Rabu, 14 November 2012

Ma’rifatullâh, Satu-satunya Jalan Menjadi Hamba Allâh

Ma’rifatullâh, yang secara bahasa berarti mengenal Allâh Ta'âla, termasuk istilah yang sudah familier di tengah kaum Muslimin. Karena semua yang beriman sepakat meyakini bahwa mengenal Allâh Ta'âla dan mencintai-Nya merupakan kewajiban dan tuntutan yang paling utama dalam Islam. Bahkan para Ulama Ahlus Sunnah selalu mengidentikkan istilah ma’rifatullâh dengan kesempurnaan iman dan takwa kepada Allâh Ta'âla.
Allâh Ta'ala berfirman:
QS. Fâthir/35:28
Sesungguhnya yang takut kepada Allâh diantara hamba-hamba-Nya,
hanyalah orang-orang yang berilmu (mengenal Allâh Ta'âla)”
(QS. Fâthir/35:28)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata:
“Semakin bertambah pengenalan seorang hamba tentang Allâh, maka semakin bertambah pula rasa takut dan pengagungan hamba tersebut kepada-Nya…, yang kemudian pengenalannya ini akan mewariskan rasa malu, pengagungan, pemuliaaan, serta merasa selalu diawasi oleh Allâh Ta'âla, dan menumbuhkan kecintaan, tawakal, selalu kembali, serta ridha dan tunduk kepada perintah-Nya.”
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullâh berkata :
“Semakin banyak pengenalan seseorang tentang Allâh, maka rasa takutnya kepada Allâh pun semakin besar, yang kemudian rasa takut ini menjadikan dirinya (selalu) menjauh dari perbuatan-perbuatan maksiat dan (senantiasa) mempersiapkan diri untuk berjumpa dengan Dzat yang ditakutinya (yaitu Allâh Ta'âla ).”
Ahlus sunnah wal jama’ah meyakini dan menetapkan bahwa ma’rifatullâh yang benar adalah mengenal Allâh Ta'âla dengan mengenal nama-nama-Nya yang maha indah, sifat-sifat-Nya yang maha sempurna dan perbuatan-perbuatan-Nya yang maha terpuji, sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat-ayat al-Qur’ân dan hadits-hadits yang shahih dari Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam, tanpa tahrîf (menyelewengkan maknanya yang benar), ta’thîl (menolak/mengingkarinya), takyîf (membagaimanakannya) dan at-tamtsîl (menyerupakannya dengan makhluk).
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullâh berkata :
“Kita tidak boleh menyifati Allâh Ta'âla kecuali dengan sifat yang Dia tetapkan untuk diri-Nya (dalam al-Qur’ân) dan yang ditetapkan oleh rasul-Nya (dalam hadits-hadits yang shahih), kita tidak boleh melampaui al-Qur’ân dan hadits.”
Imam Ibnul Jauzi rahimahullâh berkata, “Sesungguhnya ma’rifatullâh (yang benar) adalah mengenal zat-Nya, mengenal nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta mengenal perbuatan-perbuatan-Nya.”
Jadi dengan memahami nama-nama dan sifat-sifat Allâh Ta'âla dengan benar, seseorang bisa mengenal Allâh (ma’rifatullâh) dengan benar. Ma’rifatullâh yang benar akan menimbulkan rasa cinta (al-mahabbah) dan rasa takut yang merupakan landasan ibadah kepada Allâh Ta'âla.
Mahabbatullah (rasa cinta kepada Allâh Ta'âla ) dan rasa takut kepada Allâh Ta'âla tidak mungkin bisa diraih tanpa mengenal Allâh Ta'âla. Maka orang yang tidak memiliki ma’rifatullah (mengenal Allâh) yang benar, tidak mungkin bisa beribadah dengan benar kepada-Nya, padahal beribadah kepada Allâh Ta'âla adalah tugas utama manusia.
Allâh Ta'âla berfirman:
QS. adz-Dzâriyât/51:56
Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia
kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku
(QS. adz-Dzâriyât/51:56)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata :
“Barangsiapa yang mengenal Allâh Ta'âla (yaitu) dengan mengenal nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya maka dia pasti akan mencintai-Nya.”
Mengenal Allâh Ta'âla adalah dengan merenungkan dan mempelajari ayat syar’iyah dengan nash-nash yang shahih, juga dengan memperhatikan dan merenungi keberadaan dan keadaan alam semesta beserta semua makhluk Allâh Ta'âla yang ada di dalamnya, termasuk merenungi apa-apa yang ada pada diri kita sendiri. Semua itu merupakan tanda-tanda kemahakuasaan-Nya dan bukti kesempurnaan ciptaan-Nya.
Allâh Ta'âla berfirman:
QS. adz-Dzâriyât/51:20-21
Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allâh Ta'âla)
bagi orang-orang yang yakin,
dan (juga) pada dirimu sendiri,
maka apakah kamu tidak memperhatikan?”
(QS. adz-Dzâriyât/51:20-21)
Itulah ma’rifatullâh dan urgensinya yang terkait langsung dengan tugas utama manusia yaitu beribadah kepada Allâh Ta'âla. Cara (mengenal Allâh) yang benar pun sudah begitu gamblang dijelaskan oleh para Ulama’, namun ada juga cara-cara keliru yang dilakukan oleh sebagian orang dalam rangka mengenal Allâh Ta'âla. Akibatnya, kesesatan dan penderitaan menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya.
Kini tinggal pribadi masing-masing untuk memilih jalan. Jika benar yang dipilih, dengan ijin Allâh Ta'âla, kebahagiaan dunia dan akhirat akan menjadi haknya. Semoga Allâh Ta'âla senantiasa membimbing kita untuk tetap berada pada jalan haq yang berujung pada kebahagiaan.

sumber : Majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XVI

Kamis, 20 September 2012

ADZAN DAN IQAMAH

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi


Pada edisi terdahulu, telah kami jelaskan tentang adzan dan iqamat. Yaitu meliputi pengertian, perbedaan antara adzan dan iqamat, serta sifat dan lafadznya, maka pada edisi kali ini, kami lanjutkan pembahasan tersebut, yang merupakan bagian terakhir dari dua tulisan.

HUKUM DAN DISYARIATAN ADZAN
Disyariatkan adzan dan iqamah ini berdasarkan nash syariat, di antaranya kisah Abdullah bin Zaid dan Umar bin Khaththab, sebagaimana tersebut dalam hadits Abdullah bin Zaid yang telah kami jelaskan di depan, dan merupakan ijma’ untuk shalat lima waktu.

Imam An Nawawi mengatakan: “Adzan dan iqamah disyariatkan berdasarkan nash-nash syariat dan Ijma’. Dan tidak disyariatkan (adzan dan iqamah ini) pada selain shalat lima waktu, tidak ada perselisihan (dalam masalah ini)”.[1]

Awal disyariatkannya terjadi pada tahun pertama hijriyah. Tersebut di dalam hadits Ibnu Umar yang berbunyi:

كَانَ الْمُسْلِمُونَ حِينَ قَدِمُوا الْمَدِينَةَ يَجْتَمِعُونَ فَيَتَحَيَّنُونَ الصَّلاةَ لَيْسَ يُنَادَى لَهَا فَتَكَلَّمُوا يَوْمًا فِي ذَلِكَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ اتَّخِذُوا نَاقُوسًا مِثْلَ نَاقُوسِ النَّصَارَى وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ بُوقًا مِثْلَ قَرْنِ الْيَهُودِ فَقَالَ عُمَرُ أَوَلاَ تَبْعَثُونَ رَجُلاً يُنَادِي بِالصَّلاَةِ فَقَالَ رَسُولُ الهَِn يَا بِلاَلُ قُمْ فَنَادِ بِالصَّلاَةِ

Kaum muslimin, dahulu ketika datang ke Madinah berkumpul, lalu memperkirakan waktu shalat, tanpa ada yang menyerunya. (Hingga) pada suatu hari, mereka berbincang-bincang tentang hal itu. Sebagian mereka berkata “gunakan saja lonceng seperti lonceng Nashara”. Dan sebagian menyatakan “gunakan saja terompet seperti terompet Yahudi”. Maka Umar berkata: “Tidakkah kalian mengangkat seseorang untuk menyeru shalat?” Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Wahai, Bilal. Bangun dan serulah untuk shalat.” [2]

Imam Asy Syaukani menyatakan, inilah yang paling shahih dari hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam penentuan awal waktu disyariatkan adzan [3]. Hal ini juga yang dirajihkan Imam Ibnu Hajar.[4]

Adapun hukumnya, para ulama berselisih dalam beberapa pendapat. Yang mendekati kebenaran dari pendapat-pendapat tersebut, ialah pendapat yang mewajibkannya, berdasarkan hadits Malik bin Al Huwairits :

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى الهُn عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَفَرٍ مِنْ قَوْمِي فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ لَيْلَةً وَكَانَ رَحِيمًا رَفِيقًا فَلَمَّا رَأَى شَوْقَنَا إِلَى أَهَالِينَا قَالَ ارْجِعُوا فَكُونُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَصَلُّوا فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ رواه البخاري

Aku mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersama beberapa orang dari kaumku, kemudian kami tinggal di sisinya selama 20 hari. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seorang yang dermawan dan sangat lemah lembut. Ketika Beliau melihat kerinduan kami kepada keluarga, maka Beliau berkata : “Pulanglah kalian dan tinggallah bersama mereka, dan ajarilah mereka (agama Islam) serta shalatlah kalian. Apabila datang waktu shalat, maka hendaklah salah seorang dari kalian beradzan. Dan orang yang paling dituakan mengimami shalat kalian”.[5]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda :

مَا مِنْ ثَلاَثَةٍ فِي قَرْيَةٍ لاَ يُؤَذَّنُ وَلاَ تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلاَةُ إِلاَّ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ رواه أحمد

Tidak ada tiga orang di satu desa yang tidak ada adzan dan tidak ditegakkan pada mereka shalat, kecuali setan akan memangsa mereka.[6]

Demikian pendapat yang dirajihkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh Ibnu Al Utsaimin[7] dan Syaikh Al Albani.

Syaikh Al Albani mengatakan : “Sungguh, pendapat yang menyatakan adzan hanyalah Sunnah jelas merupakan kesalahan. Bagaimana bisa, padahal ia termasuk syi’ar Islam terbesar, yang jika Nabi n tidak mendengarnya di negeri suatu kaum yang akan Beliau perangi, maka Beliau akan memerangi mereka. Jika mendengar adzan pada mereka, Beliau menahan diri, sebagaimana telah diriwayatkan dalam Shahihain dan selainnya. Dan perintah adzan sudah ada dalam hadits shahih lainnya. Padahal hukum wajib dapat ditetapkan dengan dalil yang lebih rendah dari ini. Maka yang benar, adzan adalah fardhu kifayah, sebagaimana dirajihkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Fatawa (1/67-68 dan 4/20). Bahkan juga bagi seseorang yang shalat sendirian”. [8]

Bahkan Syaikhul Islam menegaskan hukum ini dengan pernyataannya : “Yang benar, adzan itu fardhu kifayah”.[9]

Ibnu Hazm mengomentari permasalahan ini dengan pernyataannya : "Kami tidak mengetahui orang yang menyatakan tidak wajibnya adzan dan iqamah (ini) memiliki hujjah. Seandainya Rasulullah tidak menghalalkan darah dan harta suatu kaum yang Beliau tengarai dengan tidak adanya adzan pada mereka, tentulah cukup untuk mewajibkannya”.[10]

HUKUM-HUKUM SEPUTAR ADZAN
Ada beberapa permasalahan seputar adzan yang cukup penting diketahui, di antaranya:

1. Disunnahkan beradzan dalam keadaan berdiri.
Ibnu Al Mundzir berkata: “Para ulama yang saya hafal, (mereka) sepakat, bahwa sunnah beradzan dengan berdiri” [11]. Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Bilal dalam hadits Abu Qatadah:

إِنَّ الهَ قَبَضَ أَرْوَاحَكُمْ حِينَ شَاءَ وَرَدَّهَا عَلَيْكُمْ حِينَ شَاءَ يَا بِلاَلُ قُمْ فَأَذِّنْ بِالنَّاسِ بِالصَّلاَةِ

Sesungguhnya Allah mencabut ruh-ruh kalian kapan (Dia) suka, dan mengembalikannya kapan (Dia) suka. Wahai, Bilal! Bangun dan beradzanlah untuk shalat. [HR Al Bukhari].

Juga disunnahkan menghadap kiblat [12]. Syaikh Al Albani menyatakan: “Telah shahih dalil menghadap kiblat dalam adzan dari malaikat, sebagaimana yang dilihat Abdullah bin Zaid Al Anshari dalam mimpinya”. [13]

2. Disunnahkan beradzan di tempat yang tinggi, agar lebih keras terdengar dalam menyampaikan adzan [14]. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits seorang wanita dari Bani Najjar yang menyatakan:

كَانَ بَيْتِي مِنْ أَطْوَلِ بَيْتٍ حَوْلَ الْمَسْجِدِ وَكَانَ بِلاَلٌ يُؤَذِّنُ عَلَيْهِ الْفَجْرَ

Rumahku, dahuku termasuk rumah yang tertinggi di sekitar masjid (nabawi), dan Bilal, dulu beradzan fajar di atas rumah tersebut. [HR Abu Dawud dan dihasankan Al Albani dalam Irwa’ Al Ghalil, hadits no. 229, hlm. 1/246].

3. Muadzin disunnahkan memalingkan wajahnya ke kanan dan ke kiri pada hayya ‘ala ash shalat dan hayya ‘ala al falah (hai’alatain), berdasarkan hadits Abu Juhaifah yang berbunyi:

أَنَّهُ رَأَى بِلَالاً يُؤَذِّنُ فَجَعَلْتُ أَتَتَبَّعُ فَاهُ هَهُنَا وَهَهُنَا بِاْلأَذَانِ

Sesungguhnya Beliau melihat Bilal beradzan, lalu aku melihat mulutnya disana dan disini mengucapkan adzan. [HR Al Bukhari].

Dan dalam riwayat Muslim dengan lafadz:

فَجَعَلْتُ أَتَتَبَّعُ فَاهُ هَا هُنَا وَهَا هُنَا يَقُولُ يَمِينًا وَشِمَالاً يَقُولُ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ

Lalu mulailah aku memperhatikan mulutnya diputar kesana dan kesini, yaitu ke kanan dan ke kiri mengucapkan hayya ‘ala ash shalat, hayya ‘ala al falah.

Imam An Nawawi menjelaskan, disunnahkan memalingkan wajah dalam hai’alatain ke kanan dan ke kiri. Dalam tata cara memalingkan wajah, yang mustahab ada tiga cara, yaitu :

Pertama. Ini yang paling benar dan telah ditetapkan ahli Iraq dan sejumlah ahli Khurasan (dalam madzhab Syafi’i), bahwa memalingkan ke kanan dengan mengucapkan hayya ‘ala ash shalat, hayya ‘ala ash shalat, kemudian berpaling ke kiri dan mengucapkan hayya ‘ala al falah, hayya ‘ala al falah.

Kedua. Berpaling ke kanan dan mengucapkan hayya ‘ala ash shalat, kemudian kembali menghadap kiblat, kemudian berpaling ke kanan lagi dan mengucapkan hayya ‘ala ash shalat. Kemudian berpaling ke kiri dan mengucapkan hayya ‘ala al falah, lalu kembali menghadap kiblat, kemudian berpaling ke kiri lagi dan mengucapkan hayya ‘ala al falah.

Ketiga. Pendapat Al Qafal, yaitu mengucapkan hayya ‘ala ash shalat satu kali berpaling kekanan, dan satu kali berpaling ke kiri; kemudian mengucapkan hayya ‘ala al falah satu kali berpaling ke kanan dan satu kali berpaling ke kiri.[15]

4. Disunahkan meletakkan kedua jemari di telinga, sebagaimana hadits Abu Juhaifah dengan lafadz:

رَأَيْتُ بِلاَلاً يُؤَذِّنُُ وَيُتْبِعُ فَاهُ هَا هُنَا وَهَا هُنَا وَإِصْبَعَاهُ فِي أُذُنَيْهِ وَرَسُولُ الهَِ صَلَّى الهَُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قُبَّةٍ لَهُ حَمْرَاءَ أُرَاهُ

Aku melihat Bilal beradzan dan memutar mulutnya ke sana dan ke sini serta kedua jarinya di telinganya. [HR Ahmad dan At Tirmidzi, dan At Tirmidzi mengatakan, bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani menshahihkannya di dalam Irwa’ Al Ghalil, no. 230, hlm. 1/248].

Setelah menyampaikan hadits ini, Imam At Tirmidzi berkata: “Inilah yang diamalkan para ulama. Mereka mensunnahkan seorang muadzin memasukkan kedua jemarinya ke kedua telinganya dalam adzan. Dan sebagian ulama menyatakan juga, di dalam iqamat memasukkan kedua jemarinya ke kedua telinganya. Demikian ini pendapat Al ‘Auza’i”.[16]

5. Disunnahkan mengeraskan suara dalam adzan [17], berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

فَإِنَّهُ لاَ يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ الْمُؤَذِّنِ جِنٌّ وَلاَ إِنْسٌ وَلاَ شَيْءٌ إِلاَّ شَهِدَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Tidaklah mendengar suara muadzin bagi jin dan manusia serta (segala) sesuatu, kecuali memberikan kesaksian untuknya pada hari Kiamat. [HR Al Bukhari].

HUKUM MENDENGAR DAN MENJAWAB ADZAN DAN IQAMAT
Para ulama terbagi dalam dua pendapat berbeda berkaitan dengan hukum mendengar dan menjawab adzan.

1. Hukumnya wajib.
Demikian ini pendapat madzhab Azh Zhahiriyah dan Ibnu Wahb. Dalil yang dibawakan ialah hadits Abu Sa’id Al Khudri yang berbunyi :

أَنَّ رَسُولَ الهِl صَلَّى الهُy عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ النِّدَاءَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Jika kalian mendengar adzan, maka jawablah seperti yang disampaikan muadzin”. (Muttafaqun ‘alaihi) [18].

Dalam hadits ini terdapat perintah menjawab adzan, dan perintah, pada asalnya menunjukkan wajib.

2. Hukumnya sunnah.
Ini merupakan pendapat mayoritas ulama [19]. Mereka menyatakan, bahwa hadits Abu Sa’id di atas dipalingkan dari wajib menjadi sunnah dengan hadits ‘Aisyah yang berbunyi :

أَنَّ رَسُولَ الهِa صَلَّى الهُn عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا سَمِعَ الْمُؤَذِّنَ يَتَشَهَّدُ قَالَ وَأَنَا وَأَنَا

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, jika mendengar muadzin membaca syahadat, maka Beliau berkata “dan aku dan aku”. [HR Abu Dawud].

Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menjawab adzan secara sempurna. Mereka juga berdalil dengan hadits Anas bin Malik :

كَانَ رَسُولُ الهِ صَلَّى الهُa عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُغِيرُ إِذَا طَلَعَ الْفَجْرُ وَكَانَ يَسْتَمِعُ اْلأَذَانَ فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا أَمْسَكَ وَإِلاَّ أَغَارَ فَسَمِعَ رَجُلاً يَقُولُ الهُع أَكْبَرُ الهَُ أَكْبَرُ فَقَالَ رَسُولُ الهَِ صَلَّى الهُق عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْفِطْرَةِ ثُمَّ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الهُل فَقَالَ رَسُولُ الهِ صَلَّى الهُّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجْتَ مِنْ النَّارِ

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyerang (suatu kaum) ketika terbit fajar. Dan Beliau memperhatikan adzan. Apabila Beliau mendengar, maka Beliau menahan. Dan bila tidak (mendengar), maka Beliau menyerang. Lalu Rasulullah mendengar seseorang berkata: (الهُ أَكْبَرُ الهُُ أَكْبَرُ ), maka Beliau menjawab: “Di atas fithrah” (عَلَى الْفِطْرَةِ ), kemudian ia (seseorang itu) mengatakan:
(أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الهُا أَشْهَدُ ) dan Rasulullah Shallahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Engkau telah keluar dari neraka”. [HR Muslim].

Dalam menjelaskan hadits ini, Ibnu Hajar menyatakan, ada sebagian riwayat berkaitan dengan hadits ini yang menunjukkakan, bahwa hal ini terjadi ketika waktu akan shalat [20]. Hal ini juga didukung oleh amalan kaum mualimin pada zaman Umar, sebagaimana disampaikan Tsa’labah bin Abi Malik :

كَانُوْا يَتَحَدَّثُوْنَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ وَ عُمَرُ جَالِسٌ عَلَى الْمِنْبَرِ فَإِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ قَامَ عُمَرُ فَلَمْ يَتَكَلَّمْ أَحَدٌ

Mereka dahulu berbincang-bincang pada hari Jum’at dan Umar duduk di atas mimbar. Jika muadzin selesai adzan, maka Umar bangun dan tak seorangpun berbicara. [HR Asy Syafi’i dalam Al Um, dan dishahihkan An Nawawi, sebagaimana dijelaskan Albani dalam Tamamul Minnah, hlm. 339].

Riwayat ini juga dikuatkan dengan riwayat yang dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih, sebagai berikut:

أَدْرَكْتُ عُمَرَ وَ عُثْمَانَ فَكَانَ الإِمَامُ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ تَرَكْنَا الصَّلاَةَ فَإِذَا تَكَلَّمنَا تَرَكْنَا الْكَلاَمَ

Aku menjumpai Umar dan Utsman; jika seorang imam keluar (menuju masjid), maka kami meninggalkan shalat, dan bila berbicara (berkhutbah), maka kami meninggalkan perbincangan. [HR Ibnu Abi Syaibah dan dishahihkan Al Albani dalam Tamamul Minnah, hlm. 340].

Pendapat ini yang dirajihkan Syaikh Al Albani [21] dan Syaikh Masyhur Salman.

Syaikh Al Albani mengatakan: Dalam atsar ini, terdapat dalil yang menunjukkan tidak wajibnya menjawab (seruan) muadzin, karena pada zaman Umar terjadi amalan berbincang-bincang ketika adzan, dan Umar diam. Saya banyak ditanya tentang dalil yang memalingkan perintah yang menunjukkan kewajiban menjawab adzan. Maka saya menjawab dengan atsar ini. Demikian juga iqamat, dalam hal ini sama hukumnya dengan adzan, sebagaimana dinyatakan Lajnah Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta, dalam pernyataan mereka yang berbunyi “termasuk sunnah seorang yang mendengar iqamat menjawab seperti ucapan muqim (orang yang beriqamah); karena iqamat merupakan adzan kedua, sehingga dijawab seperti dijawabnya adzan [22]. Wallahu a’lam.

MENJAWAB ADZAN DALAM KEADAAN SHALAT
Berdasarkan hukum di atas, maka muncullah permasalahan lainnya, yaitu bagaimana hukum seseorang yang sedang shalat mendengar adzan, apakah perlu menjawab ataukah tidak? Dalam hal ini terdapat tiga pendapat ulama:

1. Wajib menjawab adzan walaupun dalam shalat, kecuali ucapan hayya ‘ala ash shalat dan hayya ‘ala al falah (hai’alatain). Demikian pendapat madzhab Azh Zhahiriyah dan Ibnu Hazm.

Ibnu Hazm berkata: “Barangsiapa mendengar muadzin, maka jawablah sebagaimana yang diucapkan muadzin sama persis dari awal adzan sampai akhirnya. Baik ia berada di luar shalat atau di dalam shalat. Baik shalat wajib ataupun sunnah. Kecuali hayya ‘ala ash shalat dan hayya ‘ala al falah (hai’alatain), maka tidak diucapkan dalam shalat, dan diucapkan di luar shalat”.
Dalilnya ialah hadits Abdullah bin Amru dan Abu Sa’id Al Khudri yang berbunyi:

أَنَّ رَسُولَ الهِi صَلَّى الهُu عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ النِّدَاءَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Jika kalian mendengar adzan, maka jawablah seperti yang disampaikan muadzin. [Muttafaqun ‘alaihi].

Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm tidak mengkhusukan hal itu dalam shalat atau di luar. Sedangkan hai’latain merupakan ucapan manusia yang mengajak kepada shalat. Adzan seluruhnya adalah dzikir, dan shalat adalah tempat berdzikir”.[23]

2. Tidak menjawab adzan bila dalam keadaan shalat.
Demikian ini pendapat mayoritas ulama (jumhur), dengan berdalil hadits Abdullah bin Mas’ud yang berbunyi:

كُنَّا نُسَلِّمُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى الهُ) عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الصَّلاَةِ فَيَرُدُّ عَلَيْنَا فَلَمَّا رَجَعْنَا مِنْ عِنْدِ النَّجَاشِيِّ سَلَّمْنَا عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْنَا وَقَالَ إِنَّ فِي الصَّلاَةِ شُغْلاً

Kami, dahulu memberikan salam kepada Nabi n dalam keadan Beliau shalat dan Beliau membalasnya. Ketika kami kembali dari negeri Najasi, kami memberi salam kepada Beliau dan (Beliau) tidak menjawab salam kami dan berkata: “Sesungguhnya dalam shalat adalah satu kesibukan”. [Muttafaqun ‘alaihi].

Hadits ini, menurut jumhur menunjukkan makruhnya menjawab salam yang hukumnya wajib, lalu bagaimana dengan adzan yang hukum menjawabnya saja sunnah? Terlebih lagi dalam shalat, seseorang sedang sibuk bermunajah kepada Allah, sehingga menjawab adzan dapat merusak kekhususan tersebut.

3. Menjawab adzan pada shalat sunnah dan tidak menjawab dalam shalat fardhu.
Demikian salah satu pendapat dalam madzhab Malikiyah.

Adapun menurut penulis, dalam hal ini cenderung menguatkan pendapat jumhur, berdasarkan sunnahnya menjawab adzan yang telah dikemukan di atas. Wallahu a’lam.

DISYARIATKAN MEMBACA SHALAWAT DAN DOA SETELAH ADZAN
Sebagaimana telah diajarkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Abdullah bin Amru yang berbunyi:

عَنْ عَبْدِ الهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى الهُd عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَمِعْتُمْ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى الهُي عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا الهَو لِي الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لاَ تَنْبَغِي إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ الهِر وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِي الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ

Dari Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash, ia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Jika kalian mendengar muadzin, maka jawablah seperti apa yang ia katakan, kemudian bershalawatlah untukku, karena barangsiapa yang bershalawat untukku, maka Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali. Kemudian mintakanlah kepada Allah untukku al wasilah, karena ia adalah satu kedudukan di surga yang tidak sepatutnya, kecuali untuk seorang hamba Allah; dan aku berharap, (bahwa) akulah ia. Barangsiapa yang memohonkan untukku al wasilah, maka akan mendapat syafaatku. [HR Muslim].

Permohonan wasilah ini dicontohkan dalam hadits Jabir yang berbunyi:

أَنَّ رَسُولَ الهِs صَلَّى الهُc عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang ketika (selesai) mendengar adzan berkata:

اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ

Maka mendapatkan syafaatku pada hari kiamat. [HR Al Bukhari].

Demikianlah sebagian hukum-hukum seputar adzan dan iqamat, yang penulis sampaikan secara ringkas. Mudah-mudahan bermanfaat.

Sumber : http://almanhaj.or.id/content/3081/slash/0/adzan-dan-iqamah-2/

Kamis, 09 Agustus 2012

SALAH KAPRAH DALAM MENGARTIKAN KATA IDUL FITHRI

tulisan ini aku copy dari seorang sahabat,

Mengartikan "Idul Fithri" dengan "Kembali kepada fithrah (kembali suci)", adalah SALAH KAPRAH, baik secara lughah (bahasa/etimologi) maupun syara' (istilah/terminologi).

Kesalahan memaknai Idul Fithri dengan "Kembali kepada Fithrah (kembali suci)", dapat dijelaskan sebagai berikut:


1. Kesalahan Secara Lughah (Bahasa/Etimologi)

Kata "Fithri" dalam Idul Fithri, diambil dari lafazh "fithru (فطر)/ ifthaar" (أفطار), yang artinya menurut bahasa adalah berbuka (berbuka puasa jika terkait dengan puasa).

Jadi, Idul Fithri artinya "hari raya berbuka puasa". Yakni, hari di mana KITA KEMBALI BERBUKA (tidak puasa lagi) setelah selama sebulan berpuasa. Fithri di sini ditulis dengan huruf "fa-tha-ra" (فطر), yang berarti berbuka.

Adapun kata Fithrah yang juga memiliki arti suci, ditulis dengan huruf "fa-tha-ra dan ta marbuthah" (فطرة).

Dari sini SUDAH JELAS kesalahan mereka yang memaknai Idul Fithri dengan kembali suci, secara lughah (bahasa).

2. Kesalahan Secara Syara' (Istilah/Terminologi)

Makna Idul Fithri telah dijelaskan secara syara' oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits berikut:

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

"Puasa itu pada hari (ketika) kalian semua berpuasa, IDUL FITHRI (yaitu) PADA HARI KETIKA KALIAN SEMUA BERBUKA dan Idul Adha ketika kalian semua ber-Idul Adha (menyembelih hewan)."

[Hadits Riwayat at-Tirmidzi dalam Sunannya (no: 633), dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Silsilah ash-Shahihah (no: 224)].

Hadits di atas dengan tegas menyatakan bahwa Idul Fithri ialah hari raya di mana kita kembali berbuka puasa (tidak berpuasa lagi setelah selama sebulan berpuasa).

Oleh karena itu, disunnahkan makan terlebih dahulu pada pagi harinya, sebelum kita pergi ke tanah lapang untuk mendirikan shalat 'Id. Supaya umat mengetahui bahwa Ramadhan telah selesai dan hari ini adalah hari kita berbuka bersama-sama. Itulah arti Idul Fithri. Demikian pemahaman dan keterangan ahli-ahli ilmu dan TIDAK ADA KHILAF di antara mereka.

Jadi, bukan artinya "kembali kepada fithrah (suci)", karena kalau demikian niscaya terjemahan hadits menjadi:

"Al-Fithru (suci), (yaitu) pada hari ketika kalian semua bersuci."

Tidak ada yang menterjemahkan dan memahami demikian KECUALI ORANG-ORANG YANG BENAR-BENAR JAHIL TENTANG DALIL-DALIL SUNNAH dan LUGHAH/BAHASA.

(Dikutip dengan diringkas dan beberapa penyesuaian, dari kitab Al-Masaa-il, Jilid 1, karya Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat hafizhahullah, penerbit Darus Sunnah, Jakarta)

Semoga Allah Ta'ala mudahkan kaum muslimin di negeri ini kembali kepada pemahaman Islam yang benar, amin.

Semoga bermanfaat...

-Sahabatmu-
Abu Muhammad Herman.

Senin, 06 Agustus 2012

Kedudukan Kitab Durratun Nasihin


Pertanyaan :
Bagaimana kedudukan kitab Durratun Nashihin? Apakah dapat dijadikan rujukan untuk diamalkan? Jazakumullah khair
sigit@yahoo.com

Jawab:
Di masyarakat kita, kitab ini cukup populer, menjadi pegangan dalam pengutipan hadits dalam ceramah-ceramah. Lengkapnya, berjudul Durratun Nashihin Fil Wa’zhi wal Irsyad karya Syaikh ‘Utsman bin Hasan bin Ahmad Syakir al-Khubari seorang Ulama yang hidup di abad ke sembilan hijriyah.

Tentang kitab ini, kami kutipkan pernyataan Syaikh bin Baz rahimahullah dalam Fatawa Nur ‘ala ad-Darb (1/80-81), dengan ringkas sebagai berikut:

“Kitab ini tidak bisa dijadikan pegangan. (Sebab) berisi hadits-hadits maudhu (palsu) dan lemah yang tidak bisa dijadikan sandaran, sehingga tidak sepatutunya buku ini dijadikan sandaran dan kitab-kitab serupa lainnya yang berisi hadits palsu dan lemah. Hal ini karena hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendapatkan perhatian penuh dari para imam-imam (ahli) Sunnah. Mereka telah menjelaskan dan memilah hadits-hadits shahih dan yang tidak shahih. Maka, sudah seharusnya seorang mukmin memiliki kitab-kitab yang baik dan bermanfaat (saja), seperti Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, Sunan Arba’ah [1], Mumtaqa al-Akhbar karya Majdudin Ibnu Taimiyah rahimahullah dan kitab Riyadhus Shalihin karya Iman an Nawawi rahimahullah, Bulughul Marom, dan ‘Umdatul Hadits. Kitab-kitab (hadits) ini bermanfaat bagi seorang Mukmin. Kitab-kitab ini jauh dari hadits-hadits palsu dan dusta. Tentang hadits-hadits lemah yang ada di kitab Sunan, Riyadhus Shalihin atau Bulughul Marom, para penulisnya telah menjelaskan dan menyampaikan hukumnya. Hadits-hadits yang lemah yang belum dijelaskan penulis kitab-kitab tersebut, telah dipaparkan dan ditunjukkan oleh para ulama lainnya dalam kitab-kitab syarag yang menjelaskan kitab-kitab tersebut. Demikian juga dijelaskan oleh para ulama dalam karya mereka (secara khusus) tentang hadits-hadits palsu dan lemah.” [2]

Note :
[1] Empat kitab Sunan; Sunan Abu Dawud, at-Tirmidzi, an Nasa’i dan Ibnu Majah, pent.)

[2] Sebagian ulama telah membukukan hadits-hadits palsu dan lemah dalam kitab-kitab tersendiri. Misal, al-Maudhu’at karya Imam Ibnul Jauzi, al-Fawaid al-Majmu’ah karya Imam Syaukani, Silsilah al-aHadits adh-Dhai’ifa wal Maudhu’ah karya Syaikh al Albani dan lain-lain. Buku-buku ini ditulis dalam rangka memperingatkan umat dari hadits-hadits palsu dan lemah agar tidak diamalkan. Pent.

[Disalin ulang dari Majalah as Sunnah Vol.7 Edisi 11/Thn XIV/Rabiul Tsani 1432H/Maret 2011M Hal.7]

Artikel terkait tentang kitab Durratun Nashihin ni dapat di lihat juga pada judul :

Silahkan dibaca juga buku : Hadits-hadits Palsu dalam Kitab Durratun Nashihin. Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA. Penerbit Darus Sunnah Press.


Sumber : http://alqiyamah.wordpress.com/2011/03/24/kedudukan-kitab-durratun-nashihin/

Benarkah Al-Qur’an Turun Pada 17 Ramadhan?


Satu perkara yang sulit dilupakan oleh kaum muslimin bahwa Al-Qur’an turun di bulan Romadhon, tepatnya malam Lailatul Qodar. Allah menurunkan Al-Qur’an di bulan suci ini karena keutamaan yang tinggi baginya, dan hikmah. Allah Ta’ala berfirman,
ﺷَﻬْﺮُ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺃُﻧْﺰِﻝَ ﻓِﻴﻪِ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁَﻥُ‏‎ ‎ﻫُﺪًﻯ ﻟِﻠﻨَّﺎﺱِ ﻭَﺑَﻴِّﻨَﺎﺕٍ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻬُﺪَﻯ ﻭَﺍﻟْﻔُﺮْﻗَﺎﻥِ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Romadhon, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia, dan penjelasan mengenai petunjuk itu, serta pembeda (antara yang haq dengan yang batil).” (QS. Al-Baqoroh: 185)
Al-Hafizh Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala memuji Bulan Puasa (Romadhon) diantara bulan-bulan lainnya dengan memilih Romadhon diantara bulan-bulan itu untuk diturunkan Al-Qur’an yang agung (di dalamnya); sebagaimana halnya Dia mengkhususkan Romadhon dengan hal itu, maka sungguh ada sebuah hadits datang (menyebutkan) bahwa Romadhon adalah bulan yang diturunkan di dalamnya Kitab-Kitab Allah kepada para nabi.“ (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1/292)
Sebagai penguat bagi ucapan Ibnu Katsir rahimahullah, Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﺃُﻧْﺰِﻟَﺖْ ﺻُﺤُﻒُ ﺇِﺑْﺮَﺍﻫِﻴْﻢَ ﺃَﻭَّﻝَ ﻟَﻴْﻠَﺔٍ ﻣِﻦْ‏‎ ‎ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﻭَﺃُﻧْﺰِﻟَﺖِ ﺍﻟﺘَّﻮْﺭَﺍﺓُ ﻟِﺴِﺖٍ ﻣَﻀَﻴْﻦَ ﻣِﻦْ‏‎ ‎ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﻭَﺃُﻧْﺰِﻝَ ﺍﻟْﺈِﻧْﺠِﻴْﻞُ ﻟِﺜَﻠَﺎﺙَ ﻋَﺸْﺮَﺓَ ﻟَﻴْﻠَﺔً‏‎ ‎ﺧَﻠَﺖْ ﻣِﻦْ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﻭَﺃُﻧْﺰِﻝَ ﺍﻟﺰَّﺑُﻮْﺭُ ﻟِﺜَﻤَﺎﻥِ‏‎ ‎ﻋَﺸْﺮَﺓَ ﺧَﻠَﺖْ ﻣِﻦْ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﻭَﺃُﻧْﺰِﻝَ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥُ‏‎ ‎ﻟِﺄَﺭْﺑَﻊٍ ﻭَﻋِﺸْﺮِﻳْﻦَ ﺧَﻠَﺖْ ﻣِﻦْ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ
“Shuhuf Ibrahim diturunkan di malam pertama Romadhon; Taurat diturunkan pada 7 Ramadhan; Injil diturunkan pada 14 Ramadhan; Zabur diturunkan pada tanggal 19 Ramadhan; Al-Qur’an diturunkan pada 25 Ramadhan.” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad (4/107), Abdul Ghoniy Al-Maqdisiy dalam Fadho’il Romadhon (53/1), dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq (2/167/1). Dihasankan oleh Al-Albaniy dalam Shohih As-Siroh, hal. 90)
Hadits ini merupakan bantahan -dari segi sejarah- atas orang yang meyakini bahwa Nuzulul Qur’an pada tanggal 17 Romadhon!!!
Di dalam Al-Qur’an sendiri Allah Ta’ala telah menerangkan kapan turunnya Al-Qur’an, yaitu melalui firman-Nya:
ﺇِ ﻧَّﺂ ﺃَﻧْﺰَﻟْﻨَﻪُ ﻓِﻰ ﻟَﻴْﻠَﺔِ ﺍﻟْﻘَﺪْﺭِ
“Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan (lailatul qadar).” (QS. Al-Qadr: 1)
Kapan lailatul qadar itu? Nabi shallahu’alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada kita tentang hal ini. Beliau bersabda:
“Carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari 4/225 dan Muslim 1169)
Dengan demikian telah jelas bahwa lailatul qadar terjadi pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan yaitu pada malam-malam ganjilnya 21, 23, 25, 27 atau 29. Maka gugurlah keyakinan sebagian kaum muslimin yang menyatakan bahwa turunya al-Quran pertama kali pada tanggal 17 Ramadhan.
Jika ada yang berargumen, “Tanggal 17 Ramadhan yang dimaksud adalah turunnya al-Quran ayat pertama ke dunia kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yaitu surat al-‘Alaq ayat 1-5, sedangkan Lailatul qadar pada surat al-Qadar adalah turunnya al-Quran seluruhnya dari lauhul mahfudz ke Baitul Izzah di langit dunia !!?”
Maka jawabnya: Benar, bahwa turunnya al-Qur’an yaitu pada Lailatul qadar seperti yang tertuang dalam surat al-Qadar adalah turunnya al-Qur’an dari Lauhul Mahfudz ke Baitul Izzah di langit dunia, dan setelah itu al-Qur’an diturunkan secara bertahap selama 23 tahun. Seperti perkataan Ibnu Abbas radliyallahu’anhu dan yang lainnya ketika menafsirkan QS. Ad-Dukhon ayat 3 [1]: “Allah menurunkan al-Qur’an sekaligus dari Lauh Mahfudz ke Baitul Izzah (rumah kemuliaan) di langit dunia kemudian Allah menurunkannya secara berangsur-angsur sesuai dengan berbagai peristiwa selama 23 tahun kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.” (Tafsir Ibnu Katsir 8/441)
Tetapi apakah ini menjadikan benarnya pendapat bahwa turunnya ayat pertama (QS. Al-‘Alaq: 1-5) kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam adalah 17 Ramadhan??
Ada pendapat bagus dari Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarokfury di Kitab Sirohnya tentang kapan awal permulaan wahyu dalam kitab siroh beliau. Beliau menjelaskan bahwa memang ada perbedaan pendapat di antara pakar sejarah tentang kapan awal mula turunnya wahyu, yaitu turunnya surat Al-Alaq: 1-5. Beliau menguatkan pendapat yang menyatakan pada tanggal 21.
Beliau mengatakan: “Kami menguatkan pendapat yang menyatakan pada tanggal 21, sekalipun kami tidak melihat orang yang menguatkan pendapat ini. Sebab semua pakar biografi atau setidak-tidaknya mayoritas di antara mereka sepakat bahwa beliau diangkat menjadi Rasul pada hari Senin, hal ini diperkuat oleh riwayat para imam hadits, dari Abu Qotadah radliyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah ditanya tentang puasa hari Senin. Maka beliau menjawab,
“Pada hari inilah aku dilahirkan dan pada hari ini pula turun wahyu (yang pertama) kepadaku.”
Dalam lafdz lain disebutkan, “Itulah hari aku dilahirkan dan pada hari itu pula aku diutus sebagai rasul atau turun wahyu kepadaku.” (Lihat shahih Muslim 1/368; Ahmad 5/299, Al-Baihaqi 4/286-300, Al-Hakim 2/602)
Hari senin dari bulan Ramadhan pada tahun itu adalah jatuh pada tanggal 7, 14, 21, dan 28.
Beberapa riwayat yang shahih telah menunjukkan bahwa Lailatul Qodar tidak jatuh kecuali pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Jadi jika kami membandingkan antara firman Allah, “Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Quran) pada Lailatul Qodar”, dengan riwayat Abu Qotadah, bahwa diutusnya beliau sebagai rasul jatuh pada hari Senin, serta berdasarkan penelitian ilmiah tentang jatuhnya hari Senin dari bulan Ramadhan pada tahun itu, maka jelaslah bagi kami bahwa diutusnya beliau sebagai rasul jatuh pada malam tanggal 21 dari Bulan Ramadhan. (Lihat Kitab Siroh Nabawiyyah oleh Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarokfury Bab Di Bawah Naungan Nubuwah, hal. 58 pustaka al-Kautsar)
Dengan demikian, peringatan Nuzulul Quran 17 Ramadhan dengan dzikir tertentu dan bentuk pengajian khusus adalah bentuk peringatan yang tidak pernah ada landasannya dari al-Qur’an dan Hadist Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam, sehingga termasuk dalam perkara bid’ah.
Begitu juga acara peringatan lailatul qadar pada malam 27 Ramadhan (atau malam ganjil lainnya) dengan suatu pengajian khusus juga merupakan bid’ah karena Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam tidak pernah memperingatinya melainkan beliau shallahu’alahi wa sallam menghidupkan malam tersebut dengan qiyamul lail dan memperbanyak doa.
Wallahu a’lam bish-shawab.
sumber : http://fadhlihsan.wordpress.com/2012/08/05/benarkah-al-quran-turun-pada-17-ramadhan/

Selasa, 19 Juni 2012

HUKUM MENGANGKAT TANGAN DALAM BERDO'A



Oleh
Syaikh Dr. Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin Al Abbad


Mengangkat kedua tangan dalam berdo'a kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, termasuk adab yang agung. Demikian terdapat di banyak hadits yang shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebagian ulama menggolongkannya ke dalam hadits mutawatir secara makna.

Di dalam Tadribur Rawi Syarh Taqrib Imam Nawawi, ketika mencontohkan hadits-hadits yang mutawatir secara maknawi, Imam Suyuthi rahimahullah berkata : ”Diriwayatkan dari Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sekitar seratus hadits berisi tentang do'a dengan mengangkat tangan. Saya mengumpulkannya dalam satu juz tersendiri, namun dengan masalah yang beragam. Memang dalam setiap masalah tersebut, haditsnya tidak mutawatir. Namun bila dikumpulkan, maka menjadi mutawatir”. (2/180).

Di dalam kitab Shahih-nya, Imam Bukhari rahimahullah membuat bab tentang mengangkat tangan dalam berdo'a. Dia membawakan beberapa hadits, yaitu dari Abu Musa Al Asy'ari, dia berkata :

دَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثمُ َّرَفَعَ يَدَيْهِ وَرَأَيْتُ بَيَاضَ إِبْطَيْهِ

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a, kemudian mengangkat kedua tangannya, sehingga aku melihat putih kedua ketiak Beliau. [1].

Hadits Ibnu Umar, dia berkata:

رَفَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ وَقَالَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَبْرَأُ إِلَيْكَ مِمَّا صَنَعَ خَالِدٌ

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya lantas berdo'a, ”Wahai, Allah. Aku berlepas diri kepadaMu dari apa yang diperbuat Khalid (bin Walid).” [2]

Hadits Anas bin Malik, dari Nabi:

عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْتُ بَيَاضَ إِبْطَيْهِ

Bahwa Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya, sehingga aku melihat putih kedua ketiaknya. [3]. .

Di dalam Syarah Bukhari (Fatthul Bari), Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengisyaratkan, bahwa hadits yang semakna dengan hadits-hadits ini banyak sekali. Lalu ia menyebutkan sebagiannya, diantaranya tentang hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu:

قَدِمَ الطُفَيْلُ بْنُ عَمْرٍو الدَّوْسِي النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ إِنَّ دَوْسًا عَصَتْ فَادْعُ اللهَ عَلَيْهَا فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ فَقَالَ اللَّهُمَّ اهْدِ دَوْسًا

Thufail bin 'Amr Ad Dausi mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata,”Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya kabilah Daus telah durhaka. Berdo'alah kepada Allah agar melaknat mereka,” maka Beliau menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangannya, ”Wahai, Allah. Berilah petunjuk kepada kabilah Daus.” (Hadits ini dikeluarkan Imam Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad, dan termaktub pula dalam Shahihain tanpa kalimat "mengangkat kedua tangannya".[4].

Hadits Jabir bin Abdillah, bahwa Thuafil bin 'Amr, hijrah lalu mengisahkan laki-laki yang berhijrah bersamanya disebutkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: ”Wahai, Allah. Karena perbuatan kedua tangannya, maka ampunilah dia,” lalu beliau mengangkat kedua tangannya. Al Hafizh berkata: ”Sanadnya shahih.” Dikeluarkan juga oleh Muslim.[5]

Hadits dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a sambil mengangkat kedua tangannya: “Wahai, Allah. Aku hanyalah manusia biasa …”.[6] Al Hafizh berkata,”Sanadnya shahih.”

Selanjutnya, Al Hafizh berkata,”Diantara hadits-hadits shahih dalam masalah ini, yaitu hadits yang dikeluarkan oleh Al Bukhari dalam kitab Juz Rof'ul Yadain: “Aku melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya mendo'akan Utsman”[7]. Dikeluarkan pula oleh Muslim dari hadits Abdurrahman bin Samurah dalam kisah gerhana: “Aku (Abdurrahman) sampai kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan Beliau berdo'a sambil mengangkat kedua tangannya.”[8]

Hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dalam kisah gerhana, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya.[9] Dari ‘Aisyah pula, ketika Rasulullah mendo'akan para sahabat yang dikubur di Baqi, ”Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya tiga kali.”[10]

Dari hadits Abu Hurairah yang panjang dalam peristiwa fathu Makkah disebutkan,”Beliau mengangkat kedua tangannya, kemudian mulai berdo'a.”[11]

Hadits Abu Humaid dalam kisah Ibnu Lubtiyyah,”Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam lantas mengangkat kedua tangannya sampai kulihat putih kedua ketiaknya, Beliau berucap,’Wahai, Allah. Bukankah aku telah menyampaikan (risalah Mu)’.”[12]

Hadits Abdullah bin Amr: “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan ucapan Nabi Ibrahim dan Nabi Isa, lantas mengangkat kedua tangannya, (sembari) berucap: ‘Wahai, Allah. Umatku’.” [13]

Dalam hadits Umar Radhiyallahu anhu, disebutkan bahwa “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, jika turun wahyu kepadanya akan terdengar dari dekat wajah Beliau seperti suara dengungan tawon. Suatu hari wahyu turun kepada Beliau, kemudian rasa berat menerima wahyu tersebut lenyap dari Beliau, lantas (Beliau) menghadap kiblat dan berdo'a”. [14]

Hadits Usamah, ia berkata: ”Aku membonceng Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di Arafah, lalu (Beliau) berdo`a dengan mengangkat kedua tangannya. Untanya bergeser sehingga tali kekangnya terlepas, lalu Beliau mengambil tali kekang itu dengan satu tangan, sedangkan tangan yang lain tetap diangkat”[15].

Hadits Qois bin Sa'd, ia berkata: ”Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sllam mengangkat kedua tangannya dan berdo'a,’Wahai, Allah. Tumpahkanlah berkah dan rahmatMu kepada keluarga Sa'd bin Ubadah’.[16]”

“Dan hadits dalam masalah ini sangat banyak,” demikian kata Al Hafizh Ibnu Hajar. (Fathul Bari, 11/142). Al Hafizh telah meneliti secara mendalam hadits-hadits yang memuat do`a dengan mengangkat tangan. Diantara hadits yang shahih dalam masalah ini adalah hadits Salman Al Farisi, Nabi bersabda :

إِنَّ رَبَّكُمْ حَيِّيٌ كَرِيْمٌ يَسْتَحْيِي مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهَا صُفْرًا

"Sesungguhnya Robb kalian itu Maha Pemalu dan Maha Mulia, Dia merasa malu kepada hamba Nya ketika hamba mengangkat tangannya kepadanya Dia mengembalikannya dalam keadaan kosong (tidak dikabulkan)".[17]

Hadits-hadits ini beserta maknanya, menunjukkan bahwa mengangkat tangan ketika berdo'a, termasuk adab berdo'a kepada Allah yang sangat agung. Ini termasuk sebab-sebab dikabulkannya do'a. Sunnah Nabi juga menunjukkan, bahwa mengangkat tangan dalam berdo'a memiliki tiga cara yang berkaitan dengan isi do'a tersebut. Pertama, jika do'a tersebut berupa permintaan yang benar-benar sangat dibutuhkan, memiliki cara berdo'a tersendiri. Kedua, ketika do'a itu berisi permintaan, maka ada caranya tersendiri. Ketiga, jika do'a itu berupa permintaan ampunan, pentauhidan dan pujian, ini juga memiliki cara angkat tersendiri pula.

Ketiga cara mengangkat tangan ini dijelaskan dalam hadits Ibnu Abbas secara marfu' dan mauquf, yaitu : ”Jika berupa permohonan, maka angkatlah tanganmu sejajar pundak atau serupa dengan itu. Jika permohonan ampunan, hendaknya berisyarat dengan jari telunjuk saja. Jika berupa permohonan mendesak, maka angkat kedua tangan”. Pada redaksi lain (disebutkan): “Jika berupa pentauhidan, maka hendakanya berisyarat dengan jari telunjuk. Jika berupa do'a (permintaan), mengangkat tangan setinggi pundak. Dan jika berupa permohonan mendesak, hendaknya mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi”. Diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam Sunan-nya dan Ath Thabrani dalam kitab Do`a, dan selain keduanya.[18]

Berkenaan dengan hadits ini, Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid berkata: Telah ada beberapa hadits dari perbuatan Nabi menjelaskan kedudukan masing-masing dari tiga cara berdo'a ini. Cara do'a ini bukan ikhtilaf tanawu’ (perbedaan cara yang masing-masing boleh dilakukan karena tidak saling bertentangan, Pen). Penjelasaannya sebagai berikut.

Pertama : Do'a Umum.
Dinamakan do'a permohonan, dan juga disebut do'a. Yaitu dengan mengangkat kedua tangan setinggi pundak, atau sejajar dengannya. Kedua telapak tangan dirapatkan. Bagian dalam telapak tangan dibentangkan ke arah langit, dan punggung telapak tangan ke arah tanah. Jika ingin, boleh juga menghadapkan kedua tangan ke arah wajah, sedangkan punggung telapak tangan diarahkan ke kiblat. Inilah cara umum mengangkat tangan ketika berdo'a secara mutlak; baik dalam do'a qunut, witir, meminta hujan atau pada enam tempat ketika haji, yaitu di Arafah, Masy`ar Haram, usai melempar Jumrah Sughra dan Wustha, ketika di atas bukit Shofa dan Marwah, dan waktu-waktu lain.

Kedua : Do'a Memohon Ampunan.
Disebut pula do`a ikhlas, yaitu dengan mengangkat jari telunjuk tangan kanan. Cara ini khusus ketika dzikir, do'a dalam khutbah di atas mimbar, ketika tasyahud dalam shalat, ketika berdzikir, memuji dan membaca la ilaha illallah di luar shalat.

Ketiga : Do'a Ibtihal.
Yaitu merendahkan diri kepada Allah dan permohonan yang sangat. Disebut juga sebagai do'a rahb (permohonan). Caranya dengan mengangkat kedua tangan ke arah langit sampai terlihat ketiaknya. Digambarkan sampai kedua lengan atas terlihat karena mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi. Cara ini lebih khusus dibandingkan dengan dua cara di muka. Cara ini juga dikhususukan ketika keadaan susah, permohonan yang sangat –misalnya- ketika kekeringan, adanya musibah, dikuasai oleh musuh dan keadaan susah lainnya.[19]

CARA MENGANGKAT TANGAN
Disebutkan dalam hadits Anas bin Malik, Beliau berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي شَيْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلاَّ فِي الاِسْتِسْقَاءِ

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah berdo’a dengan mengangkat tangan, kecuali dalam isitisqa` (meminta hujan).[20]

Berdasarkan hadits ini, sebagian ulama berpendapat bahwa mengangkat tangan ketika berdo'a tidak disyari`atkan, kecuali hanya dalam do'a istisqa', do'a selainnya tidak disyari'atkan angkat tangan. Tetapi hadits ini bertentangan dengan banyak hadits yang menunjukkan disyari`atkannya mengangkat tangan selain isitisqa'. Oleh karena itu, Syaikhul Islam berkata,”Yang benar adalah mengangkat tangan secara mutlak. Cara ini telah disebutkan secara mutawatir dalam hadits-hadits yang shahih, seperti: Thufail Ad Dausi mendatangi Nabi, lalu berkata,’Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya kabilah Daus telah durhaka, laknatlah mereka.’ Maka Beliau menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangannya, ’Wahai, Allah. Berilah petunjuk kepada kabilah Daus, dan datangkan mereka kepadaku’.”[21]

Dimuat dalam Shahih, ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendo'akan Abu `Amir, Beliau mengangkat kedua tangannya.[22] Disebutkan dalam hadits 'Aisyah: ”Ketika mendo'akan sahabat yang dikuburkan di Baqi`, Beliau mengangkat kedua tangannya tiga kali”. [Diriwayatkan Muslim].[23]

Dalam hadits tersebut dikatakan, Beliau mengangkat kedua tangannya lalu berdo'a, ”Umatku, umatku,” di akhir hadits: ”Allah berfirman (artinya), Aku akan menjadikan umatmu ridha kepadamu dan Kami tidak akan membuat kamu sedih”.[24]

Pada perang Badr, ketika melihat orang-orang musyrik, Beliau Shallallahi 'alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya dan mulai memohon kepada Rabb-nya. Beliau terus-menerus memohon, sampai-sampai selendangnya terjatuh dari pundak[25].

Dalam hadits Qois bin Sa'd dituturkan: Lalu Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya, lantas berdo'a,

الَّلهُمَّ اجْعَلْ صَلاَتَكَ وَرَحْمَتَكَ عَلَى آلِ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ

Wahai, Allah. Berikan berkah dan rahmatMu kepada keluarga Sa'd bin Ubadah.[26]

Ketika mengirimkan pasukan, dan Ali ikut serta, Beliau berdo'a,”Wahai, Allah. Jangan matikan aku hingga aku melihat Ali.”[27] Di dalam hadits qunut, Beliau juga mengangkat kedua tangannya [28].

Syaikhul Islam lantas menyebutkan hadits Anas di muka, bahwa Nabi tidak pernah berdo'a dengan mengangkat tangan selain di dalam shalat istisqa, kemudian berkata:

Pengkompromian antara hadits Anas ini dengan banyak hadits, (telah) diutarakan oleh sebagian ulama, bahwa Anas menyebutkan angkat tangan tinggi-tinggi sehingga ketiak Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam terlihat dan badan Beliau membungkuk. Cara inilah, yang oleh Ibnu Abbas dinamakan ibtihal (permohonan yang sangat). Ibnu Abbas merinci cara berdo'a ini menjadi tiga macam. Pertama, isyarat dengan telunjuk, seperti yang dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika khutbah di atas mimbar. Kedua, do'a permohonan. Dengan mengangkat kedua tangan sejajar pundak. Demikian ini termuat dalam banyak hadits. Ketiga, ibtihal. Yaitu seperti yang dituturkan Anas. Oleh karena itu Anas berkata,”Beliau mengangkat kedua tangannya sehingga nampak ketiaknya.” [29] Cara do'a ini dengan mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi, menghadapkan bagian dalam telapak tangan mengarah ke wajah dan tanah, sedangkan punggung tangan mengarah ke langit. Penafsiran ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dalam Kitab Marasilnya, dari hadits Abu Ayub Sulaiman bin Musa Ad Dimasqi rahimahullah, dia berkata,”Tidak tercatat dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bila Beliau mengangkat kedua tangan, kecuali pada tiga keadaan saja. (Yaitu) ketika meminta hujan (istisqa'), meminta pertolongan, sore hari di Arafah. Selain (dari waktu-waktu) itu, kadang kala mengangkat tangan, kadang kala tidak”[30]. Mungkin yang dimaksud oleh Anas adalah ketika Beliau berkhutbah pada hari Jum`at, seperti disebutkan di dalam Muslim dan selainnya: ”Beliau tidak mengangkat tangan, kecuali jari telunjuk”[31]. Dalam masalah ini didapati dua pendapat dalam madzhab Imam Ahmad. Pertama, disunnahkan. Ini pendapat Ibnu Aqil. Kedua, tidak disunnahkan, bahkan makruh. Pendapat ini lebih benar. [32] Demikian keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, penyelarasan antara hadits Anas dengan hadits-hadits lainnya yang menetapkan adanya mengangkat tangan beserta maknanya. Bahwa yang dinafikan adalah cara mengangkat tangan yang khusus, bukan cara mengangkat tangan itu sendiri. Sebab, mengangkat tangan ketika do'a istisqa, berbeda dengan do'a selainnya, seperti tangan diangkat tinggi sejajar wajah. Dan ketika do'a permintaan (cara kedua, pen.), yaitu (dengan cara) tangan diangkat sejajar pundak. Komproni ini jangan dipertentangkan dengan kedua hadits tersebut, bahwa Beliau mengangkat tangan sehingga terlihat putih ketiaknya. Namun bisa dikompromikan, bahwa terlihatnya putih ketiak Beliau ketika do`a istisqa itu menandakan, bila mengangkat tangan ketika istisqa lebih tinggi ketimbang mengangkat tangan ketika berdo'a pada selainnya. Hal ini dikarenakan ketika istisqa, kedua telapak tangan mengarah ke tanah, dan ketika berdo'a dihadapkan ke langit. Al Mundziri berkata: ”Misalkan kompromi ini tidak mungkin dilakukan, namun adanya mengangkat tangan dalam do'a ini lebih rajih (kuat)”. Saya (Ibnu Hajar), mengatakan: ”Apalagi hadits yang menetapkan adanya mengangkat tangan ini sangat banyak”. [Fathul Bari, 11/142]

Dari uraian di muka, jelaslah bahwa mengangkat tangan dalam berdo'a disyari`atkan, baik dalam istisqa, atau selainnya. Bahkan mengangkat tangan termasuk sebab-sebab terkabulnya do'a, sebagaimana disebutkan dalam hadits “Sesungguhnya Rabb kalian itu Maha Pemalu dan Maha Mulia. Dia merasa malu kepada hambaNya, ketika hamba mengangkat tangannya kepadaNya, Dia mengembalikannya dalam keadaan kosong (tidak dikabulkan).

Hanya saja, mengangkat tangan ketika istisqa itu lebih tinggi, karena dalam keadaan susah dan merupakan permohonan yang sangat. Adapun mengangkat tangan pada do'a selainnya, hanya setinggi pundak atau sejajar dengannya, sebagaimana pengamalan dari hadits-hadits yang telah disebutkan di awal.

Disebutkan dalam hadits Anas bin Malik yang lain: ”Bahwa Nabi melakukan do'a istisqa dan mengarahkan punggung telapak tangannya ke langit”[33]. Dalam hadits ini terdapat isyarat adanya mengangkat tangan tinggi-tinggi ketika paceklik dan ketika istisqa. Karena itu, Syaikhul Islam berkata: ”Hal itu dikarenakan tangan diangkat tinggi-tinggi, maka bagian dalam telapak tangannya mengarah ke bumi; bukannya di sengaja, sebab ada riwayat yang menginformasikan bahwa Beliau mengangkat kedua tangannya sejajar wajah”.

Syaikh Ibnu Utsamin rahimahullah berkata: Mengangkat tangan dalam berdo`a ada tiga macam.

Pertama : Jika ada dalil untuk mengangkat tangan, maka disunnahkan mengangkat tangan, seperti (halnya) do'a istisqa, do'a di Shafa dan Marwah, di Arafah.

Kedua : Ada dalil, namun tidak menunjukkan (adanya) mengangkat tangan, (maka tidak disyari'atkan mengangkat tangan, pen), seperti do'a di dalam sholat, tasyahud akhir.

Ketiga : Tidak ada dalil yang menerangkan mengangkat tangan, atau tidak mengangkat tangan, maka pada asalnya, hendaknya mengangkat tangan; sebab (hal) itu termasuk adab berdo'a.[34]

Selain itu, mengangkat tangan ketika berdo'a mengandung sikap ketundukkan, merendahkan diri, kepasrahan, ketenangan serta penampakan sikap membutuhkan dan memerlukan kepada Rabb Yang Maha Mulia. Semua ini menjadi sebab terkabulnya do'a.

As Safarini rahimahullah berkata : Ulama mengatakan, disyari’atkannya mengangkat tangan ketika berdo'a hanyalah untuk menambah sikap ketundukkan. Maka terkumpullah pada diri manusia suasana tunduk kala beribadah. Selain itu, seringkali seorang hamba tidak kuasa untuk menggugah hatinya dari kelalaian, sedangkan dia memiliki kekuatan untuk menggerakkan tangan dan lisan. (Maka mengangkat tangan itu), menjadi sarana menuju kekhusyu`an hati. Ulama mengatakan, gerakan anggota badan menyebabkan kebahagiaan batin. Kondisi ini sebagaimana mengangkat telunjuk ketika tasyahud dalam shalat. Dia mengumpulkan hati, lisannya menerjemahkan dan gerakan badan mensucikannya.[35]

KESALAHAN MENGANGKAT TANGAN DALAM BERDO'A
Wajib bagi setiap muslim untuk bersemangat mengetahui petunjuk Nabi, mengikuti langkahnya, menapaki manhajnya dan menjauhi cara-cara baru yang dilakukan manusia dalam mengangkat tangan dan gerakan tangan ketika berdo'a, yaitu cara-cara yang tidak berasal dari generasi terbaik dan manusia paling sempurna do'a dan ketaatannya kepada Allah dan RasulNya. Telah shahih datang dari Nabi, bahwa Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا سَأَلْتمُ ُاللهَ فَاسْأَلُوْهُ بِبُطُوْنِ أَكُفِّكُمْ وَلاَ تَسْأَلُوْهُ بِظُهُوْرِهَا

Jika kalian memohon kepada Allah, maka mintalah dengan menghadapkan telapak tangan bagian dalam kepadaNya, jangan menghadapkan punggung telapak tangan.[36]

Maka wajib bagi setiap muslim untuk memperhatikan hadits-hadits Nabi yang shahih dan komitmen dengannya. Sebab, petunjuk Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan petunjuk terbaik. Hindarilah sikap berlebih-lebihan dalam mengangkat tangan ketika berdoa. Para salaf sangat menghindari menempatkan cara-cara do'a tidak pada tempatnya; seperti mengangkat kedua tangan ketika khutbah pada hari Jum'at, padahal bukan do'a istisqa. Mengangkat kedua tangan dalam berdo'a disyari'atkan pada waktu lainnya.

Muslim meriwayatkan dari 'Umarah bin Ru'aibah, dia melihat Bisyr bin Marwan mengangkat kedua tangannya ketika di atas mimbar. Maka 'Umarah berkata: ”Semoga Allah menjelekkan kedua tangan itu. Sungguh aku pernah melihat Rasulullah tidak lebih dari sekedar mengangkat tangannya begini,” lalu ia mengisyaratkan dengan jari telunjuk”[37].

Lalu bagaimanakah jadinya dengan orang yang membuat cara baru dalam mengangkat tangan, atau gerakan yang tidak ada dasarnya? Siapa saja yang mencermati keadaan orang-orang yang berdo'a, niscaya akan melihat cara mereka yang aneh-aneh [38].

Diantara keanehan itu, ada sebagian orang yang menurunkan tangannya di bawah pusar atau sejajar pusar, dengan direnggangkan atau dirapatkan. Jelas, ini merupakan bukti dari ketidakpedulian dan sedikitnya perhatian terhadap masalah ini. Sebagian lain mengangkat tangan dengan direnggangkan. Ujung jari-jari mengarah kiblat, tapi kedua ibu jari mengarah ke langit. Ini jelas menyelisihi petunjuk Nabi pada hadits di muka: Jika kalian memohon kepada Allah, maka mintalah dengan menghadapkan telapak tangan bagian dalam kepadaNya. Yang lain, mengangkat kedua tangannya dengan membalikkannya ke berbagai arah, atau berdiri dengan menggerakkannya dengan gerakan yang bermacam-macam. Sementara yang lain, jika berdo'a atau sebelum berdo'a mengusapkan satu tangan ke tangan yang lain, atau mengibaskan tangannya atau gerakan serupa lainnya. Lainnya lagi, usai mengangkat tangan lantas menciumnya; yang demikian ini tidak ada asalnya.

Kesalahan lain, usai berdo'a mengusapkan kedua tangan ke wajahnya. Sifat ini memang terdapat dalam sebagian hadits, hanya saja tidak shahih. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Banyak sekali hadits shahih yang menginformasikan bahwa Nabi mengangkat tangan ketika berdo'a. Namun mengusap wajah usai berdo'a tidak diriwayatkan dari Beliau, kecuali hanya ada satu atau dua hadits, tetapi tidak bisa dijadikan hujjah”[39]. Cara baru lainnya, yaitu mencium dua ibu jari, lantas diletakkan pada dua mata ketika muadzin menyebut nama Nabi atau di waktu lain. Cara ini memang terdapat dalam hadits, namun batil, tidak sah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , dengan redaksi ”Barangsiapa ketika mendengar adzan mengucapkan ‘Selamat datang, wahai kecintaanku dan penyejuk kedua mataku, Muhammad bin Abdillah,’ lantas, mencium ibu jarinya, lalu meletakkannya pada matanya, maka mata itu selamanya tidak akan buta dan tidak sakit”. Banyak ulama yang menyatakan hadits ini batil, tidak sah berasal dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam [40].

Dan termasuk khayalan orang-orang sufi, sebagian mereka menyandarkan ucapan hadits batil ini kepada Khidhir Alaihissallam [41]. Termasuk bid'ah pula, yaitu sebagian orang merapatkan jari-jari tangan kanannya, lantas diletakkan pada mata kanannya dan tangan kirinya pada mata kiri dengan diiringi bacaan (Al Qur'an, pen) atau do'a.

Cara lain lagi yang tidak shahih, sebagian orang berdo'a dengan meletakkan tangan di kepala usai salam. Sandaran mereka ialah hadits Anas, dia berkata: ”Adalah Nabi, usai menunaikan shalat Beliau mengusap jidatnya dengan tangan kanan, lalu berdo'a :

بِسْمِ اللهِ الَّذِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ اللَّهُمَّ أَذْهِبْ عَنِّي الْغَمَّ وَالْحَزَنَ

Dengan menyebut nama Allah yang tiada ilah yang berhak disembah, kecuali Dia, Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Ya, Allah. Hilangkan kegundahan dan kesedihanku”. [Diriwayatkan Thabrani di kitab Al Ausath dan Al Bazzar, namun tidak shahih] .[42]

Kesalahan dalam berdo'a, sebagian orang yang shalat kadang-kadang mengisyaratkan kedua jari telunjuknya ketika tasyahud. Diriwayatkan dalam hadits shahih:

أَنَّ النَّبِيَّ مَرَّ عَلَى إِنْسَانٍ يَدْعُوْ وَهُوَ يُشِسْرُ بأُصْبُعَيْهِ السَّبَابَتَيْنِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحِّدْ أَحِّدْ

Nabi melewati seseorang yang berdo'a, dia berisyarat dengan kedua jari telunjuknya, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,”Satu saja, satu saja!” [Diriwayatkan Tirmidzi] [43].

Penyimpangan lain, sebagian orang berdo'a mengangkat tangan pada waktu tertentu tanpa didasari dalil syar'i, seperti mengangkat tangan setelah iqomat untuk shalat, (yang dilakukan) sebelum takbiratul ihram atau setelah salam dari shalat wajib secara bersama-sama atau sendiri-sendiri.

Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahulah berkata: ”Sejauh pengetahuan saya, hadits yang menyebutkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a dengan mengangkat tangan usai shalat wajib, tidaklah shahih; tidak shahih pula dari para sahabat Nabi. Adapun yang dilakukan sebagian orang itu adalah bid'ah, tidak ada dasarnya”[44]. Kesalahan lain, yaitu mengangkat tangan dalam berdo'a usai sujud tilawah, ketika melihat bulan dan waktu lainnya.

Kesimpulannya, waktu-waktu yang ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup, namun beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengangkat tangan dalam berdo'a ketika itu, maka tidak dibolehkan untuk mengangkat tangan. Sebab, perbuatan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah sunnah, amalan yang ditinggalkan juga sunnah (untuk ditinggalkan). Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah tauladan yang baik dalam amalan yang akan datang dan yang telah lalu. Wajib mendasarkan amalan kepada apa-apa yang dibawa Nabi, dan meninggalkan yang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tinggalkan.

Sumber : http://almanhaj.or.id/content/3271/slash/0

Rabu, 08 Februari 2012

HANYA UNTUK PARA ISTRI (Karakteristik Istri Sholihah)

Sesungguhnya banyak sifat-sifat yang merupakan ciri-ciri seorang istri sholihah. Semakin banyak sifat-sifat tersebut pada diri seorang wanita maka nilai kesholehannya semakin tinggi, akan tetapi demikian juga sebaliknya jika semakin sedikit maka semakin rendah pula nilai kesholehannya. Sebagian Sifat-sifat tersebut dengan tegas dijelaskan oleh Allah dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dan sebagiannya lagi sesuai dengan penilaian 'urf (adat). Karena pasangan suami istri diperintahkan untuk saling mempergauli dengan baik sesuai dengan urf.

Sifat-sifat tersebut diantaranya :

Pertama : Segera menyahut dan hadir apabila dipanggil oleh suami jika diajak untuk berhubungan.

Karena sifat ini sangat ditekankan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Nabi memerintahkan seorang istri untuk segera memenuhi hasrat seorang suami dalam kondisi bagaimanapun. Bahkan beliau bersabda “Jika seorang lelaki mengajak istrinya ke tempat tidur, lalu istri itu menolak. Kemudian, suami itu bermalam dalam keadaan marah, maka istrinya itu dilaknat oleh para malaikat hingga waktu pagi.”

Kedua : Tidak membantah perintah suami selagi tidak bertentangan dengan syariat. Allah berfirman :

فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ

Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). (QS An-Nisaa : 34)

Qotadah rahimahullah berkata فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ "Yaitu wanita-wanita yang taat kepada Allah dan kepada suami-suami mereka" (Ad-Dur al-Mantsuur 4/386)

Terkadang pendapat suami bertentangan dengan pendapat istri, karena pendapat istri lebih baik. Seorang istri yang sholehah hendaknya ia menyampaikan pendapatnya tersebut kepada sang suami akan tetapi ia harus ingat bahwasanya segala keputusan berada di tangan suami, apapun keputusannya selama tidak bertentangan dengan syari'at.

Ketiga : Selalu tidak bermasam muka terhadap suami.

Keempat : Senantiasa berusaha memilih perkataan yang terbaik tatkala berbicara dengan suami.

Sifat ini sangat dibutuhkan dalam keutuhan rumah tangga, betapa terkadang perkataan yang lemah lembut lebih berharga di sisi suami dari banyak pelayanan. Dan sebaliknya betapa sering satu perkataan kasar yang keluar dari mulut istri membuat suami dongkol dan melupakan kebaikan-kebaikan istri.

Yang jadi masalah terkadang seorang istri tatkala berbicara dengan sahabat-sahabat wanitanya maka ia berusaha memilih kata-kata yang lembut, dan berusaha menjaga perasaan sahabat-sahabatnya tersebut namun tidak demikian jika dengan suaminya.

Kelima : Tidak memerintahkan suami untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan wanita, seperti memasak, mencuci, memandikan dan mencebok anak-anak.

Keenam : Keluar rumah hanya dengan izin suami.

Ketujuh : Berhias hanya untuk suami.

Tidak sebagaimana sebagian wanita yang hanya berhias tatkala mau keluar rumah sebagai hidangan santapan mata-mata nakal para lelaki.

Kedelapan : Tidak membenarkan orang yang tidak diizinkan suami masuk/bertamu ke dalam rumah.

Kesembilan : Menjaga waktu makan dan waktu istirahatnya kerana perut yang lapar akan membuatkan darah cepat naik. Tidur yang tidak cukup akan menimbulkan keletihan.

Kesepuluh : Menghormati mertua serta kerabat keluarga suami.

Terutama ibu mertua, yang sang suami sangat ditekankan oleh Allah untuk berbakti kepadanya. Seorang istri yang baik harus mengalah kepada ibu mertuanya, dan berusaha mengambil hati ibu mertuanya. Bukan malah menjadikan ibu mertuanya sebagai musuh, meskipun ibu mertuanya sering melakukan kesalahan kepadanya atau menyakiti hatinya. Paling tidak ibu mertua adalah orang yang sudah berusia lanjut dan juga ia adalah ibu suaminya.

Kesebelas : Berusaha menenangkan hati suami jika suami galau, bukan malah banyak menuntut kepada suami sehingga menambah beban suami

Kedua belas
: Segera minta maaf jika melakukan kesalahan kepada suami, dan tidak menunda-nundanya.

Nabi shallallahu 'alaihi bersabda :

" أَلاَ أُخْبِرُكُمْ ....بِنِسَائِكُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ؟ الْوَدُوْدُ الْوَلُوْدُ الْعَؤُوْدُ عَلَى زَوْجِهَا الَّتِي إِذَا غَضِبَ جَاءَتْ حَتَّى تَضَعَ يَدَهَا فِي يَدِ زَوْجِهَا، وَتَقُوْلُ : لاَ أَذُوْقُ غُمْضًا حَتَّى تَرْضَى"

"Maukah aku kabarkan kepada kalian….tentang wanita-wanita kalian penduduk surga? Yaitu wanita yang penyayang (kepada suaminya), yang subur, yang selalu memberikan manfaat kepada suaminya, yang jika suaminya marah maka iapun mendatangi suaminya lantas meletakkan tangannya di tangan suaminya seraya berkata, "Aku tidak bisa tenteram tidur hingga engkau ridho kepadaku" (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Sahihah no 287)

Karena sebagian wanita memiliki sifat angkuh, bahkan malah sebaliknya menunggu suami yang minta maaf kepadanya.

Ketiga belas : Mencium tangan suami tatkala suami hendak bekerja atau sepulang dari pekerjaan.

Keempat belas : Mau diajak oleh suami untuk sholat malam, bahkan bila perlu mengajak suami untuk sholat malam.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

رَحِمَ اللهُ رَجُلاً قَامَ مِنَ الّليْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّتْ, فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِي وَجْهِهَا الْمَاءَ. وَ رَحِمَ اللهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنَ الّليْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَصَلَّى, فَإِنْ أَبَى نَضَحَت فِي وَجْهِهِ الْمَاءَ

“Semoga Allah merahmati seorang lelaki (suami) yang bangun di waktu malam lalu mengerjakan shalat dan ia membangunkan istrinya hingga istrinya pun shalat. Bila istrinya enggan, ia percikkan air ke wajahnya. Dan semoga Allah merahmati seorang wanita (istri) yang bangun di waktu malam lalu mengerjakan shalat dan ia membangunkan suaminya hingga suaminya pun shalat. Bila suaminya enggan, ia percikkan air ke wajahnya.” (HR Abu Dawud no 1308)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

إِذَا أَيْقَظَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ مِنَ اللّيْلِ فَصَلَّيَا أَوْ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ جَمِيْعًا، كُتِبَا في الذَّاكِرِيْنَ وَالذَّاكِرَاتِ

“Apabila seorang lelaki (suami) membangunkan istrinya di waktu malam hingga keduanya mengerjakan shalat atau shalat dua rakaat semuanya, maka keduanya dicatat termasuk golongan laki-laki dan perempuan yang berzikir.”
(HR Abu Dawud no 1309)

Dalam riwayat yang dikeluarkan An-Nasa`i disebutkan dengan lafadz:

إِذَا اسْتَيْقَظَ الرَّجُلُ مِنَ اللّيْلِ وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّيَا رَكْعَتَيْنِ, كُتِبَا مِنَ الذَّاكِرِيْنَ اللهَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتِ

“Apabila seorang lelaki (suami) bangun di waktu malam dan ia membangunkan istrinya lalu keduanya mengerjakan shalat dua rakaat, maka keduanya dicatat termasuk golongan laki-laki dan perempuan yang banyak mengingat/berdzikir kepada Allah.”


Kelima belas
: Tidak menyebarkan rahasia keluarga terlebih lagi rahasia ranjang !!. Bahkan berusaha menutup aib-aib suami, serta memuji suami agar menambahkan rasa sayang dan cintanya.

Keenam belas : Tidak membentak atau mengeraskan suara di hadapan suami.

Ketujuh belas : Berusaha untuk bersifat qona'ah (nerimo) sehingga tidak banyak menuntut harta kepada suami.

Kedelapan belas : Tidak menunjukkan kesedihan tatkala suami sedang bergembira, dan sebaliknya tidak bergembira tatkala suami sedang bersedih, akan tetapi berusaha pandai mengikut suasana hatinya.

Kesembilan belas : Berusaha untuk memperhatikan kesukaan suami dan jangan sampai suami melihat sesuatu yang buruk dari dirinya atau mencium sesuatu yang tidak enak dari tubuhnya.

Kedua puluh
: Berusaha mengatur uang suami dengan sebaik-baiknya dan tidak boros, sehingga tidak membeli barang-barang yang tidak diperlukan.

Kedua puluh satu : Tidak menceritakan kecantikan dan sifat-sifat wanita yang lain kepada suaminya yang mengakibatkan suaminya bisa mengkhayalkan wanita tersebut, bahkan membanding-bandingkannya dengan wanita lain tersebut.

Kedua puluh dua : Berusaha menasehati suami dengan baik tatkala suami terjerumus dalam kemaksiatan, bukan malah ikut-ikutan suami bermaksiat kepada Allah, terutama di masa sekarang ini yang terlalu banyak kegemerlapan dunia yang melanggar syari'at Allah

Kedua puluh tiga : Menjaga pandangannya sehingga berusaha tidak melihat kecuali ketampanan suaminya, sehingga jadilah suaminya yang tertampan di hatinya dan kecintaannya tertumpu pada suaminya.

Tidak sebagaimana sebagian wanita yang suka membanding-bandingkan suaminya dengan para lelaki lain.

Kedua puluh empat : Lebih suka menetap di rumah, dan tidak suka sering keluar rumah.

Kedua puluh lima : Jika suami melakukan kesalahan maka tidak melupakan kebaikan-kebaikan suami selama ini. Bahkan sekali-kali tidak mengeluarkan perkataan yang mengisyaratkan akan hal ini. Karena sebab terbesar yang menyebabkan para wanita dipanggang di api neraka adalah tatkala suami berbuat kesalahan mereka melupakan dan mengingkari kebaikan-kebaikan suami mereka.



Setelah membaca dan memperhatikan sifat-sifat di atas, hendaknya seorang wanita benar-benar menimbang-nimbang dan menilai dirinya sendiri. Jika sebagian besar sifat-sifat tersebut tercermin dalam dirinya maka hendaknya ia bersyukur kepada Allah dan berusaha untuk menjadi yang terbaik dan terbaik.

Akan tetapi jika ternyata kebanyakan sifat-sifat tersebut kosong dari dirinya maka hendaknya ia ber-instrospeksi diri dan berusaha memperbaiki dirinya. Ingatlah bahwa surga berada di bawah telapak kaki suaminya !!!

Tentunya seorang suami yang baik menyadari bahwa istrinya bukanlah bidadari sebagaimana dirinya juga bukanlah malaikat. Sebagaimana dirinya tidak sempurna maka janganlah ia menuntut agar istrinya juga sempurna.

Akan tetapi sebagaimana perkataan penyair :

مَنْ ذَا الَّذِي تُرْضَي سَجَايَاه كُلُّهَا...كَفَى الْمَرْءَ نُبْلًا أَنَّ تُعَدَّ مَعَايِبُهُ

"Siapakah yang seluruh perangainya diridhoi/disukai…??

Cukuplah seseorang itu mulia jika aibnya/kekurangannya masih terhitung…"

Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 04-03-1433 H / 27 Januari 2011 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com