahwa seluruh perkataan pasti akan dicatat dan tidak akan dilupakan! Allah Taala berfirman: Artinya : (Yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu usapanpun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir [Al-Israa : 17-18] Ingatlah bahwa seluruh perkataan pasti dimintai pertanggung-jawaban! Allah Taala berfirman: Artinya : Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya. [Al-Israa : 36] Ketahuilah bahwa menyakiti orang-orang mumin dan muminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, merupakan kebohongan dan dosa yang nyata! Allah taala berfirman: Artinya : Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mumin dan muminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. [Al-Ahzab :58] Ketahuilah bahwa satu kalimat saja dapat menyebabkan seseorang terjerumus ke dalam neraka lebih jauh dari jarak antara timur dan barat!. Rasulullah bersabda: Artinya : Sesungguhnya ada seorang hamba berbicara dengan satu kalimat yang dia fikirkan (baik atau buruknya) pada kalimat itu. Kalimat itu menyebabkan dia terjerumus ke dalam neraka lebih jauh dari timur dan barat. [HR. Bukhari, Muslim, dari Abu Hurairah]. Rasulullah memperingatkan bahaya tuduhan yang tidak benar dengan sabdanya: Artinya Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan kefasikan, dan tidaklah dia menuduh orang lain dengan kekafiran, kecuali tuduhan itu kembali kepadanya jika yang dituduh tidak seperti itu. [HR. Bukhari dari Abu Dzar]. Beliau juga memberitakan ancaman bagi orang yang membuat fitnah atas seorang mukmin dengan abdanya: ÃArtinya : Barangsiapa berbicara tentang seorang mukmin apa yang tidak ada padanya, niscaya Allah tempatkan dia di dalam lumpur racun penghuni neraka sampai dia keluar dari apa yang telah dia ucapkan, dan dia tidaklah akan keluar! [HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Baihaqi, dari Ibnu Umar, di shahihkan Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi di dalam Ruyah Waqiiyyah hal: 84] Hendaklah saudara-saudaraku mengetahui, kalau hanya sekedar tuduhan, maka dengan sangat mudah setiap orang akan dapat melakukannya. Tetapi hal itu bukanlah manhaj Salaf. Karena manhaj mereka adalah mengawasi apa saja yang muncul dari lisan, atau apa yang digerakkan oleh lisan, dan menegakkan hujjah terhadap setiap kalimat yang dibicarakan oleh bibir. Adapun melepaskan tuduhan-tuduhan, melepaskan istilah-istilah kasar, menyelinapkan prasangka-prasangka rusak, memunculkan gelar-gelar keji, semua itu merupakan kebatilan dan perkataan yang dusta. Sesungguhnya Allah Taala mengetahui seluruh isi hati hamba-Nya terakhir, ingatlah sabda Rasulullah : Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan segala yang telah dia dengar. [HR. Muslim di dalam Muqaddimah dari Hafsh bin Ashim] sumber : http://almanhaj.or.id/content/968/slash/0

Senin, 28 Maret 2011

Menikah dengan Anak Wanita Hasil Zinanya

  • Tidak ada hubungan nasab antara laki-laki dengan anak yang lahir karena hasil zinanya,
  • keduanya tidak saling mewarisi,
  • tidak boleh anak tersebut di nasabkan kepadanya,
  • tidak ada kewajiban memberi nafkah dan lainnya,

…. ada sebuah pertanyaan yang terlontar, yaitu :
Kalau memang tidak ada hubungan nasab antara keduanya, lalu bolehkah bagi seorang bapak untuk menikah dengan seorang anak wanita yang merupakan hasil dari zinanya sendiri?
Pertanyaan ini kelihatannya aneh, karena kayaknya secara fithroh manusia, seseorang tidak akan berfikir untuk melakukan itu. Namun terbersit dalam pikiran saya, bahwa pertanyaan semacam ini mungkin saja nongol di benak sebagian kaum muslimin di belahan bumi lainnya, dari sinilah maka pembahasannya saya munculkan di edisi kali ini, mudah-mudahan Alloh menjadikannya bermanfaat.

B. Zina perbuatan keji dan munkar

Berzina adalah perbuatan keji dan munkar dalam pandangan semua agama, tidak pernah ada agama satupun yang membolehkannya. Dan Alloh Ta’ala dengan tegas mengharamkannya  juga mengharamkan semua jalan yang menuju pada perbuatan keji ini.
Alloh berfirman :

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kalian mendekati perbuatan zina, karena itu adalah perbuatan keji dan jalan yang  jelek.” (QS. Al Isro’ : 32)
oleh karena itu Rosululloh menjadikan zina ini adalah diantara salah satu penyebab seorang muslim boleh untuk dibunuh

عَنْ عَبْدِاللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ النَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالثَّيِّبُ الزَّانِي وَالْمَارِقُ مِنَ الدِّينِ التَّارِكُ لِلْجَمَاعَةِ

Dari Abdulloh bin Mas’ud dari Rosululloh bersabda : “Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwasannya tiada Ilah yang berhak disembah melainkan Alloh dan sesungguhnya saya adalah Rosululloh kecuali dengan salah satu dari tiga perkara : Membunuh jiwa,  orang yang sudah pernah nikah lalu berzina dan orang yang meninggalkan agamanya dan menyelisihi jamaah.”
(HR. Bukhori  6878, Muslim 1676)
perbuatan zina ini sebagaimana bertentangan dengan syara’, juga bertentangan dengan akal sehat, sampaipun akalnya para binatang. Perhatikanlah kisah aneh yang dikisahkah oleh Imam Bukhori no : 3849

عَنْ عَمْرِو بْنِ مَيْمُونٍ قَالَ رَأَيْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ قِرْدَةً اجْتَمَعَ عَلَيْهَا قِرَدَةٌ قَدْ زَنَتْ فَرَجَمُوهَا فَرَجَمْتُهَا مَعَهُمْ

Dari Amr bin Maimum Al Audi berkata : “Saya melihat pada zaman jahiliyyah kera-kera mengepung seekor kera yang berzina. Lalu mereka merajamnya , maka saya pun ikut merajamnya.”
Subhanalloh, wahai orang yang melakukan dan melegalisasikan perzinaan, apakah kalian tidak malu denga si kera, yang merajam temannya sendiri karena berzina ataukah kalian lebih rendah daripada si kera ? wal iyadzu billah dari kerusakan akal dan hati.
Oleh karena itu Alloh menjadikan hukuman perbuatan zina ini sangat berat, lebih berat dari pada hukuman pembunuhan, pencurian dan lainnya. Bagi orang yang muhshon (sudah pernah  menikah secara halal) maka hukumannya adalah dirajam sampai meninggal dunia sedangkan bagi yang belum menikah maka dicambuk seratus kali lalu diasingkan selama setahun.
Alloh Ta’ala berfirman :

لزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ

“Perempuan yang berzina dengan laki-laki yang berzina, maka cambuklah keduanya seratus kali cambukan, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama Alloh.” (QS. An Nur : 2)
Dari Jabir bin Abdillah al Anshori : bahwasanya ada seseorang dari kabilah Aslam datang kepada Rosululloh dan mengatakan bahwa dirinya telah berzina, dan dia bersaksi empat kali atas hal itu, maka Rosululloh memerintahkannya untuk dirajam. Dan dia itu adalah seorang yang muhshon.” (HR. Tirmidzi : 1454, Abu Dawud : 4407 lihat Shohih Abu Dawud : 3725)
Dan tidak sampai disini saja, tapi Rosululloh juga menafikan nama iman bagi orang yang berzina, sebagaimana dalam hadits

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ

Dari Ibnu Abbas berkata : “Rosululloh bersabda : “Tidaklah seorang hamba berzina saat dia berzina dalam keadaan beriman.” (HR. Bukhori  : 6772)

C. Nasab anak zina

Namun dengan keharaman yang sangat keras tersebut, bisa saja seorang muslim karena kelemahan imannya terjerumus kedalamnya. Yang dari hubungan haram tersebut sangat dimungkinkan lahirnya seorang anak, lalu bagaimanakah dengan masalah nasabnya ?
Para ulama’ sepakat bahwa apabila seorang laki-laki berzina dengan seorang wanita, lalu dia hamil dari hasil zina tersebut dan melahirkan seorang anak, maka anak tersebut dinasabkan kepada ibunya dan tidak ada hubungan nasab sama sekali antara dia dengan laki-laki yang menghamili ibunya.
(Lihat masalah ini pada At Tamhid oleh Imam Ibnu Abdi  Bar 7/183, Al Istidzkar oleh beliau juga 22/177, Al Majmu’ Syarah Muhadzab oleh Imam Nawawi 19/48, Al Muhalla oleh Ibnu Hazm 10/323, Zadul MA’ad oleh Imam Ibnul Qoyyim)
Hal ini berdasarkan hadits berikut :

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَجُلًا لَاعَنَ امْرَأَتَهُ فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَانْتَفَى مِنْ وَلَدِهَا فَفَرَّقَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَهُمَا وَأَلْحَقَ الْوَلَدَ بِالْمَرْأَةِ

Daro Abduloih bin Umar berkata : “Sesungguhnya seorang laki-laki meli’an 1isrtinya pada zaman Rosululloh dan tidak mengakui anaknya, maka belia memisahkan antara keduanya da n menasabkan anak tersebut kepada ibunya.” (HR. Bukhori : 6748, Muslim : 1494)

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ اخْتَصَمَ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ وَعَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ فِي غُلَامٍ فَقَالَ سَعْدٌ هَذَا يَا رَسُولَ اللَّهِ ابْنُ أَخِي عُتْبَةَ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ عَهِدَ إِلَيَّ أَنَّهُ ابْنُهُ انْظُرْ إِلَى شَبَهِهِ وَقَالَ عَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ هَذَا أَخِي يَا رَسُولَ اللَّهِ وُلِدَ عَلَى فِرَاشِ أَبِي مِنْ وَلِيدَتِهِ فَنَظَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى شَبَهِهِ فَرَأَى شَبَهًا بَيِّنًا بِعُتْبَةَ فَقَالَ هُوَ لَكَ يَا عَبْدُ بْنَ زَمْعَةَ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ

Dari Aisyah berkata : Sa’ad bin Abi Waqqosh dan Abd bin Zam’ah bertengkar mengenai seorang anak, Sa’d berkata : Wahai Rosululloh,, ini adalah keponakanku (anak saudaraku)  yang bernama Utbah bin Abi Waqqosh, dia berpesan kepadaku bahwa ini ini adalah anaknya, lihatlah pada kemiripan antara keduanya.”
Lalu Abd bin Zam’ah berkata : “Wahai Rosululloh, ini adalah saudaraku, dia terlahir di firosy 2 bapakku dari budak wanitannya.”
Maka, Rosululloh pun memandanganya dengan cermat dan beliau melihat adanya kemiripan yang jelas  antara  dia dengan Utbah bin Abi Waqqosh, namun beliau bersabda : “Dia saudaramu wahai Abd bin Zam’ah, Anak itu milik yang memiliki firosy, dan bagi seorang pezina hanyalah kerugian.” (HR. Bukhori : 6750, Muslim 2/180)
Sisi pengambilan dalil dari hadits ini adalah sabda Rosululloh : “Dan bagi seorang pezina hanyalah kerugian.” Yang mana konsekwensinya bahwa seorang yang berzina tidak memiliki nasab anak tersebut, karena dia tidak memiliki firosy.
Adapun kenapa kok di nasabkan kepada ibunya ? maka jawabannya jelas yaitu karena anak itu memang terlahirdari rahim ibu tersebut, sama saja apakah lahir karena nikah syar’i ataukah kerena zina. (Lihat Fathul Bari 10/36, Al Majmu’ Syarah Muhadzab 19/38)
Yang mana konsekwensi dari tidak adanya hubungan nasab antara keduanya adalah keduanya tidak saling mewarisi, laki-laki tersebut tidak boleh menjadi wali pernikahan anak  perempuan dari hasil zinanya dan beberapa hal lainnya yang seharusnya di perbolehkan bagi seorang bapak pada anaknya.

D. Lalu bagaimana dengan menikahinya?

Dinukil adanya dua pendapat ulama’ dalam masalah ini.
  • Imam Syafi’i dan Malik dalam riwayat yang masyhur dalam madzhab mereka membolehkan menikah dengan anak perempuan dari hasil zinanya. (Lihat Al Um oleh Imam Syafi’i 5/42 3, Al Majmu’ oleh Nawawi 17/386, Roudlotuth Tholibin 5/447, At Tamhid oleh Ibnu Abdil Barr 8/191). Hanya saja Imam Ahmadmengingkari bahwa hal ini pernah di katakan oleh Imam Syafi’i dan Malik (Lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah 32/142) juga Imam Ibnul Qoyyim dan Syaikh Al Albani mengingkari pendapat ini pernah dikatakan oleh Imam Syafi’i (Lihat i’lamul Muwaqqi’in 1/47, Tahdzirus Sajid hal : 53)
Dalil yang mereka gunakan adalah bahwa anak perempuan hasil zina tersebut bukan anak perempuannya secara hukum syar’i, oleh karena itu keduanya tidak saling mewarisi, tidak wajib memberi nafkah dan tidak boleh menjadi wali dalam pernikahan anak wanita tersebut serta tidak berlaku seluruh hubungan nasab antara keduanya, maka kalau memang anak wanita tersebut secara syar’i bukan anaknya, berarti tidak masuk dalam keumuman firman Alloh :

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ

“Dan diharamkan bagi kalian menikahi ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu…” (QS. An Nisa’ :23)
dan malah kebalikannya termasuk dalam keumuman firman Alloh :

وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ

“Dan dihalakan bagi kalian semua selain yang demikian.” (QS. An Nisa’ : 24)
  • Sedangkan Imam Abu HanifahImam Ahmad dan jumhur Ulama’ melarang seorang laki-laki menikah dengan anak wanita hasil zinanya dengan dalil bahwa dia termasuk dalam keumuman firman Alloh Ta’ala, yang artinya :
“Dan diharamkan bagi kalian menikahi ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu…” (QS. An Nisa’ : 23)
karena lafadz :  “anak-anak perempuan kalian.” Mencakup semua anak perempuannyadan anak tersebut memang tercipta dari air maninya. (Lihat Al Mughni oleh Imam Ibnu Qudamah 9/529, Bada’i Shona’i oleh Al Kasani 3/1385)
dan madzhab inilah yang benar –insya Alloh -.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah setelah memaparkan kedua madzhab berkata :
“Dan pendapat (kedua) inilah yang benar, sehingga jumhur ulama’ berselisih pendapat apakah orang yang melakukan pernikahan tersebut dihukum  bunuh ataukah tidak ? mereka berselisih menjadi dua pendapat. Imam Ahmad menyatakan bahwa yang melakukannya dibunuh apabila tanpa alasan.” (Majmu’ Fatawa 32/134)

E. Bantahan kepada mazhab pertama :

Adapun apa yang mereka katakan bahwa antara keduanya tidak ada hubungan nasab, maka telah dibantah dengan sangat bagus oleh Syaikhul Islam,  Beliau berkata : “Adapun dalil madzhab jumhur Ulama’  adalah firman Alloh (yang artinya):
“Dan diharamkan bagi kalian menikahi ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu…”
(QS. An Nisa’ : 23)
Ayat ini mencakup semua yang disebut sebagai “anak wanita” baik secara hakikimaupun majazi, sama saja apakah antara kedanya terdapat hubungan saling mewarisi dan hukum-hukum nasab lainnya ataukah tidak ? karena keumuman yang terdapat pada ayat tahrim (wanita yang diharamkan menikahinya, yang terdapat pada An Nisa’ : 22-25) itu bukan seperti keumuman yang terdapat pada ayat warisan serta ayat lainnya seperti pada firman Alloh :

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ

(QS An Nisa’ : 11)
hal ini bisa dijelaskan dari tiga sisi :
Pertama :
Bahwa ayat tahrim mencakup anak wanita, cucu wanita dari anak laki-laki, cucu wanita dari anak wanita, sebagaimana  kata : “bibi” juga mencakup bibinya bapak, juga mencakup ibu dan kakeknya bapak. Demikian juga mencakup anak wanita dari saudara wanita, serta anak wanita dari keponakan laki-laki dan anak wanita dari keponakan wanita. Dan keumuman seperti ini tidak terdapat dalam  ayat warisan juga ayat lainnya yang berhubungan dengan hukum nasab.
Kedua :
Sesungguhnya haramnya menikah bisa terjadi karena sebab susuan, sebagaimana sabda Rosululloh :
“Diharamkan karena hubungan  persusuan sebagaimana diharamkan karena hubungan nasab.”
(HR. Bukhori Muslim)
Hadits ini disepakati keshohihannya serta diamalkan oleh seluruh para ulama’. Dari sini Alloh mengharamkan seorang wanita untuk menikah dengan seorang laki-laki yang pernah dia beri minum air susunya, juga tidak boleh baginya untuk menikah dengan anak keturunan anak tersebut, dan anak tersebut tidak boleh menikah dengan ibu serta bibi dari ibu susunya, bahkan anak susu wanita haram menikah dengan suami ibu susunya, maka jika seorang laki-laki haram menikah dengan anak wanita yang disusui istrinya  padahal antara keduanya tidak ada hubungan nasab apapun selain sekedar menjadi mahrom saja, lalu bagaimana halal menikah dengan anak wanita hasil zinanya ? padahal dia tercipta dari air maninya ? mana yang lebih berat antara yang tercipta dari air maninya ataukah yang sekedar minum air susu istrinya ?
Ketiga :
Alloh berfirman :

وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ

“Dan istri anak-anak kandung kalian.” (QS. An Nisa’ : 23)
Para ulama’ berkata : Hal ini untuk mengeluarkan anak angkatnya, sebagaimana dalam firman Nya :

وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ

“Dan Alloh tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak-anak kalian(QS. Al Ahzab : 4)
dan diketahui bersama bahwa orang-orang pada zaman jahiliyyah mereka menganggap anak zina sebagai anaknya itu lebih mereka utamakan daripada anak angkat, maka kalau Alloh mengkhususkan keharaman hanya untuk anak anak kandung, berarti lafadz : “anak-anak wanita kalian.” Mencakup semua anak wanita yang masuk dalam cakupan bahasa mereka saat itu.
Adapun yang mereka katakan bahwa keduanya tidak saling mewarisi, maka jawabannya bahwa hukum nasab itu bisa terpisah-pisah, mungkin saja berlaku sebagian hukum nasab tanpa sebagian lainnya, sebagaimana sebagian besar yang menentang jumhur ulama; dalam masalah ini sepakat bahwa anak yang di li’an itu haram bagi bapak yang meli’annya namun tidak mewarisinya, juga sebagaimana kisahAbd ibnu Zam’ah, dimana setelah Rosululloh menghukumi bahwa anak itu adalah saudara Abd ibnu Zam’ah, namun beliau berkata kepada Saudah binti Zam’ah :“Berhijablah engkau darinya wahai Saudah.”
Di hadits ini Rosululloh menjadikannya sebagai saudara Saudah dalam hal saling mewarisi namun tidak dalam kemahroman.” (Lihat Majmu’ Fatawa 32/142 dengan sedikit diringkas, dan lihat pula Tafsir Ibnu Katsir  1/469, Jami’ Ahkamin Nisa’ 3/43)
Wallohu a’lam
Sumber :http://ahmadsabiq.com/2010/07/20/nikahi-anak-hasil-zina/

Jumat, 25 Maret 2011

HUKUM JAMA’AH KEDUA DALAM SATU MASJID

HUKUM JAMA’AH KEDUA DALAM SATU MASJID


Sangat sering terjadi pengulangan berjama’ah dalam satu masjid, sehingga lebih dari dua jama’ah. Bahkan terkadang terjadi dua jama’ah dalam satu waktu. Adanya kenyataan ini mengharuskan kita mengetahui tinjauan hukum syari’at tentangnya, agar semakin jelas permasalahan dan hukum syari’atnya.

Melihat keadaan jama’ah kedua dalam satu masjid, disebabkan karena beberapa kondisi.

Pertama : Melakukan jama’ah kedua pada satu masjid yang tidak memiliki imam rawatib. Hal ini diperbolehkan [1], dan merupakan ijma’ sebagaimana dinukil oleh Imam Nawawi. Beliau menyatakan, “Apabila masjid tidak memiliki imam rawatib (tetap), maka -menurut ijma’- diperbolehkan mengadakan jama’ah kedua dan ketiga atau lebih.” [2]

Kedua : Melakukan jama’ah kedua pada satu masjid yang ada imam rawatibnya, namun dilakukan karena kapasitas masjidnya tidak mampu menampung seluruh jama’ah shalat. Demikian juga hal ini diperbolehkan.

Ketiga : Melakukan jamaah kedua di masjid yang sama pada waktu yang bersamaan pula. Hal ini disepakati oleh para ulama keharamannya [3] dan dikuatkan dengan beberapa hal.

a. Hal ini menyelisihi amalan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, karena kejadian ini tidak pernah ada pada zaman mereka. Syaikh ‘Alisi Al Mishri menjelaskan, bahwa awal terjadinya berbilang jama’ah dalam satu masjid terjadi pada abad keenam dan belum pernah ada sebelumnya [4].

b. Menyelisihi hikmah pensyari’atan berjama’ah, yang berupa kesatuan hati dan persatuan. Jama’ah kedua yang dilakukan pada masjid dan waktu yang sama, tentu akan memecah-belah persatuan dan kesatuan hati kaum muslimin.

c. Mengganggu dan memecah konsentrasi serta kekhusyukan orang yang shalat.

d. Tidak dapat melakukan taswiyatus shufuf (merapatkan dan meluruskan shaf). Ini tentunya menyelisihi anjuran dan ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

e. Terdapat penghinaan dan celaan kepada iman rawatib. Padahal para imam madzhab, khususnya madzhab Syafi’iyah dan Hambaliyah sangat menganjurkan penjagaan hak imam rawatib. Tidak boleh selainnya menegakkan jama’ah bila ia tidak ada di masjid, kecuali dengan udzur, seperti: tidak mungkin ia hadir di masjid dan takut hilang waktu shalat. [5]

Keempat : Mengerjakan jama’ah lebih dari sekali di mushala-mushala pinggir jalan dan pasar (pusat perbelanjaan). Hukum jama’ah ini diperbolehkan, walaupun ada jama’ah ketiga, keempat dan seterusnya. Sebabnya, karena mushala-mushala ini tidak dapat diatur jama’ahnya, silih berganti datangnya.[6] Imam Syafi’i berkata,“Adapun masjid yang dibangun di pinggir jalan atau pojokannya yang tidak ada mu’adzin tetap dan juga tidak ada imam tetapnya, tempat shalat dan istirahat orang yang lalu-lalang disana, maka aku tidak melarangnya.” [7]

Kelima : Imam mengulangi shalatnya berjama’ah dua kali, dengan mengimami satu shalat dua kali. Ini diharamkan. Walaupun ia berniat shalat yang kedua mengqadha shalat yang terlewatkan. Apalagi shalat fardhu harus pada waktunya. Ini disepakati oleh para imam madzhab sebagai perkara yang haram.[8]

Keenam : Mengerjakan jama’ah kedua dalam masjid yang ada imam rawatibnya setelah selesai jama’ah pertama bersama imam rawatib. Pada masalah ini terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama.

Pendapat Pertama : Melarang secara tegas dan orang yang tertinggal pada jama’ah pertama hendaklah shalat sendirian.

Demikian ini pendapat Imam Sufyan Ats Tsauri, Abdullah bin Al Mubarak, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris Asy Syafi’i, Laits bin Sa’ad, Al Auza’i, Az Zuhri, Utsman Al Bitti, Rabi’ah, An Nu’man bin Tsabit Abu Hanifah, Ya’qub bin Ibrahim Abu Yusuf Al Qadhi, Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani, Al Qasim, Yahya bin Sa’id, Salim bin Abdillah, Abu Qilabah, Abdurrazaq Ash Shan’ani, Ibnu ‘Aun, Ayub As Sakhtiyani, Al Hasan Al Bashri, ‘Al Qamah, Al Aswad bin Yazid, An Nakha’i dan Abdillah bin Mas’ud.

Dalam menetapkan pendapatnya, ulama-ulama ini mengambil dalil nash dan akal. Adapun dari nash, dinukil dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, terdiri dari tiga sisi, Al Qur’an, As Sunnah (Hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) dan atsar para sahabat.

a. Dalil Al Qur’an
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِّمَنْ حَارَبَ اللهَ وَرَسُولَهُ مِن قَبْلُ لَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَآ إِلاَّ الْحُسْنَى وَاللهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ

Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang. orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mu'min), untuk kekafiran dan untuk memecah-belah antara orang-orang mu'min serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan RasulNya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah,"Kami tidak menghendaki selain kebaikan." Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). [At Taubah:107].

Dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ , menunjukkan secara jelas larangan memecah-belah kaum muslimin, sehingga wajib bagi mereka untuk menyatukan kekuatan. Hal ini tidak bakal terjadi, kecuali dengan berjama’ah bersama imam rawatib.

Imam Al Qadhi Abu Bakr Ibnul ‘Arabi menjelaskan maksud ayat ini dengan pernyataannya,“Maknanya, mereka berada pada satu jama’ah di satu masjid. Lalu kaum munafiq ingin memecah-belah kesatuan mereka dalam ketaatan, dan mengajak mereka kepada kekufuran dan maksiat. Ini menunjukkan, bahwa tujuan terbesar dan jelas dalam penetapan jama’ah ialah menyatukan hati dan persatuan dalam ketaatan. Mengendalikan dan melarang melakukan perbuatan yang rendah, sehingga timbul rasa senang berkumpul serta membersihkan hati dari noda kedengkian dan iri hati. Imam Malik mengerti akan makna ini, ketika menyatakan,’Tidak boleh ditegakkan shalat dua jama’ah dalam satu masjid, baik dengan dua imam atau satu imam’. Beliau menyelisihi ulama lainnya.” [9]

b. Hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Mereka berdalil dengan hadits Abu Bakroh Radhiyallahu 'anhu yang berbunyi:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ أَقْبَلَ مِنْ نَوَاحِيْ المَدِيْنَةِ يُرِيْدُ الصَّلاَةََ فَوَجَدَ النَّاسَ قَدْ صَلَّوْا فَمَالَ إِلَى مَنْزِلِهِ فَجَمَعَ أَهْلَهُ فَصَلَّى بِهِمْ

Sesungguhnya Rasulullah datang dari pinggiran Madinah ingin menunaikan shalat. Lalu mendapati orang-orang telah selesai shalat berjama’ah. Kemudian beliau pulang ke rumahnya dan mengumpulkan keluarganya dan mengimami mereka shalat.[10]

Hadits ini menunjukkan, tidak bolehnya jama’ah kedua. Karena seandainya diperbolehkan, tentu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak meninggalkan keutamaan masjid Nabawi.[11]

Ibnu ‘Abidin menyatakan dalam Hasyiyah Radul Mukhtar (1/553), “Seandainya diperbolehkan jama’ah kedua, tentu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memilih shalat di rumah dari berjama’ah kedua di masjid.” [12]

Demikian juga mereka berdalil dengan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu yang berbunyi:

لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَتُقَامَ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى مَنَازِلِ قَوْمٍ لاَ يَشْهَدُونَ الصَّلاَةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ

Sungguh aku ingin memerintahkan seseorang mengimami shalat, lalu ditegakkan (dilaksanakan). Kemudian aku pergi ke rumah orang-orang yang tidak mengikuti shalat, lalu aku bakar rumah-rumah mereka tersebut.[13]

Hadits ini menunjukkan tidak bolehnya jama’ah kedua dalam satu masjid. Karena seandainya diperbolehkan, maka ancaman pembakaran tersebut tidak ada artinya. Hal ini karena mereka dapat mengambil udzur dari jama’ah pertama dengan menyatakan, kami akan melaksanakan jama’ah kedua.

Pernyataan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :لاَ يَشْهَدُونَ الصَّلاَةَ , bermakna shalat yang diperintahkan untuk ditegakkan atau dilaksanakan ialah shalat jama’ah yang pertama. Karena kata (الصَّلاَةَ) diberi tambahan huruf alif dan lam, sehingga menunjukkan shalat jama’ah yang pertama. Hal ini menguatkan pendapat larangan jama’ah kedua. Karena seandainya diperbolehkan, tentu dikatakan لاَ يَشْهَدُوْنَ صَلاَةً tanpa huruf alif dan lam.

c. Atsar Sahabat.
Imam Syafi’i dalam kitab Al Umm (1/136) menyatakan,“Apabila seseorang mendapatkan masjid yang dipakai berjama’ah, lalu tertinggal shalat jama’ah. Seandainya ia mendatangi masjid lain untuk berjama’ah, ini lebih saya sukai. Apabila ia tidak mencari masjid lain, lalu shalat sendirian di masjidnya tersebut, maka itu baik. Apabila satu masjid memiliki imam rawatib (tetap) lalu seseorang atau sejumlah orang tertinggal shalat berjama’ah, maka mereka shalat sendiri-sendiri. Saya tidak menyukai mereka shalat berjama’ah padanya. Jika mereka melakukan shalat sendirian tersebut, maka ia mendapat pahala berjama’ah. Hal ini (berjama’ah) dilarang bagi mereka, karena bukan merupakan amalan para salaf sebelum kita. Bahkan sebagian mereka mencelanya.” [14]

Imam Syafi’i menyatakan lagi,“Sungguh, kami telah mengetahui secara pasti, bahwa jika sejumlah sahabat tertinggal jama’ah shalat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka shalat sendiri-sendiri -sepengetahuan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam -. Padahal mereka mampu untuk berjama’ah. Demikian juga kami ketahui, sejumlah orang tertinggal jama’ah shalat, lalu mendatangi masjid dan shalat sendiri-sendiri, padahal mereka mampu melakukan jama’ah kedua di masjid tersebut. Namun mereka shalat sendiri-sendiri. Mereka tidak menyukainya, hanya agar tidak ada shalat jama’ah dua kali pada satu masjid.” [15]

Pernyataan seorang mujtahid seperti ini tentu memiliki sumber rujukan. Diantaranyaialah pernyataan Al Hasan Al Bashri yang mengatakan,“Para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, jika masuk masjid dan mendapatkan imam telah shalat, maka mereka shalat sendiri-sendiri.” [16]

Demikian juga atsar sahabat Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu yang diriwayatkan Imam Abdirrazaq Ash Shon’ani dari Ma’mar dari Hammad bin Ibrahim, bahwa Al Qamah dan Al Aswad berangkat bersama Ibnu Mas’ud ke masjid. Lalu orang-orang menyongsong mereka dalam keadaan telah shalat. Lalu Ibnu Mas’ud pulang bersama keduanya ke rumah. Salah seorang mereka lalu berdiri di sebelah kanan dan yang lain di sebelah kirinya. Kemudian Ibnu Mas’ud mengimami mereka shalat. [17]

Seandainya jama’ah kedua diperbolehkan, tentulah Ibnu Mas’ud tidak berjama’ah di rumah. Apalagi berjama’ah di masjid jelas lebih utama. Demikian juga sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang lainnya, tidaklah shalat sendiri-sendiri, padahal mampu untuk melakukan jama’ah.

Hal ini dikuatkan lagi dengan riwayat Sahnun dari Ibnul Qasim dari Malik dari Abdurrahman Al Mujabbar. Beliau berkata,“Aku masuk bersama Salim bin Abdillah pada satu masjid jami’ dalam keadaan orang-orang telah selesai shalat. Lalu mereka berkata,’Mengapa tidak shalat berjama’ah?’ Salim bin Abdillah bin Umar menjawab,’Tidak boleh shalat berjama’ah dalam satu shalat pada satu masjid dua kali’.” [18]

Pernyataan Imam Salim bin Abdillah bin Umar ini menunjukkan tidak dibolehkannya berjama’ah lebih dari satu pada satu masjid. Hal ini juga disepakati oleh sejumlah tabi’in, diantaranya Ibnu Syihab, Rabi’ah dan Yahya bin Sa’id.

Sedangkan dalil akal, mereka menyatakan, bahwa jama’ah kedua dapat menimbulkan perpecahan atas jama’ah pertama yang disyari’atkan. Karena jika seseorang mengetahui akan tertinggal jama’ah, tentu ia akan segera bergegas, sehingga jumlah jama’ahnya menjadi banyak. Akan tetapi, jika mereka mengetahui tidak akan kehilangan jama’ah dengan adanya jama’ah yang kedua, tentu menyebabkan seseorang bersantai-santai, yang berakibat jumlah jama’ah shalat menjadi sedikit. Padahal sedikitnya jumlah jama’ah shalat dimakruhkan.

Demikian pula mereka menyatakan, bahwa jama’ah-jama’ah yang tertinggal (jama’ah kedua dan seterusnya) dapat dikatakan sebagai jama’ah orang yang malas. Lalu bagaimana mereka mendapatkan pahala jama’ah, padahal mereka tertinggal jama’ah pertama dan tidak memenuhi panggilan Allah tepat waktu?! Sungguh membolehkan adanya jama’ah kedua dan seterusnya, dapat menghilangkan jama’ah pertama dan mennyia-nyiakan hikmahnya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan:

إِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَىَ اللهِ الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا

Sesungguhnya amalan yang paling dicintai Allah ialah shalat tepat waktu [19].

Dan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

مَنْ سَمِعَ النِّدَاء فَلَمْ يُجِبْ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ

Barangsiapa yang telah mendengar panggilan shalat lalu tidak memenuhinya, maka tidak ada baginya shalat, kecuali karena udzur [20].

Demikian juga mereka menyatakan, bahwa dalam fatwa bolehnya mengadakan jama’ah kedua, akan mengecilkan makna shalat berjama’ah.

As Sarkhasi menyatakan,“Sesungguhnya, kita diperintahkan memperbanyak jumlah jama’ah pertama. Dan pengulangan jama’ah shalat pada satu masjid akan menguranginya. Karena jika manusia mengetahui akan kehilangan jama’ah, maka mereka bersegera hadir sehingga jumlah anggota jama’ahnya menjadi banyak. Apabila mereka mengetahui tidak akan kehilangan jama’ah, maka mereka memperlambat. Lalu hal ini mengurangi jumlah jama’ah.” [21]

Setelah membawakan pendapat Imam Malik, berkatalah Al Qadhi Abu Bakr Ibnul Arabi, “Ini adalah makna yang dijaga dalam syari’at dari penyimpangan ahli bid’ah. Agar mereka tidak meninggalkan jama’ah kemudian datang dan shalat dipimpin imam yang lain. Dengan demikian, akan hilang hikmah dan sunnah berjama’ah.” [22]

Mereka juga mengutarakan, bahwa jama’ah kedua menimbulkan kemalasan dan meremehkan jama’ah pertama. sehingga sebab kemakruhan hukumnya makruh.

Pendapat ini dirajihkan Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah dengan menyatakan : Kesimpulannya, jumhur ulama memandang tidak boleh mengulang jama’ah shalat pada satu masjid, dengan syarat terdahulu. Inilah yang benar. Dan pendapat ini tidak bertentangan dengan hadits yang masyhur:

أَلاَ رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّيْ مَعَهُ

Adakah orang yang bershadaqah kepada orang ini lalu shalat bersamanya

Karena paling-paling (lantaran) hanya ada anjuran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada seseorang yang telah shalat bersama beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pada jama’ah pertama untuk shalat sunah di belakang orang tersebut. Maka demikian ini adalah shalat sunah di belakang orang yang shalat wajib. Padahal pembahasan kita ialah mengenai shalat wajib di belakang orang yang mengerjakan shalat wajib, yang dikarenakan kehilangan jama’ah pertama. Sehingga tidak boleh dianalogikan dengan kisah tersebut. Karena ini termasuk analog dengan adanya perbedaan (qiyas ma’al fariq). Hal ini dapat dilihat dari dua sisi:

1. Bentuk pertama (jama’ah kedua dalam shalat wajib) belum pernah dinukil dari beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik izin atau persetujuan. Padahal itu ada di zamannya, sebagaimana ditunjukkan riwayat Al Hasan Al Bashri.

2. Jama’ah kedua ini menimbulkan perpecahan atas jama’ah pertama yang disyari’atkan. Karena jika manusia mengetahui akan kehilangan jama’ah, mereka akan bersegera, sehingga jumlah anggota jama’ah pertama menjadi banyak. Sebaliknya, jika mengetahui tidak akan kehilangan jama’ah, maka memperlambat hadir, sehingga mengurangi jumlah anggota jama’ah pertama. Padahal pengurangan jumlah jama’ah dimakruhkan. Tidak ada sedikitpun persetujuan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, atas hal yang dilarang ini. Sehingga terbukti perbedaannya. Kalau demikian, tidak boleh mengambil dalil dari hadits tersebut dalam menyelisihi sesuatu yang sudah ditetapkan.” [23]

Demikian uraian singkat pendapat dan dalil mereka dalam permasalahan hukum jama’ah kedua dalam satu masjid. Wallahu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun VII/1424H/2003M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Lihat pendapat Syaikh Shalih Sadlan dalam Shalatul Jama’ah, Hukmuha Wa Ahkamuha, hal. 100.
[2]. Al Majmu’ Syarah Al Muhadzab, 4/222.
[3]. Lihat I’lamul ‘Abid Fi Hukmi Tikraril Jama’ah Fil Masjidil Wahid, karya Syaikh Masyhur Salman, hal. 11.
[4]. Dinukil Syaikh Masyhur dalam I’lamul Abid, hal. 12 dari kitab Fathul ‘Ali Al Malik Fil Fatawa ‘Ala Madzhab Imam Malik 1/92-94.
[5]. I’lamul ‘Abid, hal. 13.
[6]. Lihat Shalatul Jama’ah Hukmuha Wa Ahkamuha, hal. 102
[7]. Al Umm 1/180.
[8]. Ibid.
[9]. I’lamul ‘Anid, hal. 32-33
[10]. Syaikh Al Albani menyatakan dalam Tamamul Minnah, hal. 155, hadits ini hasan. Imam Al Haitsami (2/45) menyatakan,“Hadits ini diriwayatkan At Thabrani dalam Al Kabir dan Al Ausath. Semua perawinya tsiqat.” Sedangkan Syaikh Masyhur Hasan menambahkan, bahwa hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil, 6/2398. Lihat I’lamul ‘Abid, hal. 36.
[11]. Lihat Al Mabsuth, 1/135 dan Tuhfatul Ahwadzi Syarah Jami’ At Tirmidzi, 2/10.
[12]. Dinukil dari I’lamul ‘Abid, hal. 36-37.
[13]. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al Adzan, Bab Wujub Shalatil Jama’ah, no. 644 dan Imam Muslim dalam Shahih-nya, kitab Masajid Wa Mawadhi’ush Shalat, Bab Fadhlu Jama’ah Wa Tasydid Fi Takhaluf Anha, no.651.
[14]. Dinukil Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah, hal. 156.
[15]. Al Umm, 139.
[16]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya, 2/223 dan dinukil dari Tamamul Minnah, hal. 157.
[17]. Mushannaf 2/409 no. 3883. Atsar ini dihasankan Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah, hal. 155.
[18]. Al Mudawanah 1/89 dengan para perawi yang tsiqat.
[19]. Diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Mawaqit Ash Shalat, Bab Fadhlu Ash Shalat Liwaqtiha, no. 527 dan Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al Iman, Bab Bayani Kaunil Iman Billahi Afdhalul A’mal 1/89.
[20]. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya, kitab Al Masajid Wal Jama’ah, Bab Taghklidz Fit Takhalif ‘Anil Jama’ah 1/260 no.793, dan dishahihkan Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil, 2/336-339 no. 551.
[21]. I’lamul ‘Abid, hal 45 menukil dari Al Mabsuth 1/135-136.
[22]. Aridhatul Ahwadzi 2/21.
[23]. Tamamul Minnah hal 158.
sumber : 
http://almanhaj.or.id/content/2996/slash/0

Apakah Al Asy'ariyyah Termasuk Ahlu Sunnah?

Oleh

Ustadz Abu Ihsan Al Atsary


PENDAHULUAN
Ini adalah sebuah polemik yang sempat mencuat di kalangan kaum muslimin, khususnya para penuntut ilmu. Ada sebagian orang mengira Al Asy'ariyyah termasuk Ahlu Sunnah Wal Jama'ah.

Seperti yang sudah dimaklumi, sebenarnya madzhab Al Asy'ariyyah yang berkembang sekarang ini, hakikatnya adalah madzhab Al Kullabiyyah. Abul Hasan Al Asy'ari sendiri telah bertaubat dari pemikiran lamanya, yaitu pemikiran Mu'tazilah. Tujuh sifat yang ditetapkan dalam madzhab Al Asy'ariyyah inipun bukan berdasarkan nash dan dalil syar'i, tetapi berdasarkan kecocokannya dengan akal dan logika. Jadi, sangat bertentangan dengan prinsip Ahlu Sunnah Wal Jama'ah.

SEJARAH SINGKAT ABUL HASAN AL ASY'ARI
Nama lengkapnya adalah Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Abi Burdah bin Abu Musa Al Asy'ari. Lebih akrab disebut Abul Hasan Al Asy'ari. Lahir di Bashrah pada tahun 260 H atau 270 H. Masa kecil dan mudanya dihabiskan di kota Bashrah. Kota yang kala itu sebagai pusat kaum Mu'tazilah. Dan tidak dapat dielakkan, pada masa pertumbuhannya, beliau terpengaruh dengan lingkungannya Beliau mendalami ilmu kalam dan pemikiran Mu'tazilah dari ayah tirinya yang bernama Abu Ali Al Juba'i. Namun kemudian, beliau bertaubat dari pemikiran Mu’tazilah ini. Allah menghendaki keselamatan bagi beliau, dan memperoleh petunjuk kepada madzhab Salaf dalam penetapan sifat-sifat Allah, dengan tanpa ta'wil, tanpa ta'thil, tanpa takyif dan tanpa tamtsil [1]

Kisah taubatnya dari pemikiran Mu'tazilah ini sangat populer. Beliau melepas pakaiannya seraya berkata: "Aku melepaskan keyakinan Mu'tazilah dari pemikiranku, seperti halnya aku melepaskan jubah ini dari tubuhku," kemudian beliau melepas jubah yang dikenakannya. Secara simbolis, itu merupakan pernyataan bahwa beliau berlepas diri dari pemikiran Mu'tazilah dan dari kaum Mu'tazilah.

Ahli sejarah negeri Syam, Al Hafizh Abul Qasim Ali bin Hasan bin Hibatillah bin Asakir Ad Dimasyq (wafat tahun 571) dalam kitab At Tabyin menceritakan peristiwa tersebut:

Abu Ismail bin Abu Muhammad bin Ishaq Al Azdi Al Qairuwani, yang dikenal dengan sebutan Ibnu 'Uzrah bercerita, Abul Hasan Al Asy'ari adalah seorang yang bermadzhab Mu'tazilah. Dan memegang madzhab ini selama 40 tahun. Dalam pandangan mereka, beliau adalah seorang imam. Kemudian beliau menghilang selama lima belas hari. Secara tiba-tiba, beliau muncul di masjid Jami' kota Bashrah. Dan setelah shalat Jum'at, beliau naik ke atas mimbar seraya berkata,”Hadirin sekalian. Aku menghilang dari kalian selama beberapa hari, karena ada dalil-dalil yang bertentangan dan sama kuatnya, namun aku tidak mampu menetapkan mana yang hak dan mana yang batil. Dan aku tidak mampu membedakan mana yang batil dan mana yang hak. Kemudian aku memohon petunjuk kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Maka Dia memberiku petunjuk, dan aku tuangkan ke dalam bukuku ini. Dan aku melepaskan semua aqidah (keyakinan) yang dulu aku pegang, sebagaimana aku membuka bajuku ini." Kemudian beliau membuka bajunya dan membuangnya, lalu memberikan bukunya tersebut kepada para hadirin.

Sebagai bukti kesungguhan Abul Hasan Al Asy'ari melepaskan diri dari pemikiran Mu'tazilah, yaitu beliau mulai bangkit membantah pemikiran Mu'tazilah dan mendebat mereka. Bahkan beliau menulis sampai tiga ratus buku untuk membantah Mu'tazilah. Namun dalam membantahnya, beliau menggunakan rasio dan prinsip-prinsip logika. Beliau mengikuti pemikiran-pemikiran Kullabiyyah.[2]

ABUL HASAN AL ASY'ARI SECARA TOTAL MENJADI PENGIKUT MANHAJ SALAF
Kemudian Allah menyempurnakan nikmatNya untuk beliau. Setelah pindah ke Baghdad dan bergabung bersama para tokoh murid-murid Imam Ahmad, akhirnya beliau secara total menjadi seorang Salafi (pengikut manhaj Salaf). Pada fase yang ketiga dalam kehidupannya ini, beliau menulis beberapa risalah berisi pernyataan taubatnya dari seluruh pemikiran Mu'tazilah dan syubhat-syubhat Kullabiyyah.

Diantara beberapa buku yang ditulisnya, yaitu: Al Luma', Kasyful Asrar Wa Hatkul Asrar, Tafsir Al Mukhtazin, Al Fushul Fi Raddi 'Alal Mulhidiin Wa Kharijin 'Alal Millah Ka Al Falasifah Wa Thabai'in Wad Dahriyin Wa Ahli Tasybih, Al Maqalaat Al Islamiyyin dan Al Ibanah. Semoga Allah merahmati beliau.

PERNYATAAN ABUL HASAN AL ASY'ARI DALAM KITABNYA: AL IBANAH FI USHULID DIYANAH [3]
Beliau berkata dalam kitab Al Ibanah: "Pendapat yang kami nyatakan, dan agama yang kami anut adalah berpegang teguh dengan Kitabullah k dan Sunnah NabiNya Shallallahu 'alaihi wa sallam , atsar-atsar (riwayat-riwayat) yang diriwayatkan dari para sahabat, tabi'in dan para imam ahli hadits. Kami berpegang teguh dengan prinsip tersebut. Kami berpendapat dengan pendapat yang telah dinyatakan oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal, semoga Allah mengelokkan wajah beliau, mengangkat derajat beliau dan melimpahkan pahala bagi beliau. Dan kami menyelisihi perkataan yang menyelisihi perkataan beliau. Karena beliau adalah imam yang fadhil (utama), pemimpin yang kamil (sempurna). Melalui dirinya, Allah menerangkan kebenaran dan mengangkat kesesatan, menegaskan manhaj dan memberantas bid'ah yang dilakukan kaum mubtadi'in, dan (memberantras) penyimpangan yang dilakukan orang-orang sesat, serta (memberantas) keraguan yang ditebarkan orang yang ragu-ragu." [4]

Demikian pernyataan Abul Hasan, bahwa ia kembali ke pangkuan manhaj Salaf.

ULAMA-ULAMA SYAFI'IYYAH MENOLAK DINISBATKAN KEPADA ASY'ARIYYAH
Kebanyakan orang mengira bahwa madzhab Al Asy'ariyyah itu identik dengan madzhab Ahlu Sunnah Wal Jama'ah. Ini sebuah kekeliruan fatal.

Abul Hasan sendiri telah kembali ke pangkuan manhaj Salaf, dan mengikuti aqidah Imam Ahmad bin Hambal. Yaitu menetapkan seluruh sifat-sifat yang telah Allah tetapkan untuk diriNya, dan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam hadits-hadits shahih, dengan tanpa takwil, tanpa ta'thil, tanpa takyif dan tanpa tamtsil. Jelas, Abul Hasan pada akhir hidupnya adalah seorang salafi, pengikut manhaj salaf dan madzhab imam ahli hadits. Sampai-sampai ulama-ulama Asy Syafi'iyyah menolak dinisbatkan kepada madzhab Asy'ariyyah.

Berikut ini, mari kita simak penuturan Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Id Al Hilali dalam kitabnya yang sangat bagus, dalam edisi Indonesia berjudul Jama'ah-jama'ah Islam Ditimbang Menurut Al Qur'an dan As Sunnah (halaman 329-330). Dalam bukunya tersebut, beliau membantah Hizbut Tahrir yang mencampur-adukkan istilah Ahlu Sunnah Wal Jama'ah dengan istilah Al Asy'ariyyah, sekaligus menyatakan bila Al Asy'ariyyah bukan termasuk Ahlu Sunnah Wal Jama'ah, atau bukan termasuk pengikut manhaj Salaf. Beliau berkata:

Jika dikatakan: Yang dimaksud Ahlus Sunnah di sini adalah madzhab Asy'ariyah.
Kami jawab: Tidak boleh menamakan Asy'ariyah dengan sebutan Ahlus Sunnah. Berdasarkan persaksian ulama Ahlus Sunnah Wal Jama'ah (pengikut Salafush Shalih), mereka bukan termasuk Ahlus Sunnah

1. Imam Ahmad, Ali bin Al Madini dan lainnya menyatakan, barangsiapa menyelami ilmu kalam, (maka ia) tidak termasuk Ahlus Sunnah, meskipun perkataannya bersesuaian dengan As Sunnah, hingga ia meninggalkan jidal (perdebatan) dan menerima nash-nash syar'iyyah [5]. Tidak syak lagi, sumber pengambilan dalil yang sangat utama dalam madzhab Asy'ariyah adalah akal. Tokoh-tokoh Asya'riyah telah menegaskan hal itu. Mereka mendahulukan dalil aqli (logika) daripada dalil naqli (wahyu), apabila terjadi pertentangan antara keduanya. Ketika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membantah mereka melalui bukunya yang berjudul Dar'u Ta'arudh Aql Wan Naql, beliau membukanya dengan menyebutkan kaidah umum yang mereka pakai bilamana terjadi pertentangan antara dalil-dalil.[6]

2. Ibnu Abdil Bar, dalam mensyarah (menjelaskan) perkataan Imam Malik, dia menukil perkataan ahli fiqh madzhab Maliki bernama Ibnu Khuwaiz Mandad: "Tidak diterima persaksian Ahli Ahwa' (Ahli Bid'ah)." Ia menjelaskan: "Yang dimaksud Ahli Ahwa' oleh Imam Malik dan seluruh rekan-rekan kami, adalah Ahli Kalam. Siapa saja yang termasuk Ahli Kalam, maka ia tergolong ahli ahwa' wal bida'; baik ia seorang pengikut madzhab Asy'ariyyah atau yang lainnya. Persaksiannya dalam Islam tidak diterima selama-lamanya, wajib diboikot dan diberi peringatan atas bid'ahnya. Jika ia masih mempertahankannya, maka harus diminta bertaubat." [7]

3. Abul Abbas Suraij yang dijuluki Asy Syafi'i kedua berkata,”Kami tidak mengikuti takwil Mu'tazilah, Asy'ariyah, Jahmiyah, Mulhid, Mujassimah, Musyabbihah, Karramiyah dan Mukayyifah [8]. Namun kami menerima nash-nash sifat tanpa takwil, dan kami mengimaninya tanpa tamtsil." [9]

4. Abul Hasan Al Karji, salah seorang tokoh ulama Asy Syafi'iyyah berkata: "Para imam dan alim ulama Syafi'iyyah, dari dulu sampai sekarang menolak dinisbatkan kepada Asy'ariyah. Mereka justeru berlepas diri dari madzhab yang dibangun oleh Abul Hasan Al Asy'ari. Menurut yang aku dengar dari beberapa syaikh dan imam, bahkan mereka melarang teman-teman mereka dan orang-orang dekat mereka dari menghadiri majelis-majelisnya. Sudah dimaklumi bersama kerasnya sikap syaikh [10] terhadap Ahli Kalam, sampai-sampai memisahkan fiqh Asy Syafi'i dari prinsip-prinsip Al Asy'ari, dan diberi komentar oleh Abu Bakar Ar Radziqani. Dan buku itu ada padaku. Sikap inilah yang diikuti oleh Abu Ishaq Asy Syirazi dalam dua kitabnya, yakni Al Luma' dan At Tabshirah. Sampai-sampai kalaulah sekiranya perkataan Al Asy'ari bersesuaian dengan perkataan rekan-rekan kami (ulama madzhab Asy Syafi'i), beliau membedakannya. Beliau berkata: "Ini adalah pendapat sebagian rekan kami. Dan pendapat ini juga dipilih oleh Al Asy'ariyah." Beliau tidak memasukkan mereka ke dalam golongan rekan-rekan Asy Syafi'i. Mereka menolak disamakan dengan Al Asy'ariyah. Dan dalam masalah fiqh, mereka menolak dinisbatkan kepada madzhab Al Asy'ariyah; terlebih lagi dalam masalah ushuluddin." [11]

Pendapat yang benar adalah, Al Asy'ariyah termasuk Ahli Kiblat (kaum muslimin), tetapi mereka bukan termasuk Ahlus Sunnah Wal Jama'ah. Ketika para tokoh dan pembesar Al Asy'ariyyah jatuh dalam kebingungan, mereka keluar dari pemikiran Al Asy'ariyah. Diantaranya adalah Al Juwaini, Ar Razi, Al Ghazzali dan lainnya. Jika mereka benar-benar berada di atas As Sunnah dan mengikuti Salaf, lalu dari manhaj apakah mereka keluar? Dan kenapa mereka keluar? Hendaklah orang yang bijak memahaminya, karena ini adalah kesimpulan akhir.

Dalam daurah Syar'iyyah Fi Masail Aqa'idiyyah Wal Manhajiyyah di Surabaya, dua tahun yang lalu, Syaikh Salim ditanya: Apakah Al Asy'ariyyah termasuk Ahlu Sunnah Wal Jama'ah? Beliau menjawab dengan tegas: "Al Asy'ariyyah tidak termasuk Ahlu Sunnah Wal Jama'ah."

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Ta’thil (menolak atau meniadakan sifat Allah, takyif (membayangkan atau menanyakan hakikat dan bentuk sifat Allah), tamtsil (menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk), ta’wil (maksudnya tahrif yaitu menyimpangkan makna dari zhahirnya tanpa dalil)
[2]. Al Kullabiyah, adalah penisbatan kepada Abu Muhammad Abdullah bin Sa'id bin Muhammad bin Kullab Al Bashri, wafat pada tahun 240 H.
[3]. Buku ini telah saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Pustaka At Tibyan. Dalam buku aslinya disertakan taqdim (kata pengantar dari para ulama terkini, seperti Syaikh Hammad bin Muhammad Al Anshari, Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz dan Syaikh Ismail Al Anshari). Buku ini sangat penting dibaca oleh kaum muslimin, khususnya di Indonesia dan Malaysia yang mayoritas penduduknya menisbatkan diri kepada Al Asy'ariyyah.
[4]. Al Ibanah, halaman 17.
[5]. Silakan lihat Syarah Ushul I'tiqad Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, karangan Al Laalikaai (I/157-165).
[6]. Bagi yang ingin penjelasan lebih rinci, silakan lihat kitab Asasut Taqdis, karangan Ar Razi, hlm. 168-173 dan Asy Syamil, karangan Al Juwaiini, hlm. 561 dan Al Mawaqif, karangan Al Iji, hlm. 39-40.
[7]. Jami' Bayanil Ilmi wa Fadhlihi (II/96).
[8]. Ini semua adalah nama-nama aliran
[9]. Ijtima' Juyusy Islamiyah, hlm. 62.
[10]. Yakni Syaikh Abu Hamid Al Isfaraini.
[11]. At Tis'iniyyah, hlm. 238-239.

sumber : http://almanhaj.or.id/content/3011/slash/0