Kamis, 15 September 2011

Adakah Bid’ah Hasanah? (4) – Pembagian Bid’ah Oleh Imam Asy Syafi’i



DALIL YANG KETIGA:
Untuk menguatkan pendapat bahwa ada bid’ah hasanah, pendebat berdalilkan dengan ucapan Imam Asy Syafi’I rahimahullah:
Bid’ah itu ada dua macam: Bid’ah Mahmudah (terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (tercela), maka apa-apa yang sesuai dengan sunnah itu adalah terpuji, dan apa-apa yang menyelisihi sunnah itu adalah tercela.” (Hilyatul Auliya 9/113)
Dan berkata pula Imam Asy Syafi’I rahimahullah:
Suatu yang diada-adakan itu ada dua macam: Sesuatu yang diada-adakan menyelisihi kitab atau sunnah, atau atsar, atau ijma’, maka ini adalah bid’ah yang sesat; dan sesuatu yang diada-adakan dari kebaikan yang sedikitpun tidak menyelisihi sunnah, maka ini tidak tercela.” (Manaqibu Asy Safi’I oleh Al Baihaqi 1/469 dan Al Ba’its oleh Abi Syamah hal. 94)

Dalil ini tidak bisa digunakan sebagai penetapan adanya bid’ah hasanah dikarenakan beberapa alasan:
ALASAN PERTAMA:
Telah kita singgung didepan, bahwa tidak boleh perkataan seluruh manusia bertententangan dengan perkataan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Perkataan Rasulullah menjadi hujjah bagi setiap orang dan bukanlah perkataan seseorang dari manusia menjadi hujjah atas Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.
Telah berkata Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu’anhu:
“Tidaklah ada seorangpun selain Nabi shallallahu’alaihi wa sallam melainkan pendapatnya dapat diambil dan ditinggalkan.”
Telah berkata Imam Asy Syafi’I rahimahullah:
“Setiap apa yang aku katakan, apabila menyelisihi hadits dari Rasulullah, maka hadits Rasulullah itulah yang lebih utama (untuk diikuti). Janganlah kalian bertaqlid kepadaku.” (Hilyatul Auliya’ 9/108)
ALASAN KEDUA:
Sesungguhnya orang yang mau berfikir terhadap perkataan Imam Syafi’I rahimahullah tersebut, maka tidak diragukan lagi bahwa yang dimaksud oleh Imam Asy Syafi’I dengan Bid’ah Mahmudah (terpuji) adalah pengertian bid’ah secara bahasa (lughoh) dan bukan secara syar’I.
Dengan dalil, bahwasanya semua yang bid’ah menurut syariat adalah menyelisihi kitab dan sunnah, dan Imam Asy Syafi’I sendiri memberi batasan bid’ah yang terpuji yaitu yang tidak bertentangan/menyelisihi Al Qur’an dan Sunnah. Padahal bid’ah secara syar’I jelas-jelas menyelisihi firman Allah subhanahu wa ta’ala:
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. (Al Maidah: 3)Dan menyelisihi sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
Barangsiapa mengada-adakan dalam urusan kami ini perkara yang tidak ada asalnya, maka hal itu tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)Dan masih banyak lagi ayat dan hadits yang lainnya.
Berkata Ibnu Rajab rahimahullah:
“Yang dimaksud oleh Imam Asy Syafi’I rahimahullah, yang telah disebutkan sebelumnya, adalah bahwasanya pada dasarnya bid’ah yang tercela (Bid’ah Madzmumah) adalah sesuatu yang tidak ada asalnya dalam syariat, yang dia akan kembali padanya, inilah bid’ah menurut syar’i. Adapun bid’ah yang terpuji (Bid’ah Mahmudah) adalah segala yang sesuai dengan sunnah, yakni sesuatu yang ada dasarnya dari sunnah yang kembali padanya, hanya saja pemahaman ini secara lughoh (bahasa) bukan secara syar’I, karena sesuai dengan sunnah. (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam hadits no. 28)
Dan bid’ah secara lughoh (bahasa) yang dimaksud oleh Imam Asy Syafi’I rahimahullah dalam perkataan beliau “bid’ah terpuji”, misalnya: penulisan hadits dan sholat tarawih, maka benarlah bahwa definisi bid’ah disini adalah secara lughoh (bahasa) karena hal ini tidak ada contoh yang mendahuluinya; adapun menurut definisi syar’I, ini tidak benar karena perbuatan tersebut ada asalnya dari sunnah.
Kesimpulan dari perkataan diatas:
Bahwa setiap bid’ah yang dikatakan terpuji, bukanlah bid’ah, akan tetapi diduga bid’ah, dan jika memang telah dipastikan sesuatu itu adalah bid’ah, maka bid’ah itu jelek secara qoth’I (pasti), karena menyelisihi Al Qur’an dan Sunnah.
ALASAN KETIGA:
Sudah mahsyur tentang Imam Asy Syafi’I rahimahullah, bahwasanya beliau sangat menjaga dalam mengikuti Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan sangat benci terhadap orang yang menolak hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Terbukti ketika beliau ditanya tentang suatu permasalahan, maka beliau mengatakan: “Telah diriwayatkan tentang hal tersebut demikian dan demikian dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam”, maka ada yang bertanya “Wahai Abu ‘Abdillah apakah kamu berpendapat dengannya?” Maka Imam Asy Syafi’I gemetar (karena marah) dan tergoncang, seraya beliau berkata “Wahai kamu, bumi manakah yang akan kupijak dan langit manakan yang akan kunaungi, apabila aku telah meriwayatkan suatu hadits dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam kemudian aku tidak berpendapat dengan hadits tersebut? Ya, wajib bagiku dengan pendengaran dan penglihatanku” (Shifatu sufwah 2/256)
Maka bagaimana mungkin dalam keadaan beliau yang demikian ini, beliau menyelisihi hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (semua bid’ah adalah sesat).
Bahkan lebih pantas perkataan Imam Asy Syafi’I ditempatkan pada tempatnya yang tidak bertentangan dengan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Sesungguhnya yang dimaksud Imam Asy Syafi’I rahimahullah “bid’ah” dalam ucapannya ini adalah makna secara lughowi.
Telah berkata Imam Asy Syafi’I rahimahullah:
“Apabila kalian mendapati di dalam kitabku menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka katakanlah dengan sunnah itu dan tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Siyar A’lamun Nubala’ 10/34)
Imam Asy Syafi’I rahimahullah mengatakan:
“Setiap hadits dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, maka itu adalah pendapatku (perkataanku) walaupun kalian tidak mendengarnya dariku.” (Siyar A’lamun Nubala’ 10/34)
Imam Asy Syafi’I rahimahullah mengatakan:
“Setiap apa yang aku katakan, apabila menyelisihi hadits dari Rasulullah, maka hadits rasulullah itulah yang lebih utama (untuk diikuti). Janganlah kalian bertaqlid kepadaku.” (Hilyatul Auliya’ 9/108)
Imam Asy Syafi’I rahimahullah mengatakan:
“Setiap masalah yang benar datangnya dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menurut ahlu Naql sementara ia menyelisihi apa yang aku katakan, maka saya akan kembali merujuk pada hadits itu selama hidupku dan setelah matiku.” (Tawaliy At Ta’sisi 108)

Adakah Bid’ah Hasanah? (3) – Ucapan ‘Umar bin Khatthab



DALIL YANG KEDUA:
Pendebat menetapkan adanya bid’ah hasanah dengan dalil, ucapan ‘Umar bin Khatthab radhiyallahu’anhu
نِعْمَ الْبِدْعَة هَذِهِ
Sebaik-baik bid’ah adalah ini (tarawih berjamaah).” (HR. Bukhari)
Dalil ini tidak bisa digunakan sebagai penetapan adanya bid’ah hasanah dikarenakan beberapa alasan:
ALASAN PERTAMA:
Anggaplah kita terima dalalah (pendalilan) ucapan beliau seperti yang mereka maukan – bahwa bid’ah itu ada yang baik, namun sesungguhnya, kita kaum muslimin mempunyai satu pedoman; kita tidak boleh mempertentangkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam; dengan pendapat siapapun juga (selain beliau). Tidak dibenarkan kita membenturkan sabda beliau dengan ucapan Abu Bakar, meskipun dia adalah orang terbaik di umat ini sesudah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau dengan perkataan ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu ataupun yang lainnya.

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan:
“Hampir-hampir kalian ditimpa hujan batu dari langit. Aku katakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam; bersabda demikian…demikian, (tapi) kalian mengatakan: Kata Abu Bakr dan ‘Umar begini…begini….”
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullah mengatakan:
“Tidak ada pendapat seorangpun di atas suatu sunnah yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalaninya.” (I’lamul Muwaqi’in 2/282)
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan:
“Kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena pendapat (pemikiran) seseorang.” (I’lamul Muwaqi’in 2/282)
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan:
“Barangsiapa yang menolak hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berarti dia (sedang) berada di tepi jurang kehancuran.” (Thobaqot Al Hanabilah 2/15, Al Ibanah 1/260)
ALASAN KEDUA:
Bahwasanya Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu mengatakan: نِعْمَ الْبِدْعَة هَذِهِ (sebaik-baik bid’ah adalah ini) ketika beliau mengumpulkan manusia untuk mengerjakan shoat tarawih, padahal shalat tarawih berjamaah ini bukanlah suatu bid’ah. Bahkan perbuatan tersebut termasuk sunnah dengan dalil yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam; pada suatu malam shalat di masjid, kemudian orang-orang mengikuti beliau. Kemudian keesokan harinya jumlah mereka semakin banyak. Setelah itu malam berikutnya (ketiga atau keempat) mereka berkumpul (menunggu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam;). Namun beliau tidak keluar. Pada pagi harinya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Sungguh aku telah melihat apa yang kalian lakukan. Dan tidak ada yang menghalangiku untuk keluar (shalat bersama kalian) kecuali kekhawatiran (kalau-kalau) nanti (shalat ini) diwajibkan atas kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 1129)
Secara tegas beliau menyatakan di sini alasan mengapa beliau meninggalkan shalat tarawih berjamaah. Maka tatkala ‘Umar radhiallahu ‘anhu melihat alasan ini (kekhawatiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) sudah tidak ada lagi, beliau menghidupkan kembali shalat tarawih berjamaah ini. Dengan demikian, jelaslah bahwa tindakan khalifah ‘Umar radhiallahu ‘anhu ini mempunyai landasan yang kuat yaitu perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri.
Hadits Aisyah ini juga menunjukkan dengan jelas bahwa sejak zaman Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sholat tarawih berjamaah telah disunnahkan, tidak sebagaimana yang dikatakan oleh pendebat.
ALASAN KETIGA:
Jika sudah jelas bahwa yang dikerjakan Umar radhiyallahu’anhu ini bukan termasuk Bid’ah, maka apakah makna bid’ah dalam ucapan beliau tersebut?
Sesungguhnya yang dimaksud bid’ah dalam ucapan Umar radhiyallahu’anhu adalah makna bid’ah secara bahasa, bukan makna secara syar’i. Adapun bid’ah menurut bahasa adalah “Apa-apa yang dikerjakan tanpa ada contoh sebelumnya.” (Lisanul Arab 8/6)
Ketika sholat tarawih dengan berjamaah ini tidak dikerjakan pada masa Abu Bakar dan pada awal masa Umar, maka kata “bid’ah” pada ucapan Umar adalah menurut bahasa. Maksudnya tidak ada contoh yang mendahuluinya.
Sedangkan menurut syar’I jelas bukan, karena sholat ini ada asalnya, yaitu dari apa yang telah dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Berkata Imam Asy Syatibi rahimahullah:
“Barangsiapa yang menamakan bid’ah dengan ibarat ini, maka tidak ada masalah dalam hal penamaan. Akan tetapi hal itu tidak dapat dijadikan dalil untuk mendukung adanya bid’ah yang sedang kita bicarakan (bid’ah hasanah). Karena hal tersebut merupakan pemindahan kalimat dari tempat yang semestinya.
Berikut kami kemukakan sebagian pendapat para Imam sebagai bukti terhadap yang telah kami sebutkan:
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah:
“Bid’ah itu ada dua macam:
Pertama: adakalanya bid’ah itu secara syar’I sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
Sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”
Kedua: adakalanya bid’ah itu secara lughoh, sebagaimana perkataan ‘Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu tentang pengumpulan mereka untuk melaksanakan sholat tarawih secara berjamaah dan dilakukan demikian seterusnya, yakni:
نِعْمَ الْبِدْعَة هَذِهِ
Sebaik-baik bid’ah adalah ini (tarawih berjamaah). (HR. Bukhari) (Tafsir Ibnu Katsir: surah Al Baqarah: 117)
Berkata Ibnu Rajab rahimahullah:
“Adapun sesuatu yang terjadi dari perkataan salaf tentang adanya sebagian bid’ah hasanah, yang dimaksud adalah bid’ah secara lughoh bukan menurut syar’I, seperti perkataan Umar radhiyallahu’anhu:
نِعْمَ الْبِدْعَة هَذِهِ
Sebaik-baik bid’ah adalah ini (tarawih berjamaah). (HR. Bukhari)
Maksudnya adalah, perbuatan ini (sholat tarawih berjamaah secara terus menerus –ag) tidak dilakukan sebelumnya, akan tetapi ada asal atau sumber syar’I yang perbuatan itu kembali kepadanya.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hadits 28)
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
“Kebanyakan orang, menggunakan perkataan Umar نِعْمَ الْبِدْعَة هَذِهِ (sebaik-baik bid’ah adalah ini) sebagai dalil untuk mendukung adanya bid’ah hasanah. Padahal bid’ah disni adalah penamaan/penyebutan secara lughowi (bahasa), bukan penamaan/penyebutan secara syar’i. Karena, arti bid’ah menurut bahasa mencakup semua yang dikerjakan tanpa adanya contoh yang mendahuluinya. Adapun definisi bid’ah menurut syar’I adalah: Setiap apa-apa yang tidak ada dalil syar’I yang menunjukkan atasnya.” (Iqtidho Shirathal Mustaqim, hal. 276)

Adakah Bid’ah Hasanah? (2) – Hadits: Man Sanna Fil Islami Sunnatan


Poin Kedua: Penjelasan dalil-dalil yang digunakan oleh orang yang menganggap adanya bid’ah hasanah, khususnya dalil-dalil yang digunakan oleh pendebat.
DALIL YANG PERTAMA:
Pendebat menetapkan dua macam bid’ah; bid’ah yang memberikan petunjuk dan bid’ah kesesatan, pendebat berdalilkan dengan sabda Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam:
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ . ومَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah (sunnah yang baik) dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah (sunnah yang jelek) dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim)
Dalil ini tidak bisa digunakan sebagai penetapan adanya bid’ah hasanah dikarenakan beberapa alasan:
ALASAN PERTAMA:
Bahwasanya makna
مَنْ سَنَّ (Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah) pada hadits diatas ialah: Mengerjakan amal dalam rangka melaksanakan atau mengikuti, bukan dengan membuat syariat yang baru. Adapun maksud hadits tersebut adalah; beramal dengan apa-apa yang telah ditetapkan dalam sunnah nabawi, hal ini sebagaimana yang ditunjukkan oleh Asbabul wurud hadits ini, yaitu tentang shodaqoh yang telah disyariatkan.
Sababul wurud (sebab terjadinya) hadits ini sudah dikenal, yaitu ketika orang-orang Arab yang miskin datang menemui Nabi
Shallallahu’alaihi wa sallam. Beliau trenyuh melihat keadaan mereka dan merasa sangat sedih karenanya. Maka beliau pun memerintahkan dan mendorong para shahabatnya untuk bersedekah. Lalu berdirilah seseorang dari kalangan shahabat untuk memberikan sedekahnya berupa makanan sepenuh telapak tangannya. Kemudian manusia pun berturut-turut memberikan sedekah karena mencontoh orang ini, karena memang dialah yang pertama kali membuka jalan bagi mereka. Saat itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً
Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam…”
Orang ini telah melakukan amalan sunnah, yaitu bersedekah dan membantu orang yang membutuhkan. Sedangkan sedekah diperintahkan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, maka sedekah merupakan sunnah hasanah, bukan bid’ah. Siapa yang menghidupkan, mengamalkan, dan menerangkannya pada manusia hingga mereka pun mengamalkan dan mencontohnya dalam melakukan amalan/sunnah tersebut, orang itu mendapatkan pahala semisal pahala mereka.” (Dhahiratut Tabdi’ wat Tafsiq wat Takfir wa Dhawabithuha, hal. 42, 47-48)
Al-Imam Abu Ishaq Asy-Syathibi
rahimahullah dalam kitabnya yang masyhur Al-I’tisham (1/233 dan 235) menyatakan bahwa dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas tidaklah sama sekali menunjukkan bolehnya mengada-adakan perkara baru, tapi justru menunjukkan pengamalan suatu sunnah yang tsabit (pasti) keberadaannya, sehingga sunnah hasanah bukanlah perkara mubtada’ah (yang diada-adakan/ bid’ah).
Al-Imam An-Nawawi
rahimahullah berkata ketika mensyarah (menjelaskan) hadits yang agung ini: “Dalam hadits ini ada dorongan untuk mengawali melakukan amalan-amalan kebaikan dan mengerjakan sunnah-sunnah hasanah (menghidupkan perkara kebaikan yang telah ditinggalkan oleh orang-orang dan menghidupkan sunnah yang telah mati, –ag.). Dan (dalam hadits ini juga) terdapat peringatan untuk tidak melakukan perkara kebatilan dan kejelekan.”
Beliau
rahimahullah juga menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan keutamaan yang besar bagi orang yang memulai melakukan satu amalan kebaikan dan menjadi pembuka pintu amalan ihsan/ kebaikan bagi lainnya. Dan barangsiapa yang melakukan sunnah hasanah, ia akan mendapatkan pahala semisal dengan pahala-pahala yang didapatkan oleh orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut (karena mencontohnya) semasa hidupnya ataupun setelah matinya sampai hari kiamat. Dan sebaliknya, barangsiapa membuat sunnah sayyiah, niscaya ia akan mendapatkan dosa semisal dosa orang-orang yang menirunya dalam melakukan sunnah tersebut semasa hidupnya atau sepeninggalnya sampai hari kiamat. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 7/105-106, 16/443-444)
ALASAN KEDUA:
Bahwasanya Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً (barangsiapa yang mengerjakan dalam islam sunnah yang baik), sementara beliau juga bersabda كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (semua bid’ah adalah sesat).
Sabda Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam saling mendukung antara satu dengan yang lainnya, dan tidak mungkin muncul dari Ash-Shadiqul Mashduq (Rasul yang benar dan dibenarkan) Shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu perkataan yang mendustakan ucapannya yang lain. Tidak mungkin pula perkataan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam saling bertentangan. Maka dari semua sabda beliau dapat diketahui bahwa maksud hadits diatas adalah menghidupkan kembali sunnah dan memunculkannya ke permukaan.
Dengan alasan ini, maka tidak boleh kita mengambil satu hadits dan mempertentangkannya dengan hadits yang lain. Karena sesungguhnya ini adalah seperti perbuatan orang yang beriman kepada sebagian Al-Kitab tetapi kafir kepada sebagian yang lain.
ALASAN KETIGA:
Bahwasanya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan مَنْ سَنَّ (barangsiapa membuat sunnah), beliau tidak mengatakan مَنِ ابْتَدَعَ (barangsiapa yang membuat bid’ah).
Juga mengatakan
فِي اْلإِسْلاَمِ (dalam Islam). Sedangkan bid’ah bukan dari ajaran Islam.
Beliau juga mengatakan
حَسَنَةً (yang baik). Dan perbuatan bid’ah itu bukanlah sesuatu yang hasanah (baik).
Tidak ada persamaan antara As Sunnah dengan bid’ah, karena sunnah itu adalah jalan yang diikuti, sedangkan bid’ah adalah perkara baru yang diada-adakan di dalam agama.
ALASAN KEEMPAT:
Tidak satupun kita dapatkan keterangan yang dinukil dari salafush shalih menyatakan bahwa mereka menafsirkan Sunnah Hasanah itu sebagai bid’ah yang dibuat-buat sendiri oleh manusia.

 Adakah Bid’ah Hasanah? (1) – Semua bid’ah Adalah Sesat

Bismillah..
Segala puji bagi Allah Rabb sekalian alam, sholawat dan salam bagi Nabi yang ummiy Al Amin, juga untuk keluarga dan para sahabatnya.
Suatu hal yang seringkali menjadi perbincangan adalah penetapan ada atau tidaknya bid’ah hasanah dalam dinul islam yang telah Allah sempurnakan ini.
Maka dalam tulisan saya ini, insya allah pembahasan akan saya titik beratkan pada tiga hal berikut ini:
  1. 1. Penegasan bahwa semua bid’ah adalah sesat, dengan dalil dari Al Qur’an dan Sunnah serta Atsar dari para sahabat Rasulullah, sesuai dengan penjelasan para ulama
  2. Penjelasan dalil-dalil yang digunakan oleh orang yang menganggap adanya bid’ah hasanah, khususnya dalil-dalil yang biasa digunakan oleh pendebat
  3. Penegasan bahwa tidak ada bid’ah hasanah dalam islam

    Barangsiapa yang bersikap adil dalam membaca tulisan ini, maka akan dapat mengetahui secara pasti bahwasanya tidak ada bid’ah hasanah dalam islam. Walaupun hawa nafsu sebagian manusia menolaknya.
    Maka aku wasiatkan kepada diri kami sendiri dan kepada saudaraku semuanya, untuk mengingat kembali firman Allah subhanahu wa ta’ala:
    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
    Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biar pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau pun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (An Nisaa: 135)
    Jika hal ini telah dipahami, maka saya akan memulai untuk masuk kepada pembahasan inti dari tulisan ini.
    Poin Pertama: Penegasan Kembali, Bahwa Semua Bid’ah Adalah Sesat
    Poin ini hendaknya benar-benar mendapat perhatian yang lebih dari pembaca, dan hendaknya membacanya dengan sikap adil dan tidak memihak kepada kebatilan, disini akan disebutkan dalil-dalil dari Al Qur’an yang mulia dan Sunnah yang suci tentang sesatnya perbuatan bid’ah, beserta beberapa penjelasan dari para ulama tentang dalil-dalil tersebut.
    Dalil Pertama:
    Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
    الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
    Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. (Al Maidah: 3)
    Telah berkata Imam Malik bin Anas rahimahullah:
    “Barangsiapa mengada-adakan di dalam islam suatu kebid’ahan yang dia melihatnya sebagai suatu kebaikan, ia telah menuduh bahwa Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam mengkhianati risalah, karena Allah Ta’ala berfirman: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.Maka sesungguhnya yang tidak menjadi bagian dari agama pada hari itu (hari pada saat ayat ini turun –ag), tidak menjadi bagian dari agama pula pada hari ini.” (Al I’tishom, Imam Asy Syatibi 1/64)
    Berkata Al Imam Asy Syaukani rahimahullah:
    “Maka sungguh, apabila Allah subhanahu wa ta’ala telah menyempurnakan agamaNya sebelum mematikan Nabi-Nya Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam, bagaimana dengan pendapat orang yang mengada-adakan setelah Allah menyempurnakan agamaNya?! Seandainya sesuatu yang mereka ada-adakan termasuk dalam urusan agama, berarti (mereka menyatakan bahwa –ag) belum sempurna agama ini, ini berarti mereka telah menolak Al Qur’an, dan jika apa yang mereka ada-adakan bukan termasuk dari urusan agama, maka apa faedahnya menyibukkan diri dengan sesuatu yang bukan dari urusan agama?
    Ini adalah hujjah yang terang dan dalil yang agung, tidak mungkin orang yang mengandalkan akalnya dapat mempertahankan hujjahnya selama-lamanya. Maka jadikanlah ayat yang mulia ini sebagai hujjah yang pertama kali memukul wajah ra’yi (orang yang mengandalkan akalnya) dan menusuk hidung-hidung mereka dan mematahkan hujjah mereka. (Al Qoulul Mufid fi Adillati Al Ijtihad wa At Taqlid hal. 38)
    Dalil Kedua:
    Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda “Barangsiapa yang hidup diantara kalian sepeninggalku, niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu kalian wajib berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang berpetunjuk (yang datang) sesudahku, gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam urusan agama, -ag), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ad Darimi)
    Telah berkata Al Imam Ibnu rajab rahimahullah:
    “Sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (semua bid’ah adalah sesat) merupakan kata yang menyeluruh, dan tidak ada pengecualian sedikitpun dan merupakan dasar yang agung dari dasar-dasar agama.” (Jami’ul Ilmi hal. 549)
    Telah berkata Al Imam Ibnu Hajar rahimahullah:
    “Sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (semua bid’ah adalah sesat) merupakan qoidah syar’iyyah yang menyeluruh baik lafadz maupun maknanya. Adapun lafadznya, seolah-olah mengatakan “Ini hukumnya bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat.”
    Maka, bid’ah tidak termasuk bagian dari syariat, karena semua syariat adalah petunjuk (bukan kesesatan –ag), apabila telah tetap bahwa hukum yang disebut itu adalah bid’ah, maka ditetapkanlah كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (semua bid’ah adalah sesat) baik secara lafadz maupun maknanya, dan inilah yang dimaksud. (Fathul Baari 13/254)
    Berkata Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah:
    “Sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (semua bid’ah adalah sesat) makna yang terkandung didalamnya bersifat menyeluruh, umum, mencakup dan didukung dengan kata yang kuat. Mencakup dan umum pula yaitu pada lafadz كُلُّ (semua). Maka segala sesuatu yang didakwahkan sebagai bid’ah hasanah, jawabannya adalah dengan ucapan diatas, sehingga tidak ada pintu masuk bagi ahlul bid’ah untuk menjadikan bid’ah mereka sebagai bid’ah hasanah, dan ditangan kami ada pedang yang sangat tajam dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, yakni كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (semua bid’ah adalah sesat).
    Pedang yang sangat tajam ini dibuat di atas nubuwah dan risalah, dan tidak dibuat di atas sesuatu yang goyah, dan bentuk kalimat yang digunakan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam ini sangat jelas, maka tidak mungkin seseorang menandingi pedang yang tajam ini dengan mengatakan adanya bid’ah hasanah (bid’ah yang baik –ag), sementara Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (semua bid’ah adalah sesat). (Al Ibda fi Kamalisy Syar’i wa Khothiri Al Ibtida’ hal. 13)
    Dalil Ketiga:
    Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
    مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
    Barangsiapa mengada-adakan dalam urusan kami ini perkara yang tidak ada asalnya, maka hal itu tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
    Berkata Al Imam Asy Syaukani rahimahullah:
    “Hadits ini termasuk pondasi pokok agama, karena termuat di dalamnya banyak hukum yang tidak bisa dibatasi. Betapa jelas sumber dalil untuk membatalkan ahli fiqh yang berpendapat bahwa bid’ah itu terbagi menjadi beberapa bagian, dan penolakan mereka secara khusus tentang sebagian di dalamnya, sementara tidak ada pengkhususan (yang dapat diterima) baik dari dalil aqli maupun naqli (dari qur’an maupun sunnah –ag)
    Dalil Keempat:
    قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه اِتَّبِعُوْا وَلاَ تَبْتَدِعُوْا، فَقَدْ كُفِيْتُمْ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
    Berkata Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu’anhu: “Ikutilah (tuntunan rasulullah –ag), dan jangan kalian berbuat bid’ah, sungguh telah cukup bagi kalian, dan semua bid’ah adalah sesat.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Baththah dalam Al Ibanah no 175 (1/327, 328), dan Al Lalika’I no. 104 (1/86))
    Dalil Kelima:
    Berkata Abdullah bin Umar radhiyallaahu’anhu: “Semua bid’ah adalah sesat, walaupun manusia melihatnya baik.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Baththah dalam Al Ibanah no 205 (1/339), dan Al Lalika’I no. 126 (1/92))
    Dengan ini jelaslah bahwa semua bid’ah adalah sesat, sebagaimana penjelasan ulama terhadap Ayat Al Qur’an dan Hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang menerangkannya.

    Rabu, 14 September 2011

    Tafsir Ayat Kursi

    Keutamaan Ayat Kursi
    Semua surat dalam al-Qur’an adalah surat yang agung dan mulia. Demikian juga seluruh ayat yang dikandungnya. Namun, Allah ta’ala dengan kehendak dan kebijaksanaanNya menjadikan sebagian surat dan ayat lebih agung dari sebagian yang lain. Surat yang paling agung adalah surat al-Fatihah, sedangkan ayat yang paling agung adalah ayat kursi, yaitu di surat Al-Baqarah, ayat 255. Yang akan kita pelajari bersama dalam kesempatan ini adalah ayat kursi.

    Ubay bin Ka’b radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
    “Wahai Abul Mundzir (gelar kunyah Ubay), tahukah engkau ayat mana di kitab Allah yang paling agung?”
    Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”
    Beliau berkata, “Wahai Abul Mundzir, Tahukah engkau ayat mana di kitab Allah yang paling agung?”
    Aku pun menjawab,
    اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ
    Maka beliau memukul dadaku dan berkata, “Demi Allah, selamat atas ilmu (yang diberikan Allah kepadamu) wahai Abul Mundzir.” (HR. Muslim no. 810)
    Dalam kisah Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dengan setan yang mencuri harta zakat, disebutkan bahwa setan tersebut berkata,
    “Biarkan aku mengajarimu beberapa kalimat yang Allah memberimu manfaat dengannya. Jika engkau berangkat tidur, bacalah ayat kursi. Dengan demikian, akan selalu ada penjaga dari Allah untukmu, dan setan tidak akan mendekatimu sampai pagi.”
    Ketika Abu Hurairah menceritakannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, beliau berkata,
    “Sungguh ia telah jujur, padahal ia banyak berdusta.” (HR. al-Bukhari no. 2187)
    Dalam kisah lain yang mirip dengan kisah di atas dan diriwayatkan Ubay bin Ka’b radhiallahu ‘anhu, disebutkan bahwa si jin mengatakan:
    مَنْ قَالَهَا حِينَ يُمْسِي أُجِيرَ مِنَّا حَتَّى يُصْبِحَ ، وَمَنْ قَالَهَا حِينَ يُصْبِحُ أُجِيرَ مِنَّا حَتَّى يُمْسِيَ
    “Barangsiapa membacanya ketika sore, ia akan dilindungi dari kami sampai pagi. Barangsiapa membacanya ketika pagi, ia akan dilindungi sampai sore.” (HR. ath-Thabrani no. 541, dan al-Albani mengatakan bahwa sanadnya bagus)
    Dalam hadits yang lain, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
    مَنْ قَرَأَ آيَةَ الْكُرْسِيِّ دُبُرَ كُلِّ صَلاةٍ مَكْتُوبَةٍ لَمْ يَمْنَعْهُ مِنْ دُخُولِ الْجَنَّةِ، إِلا الْمَوْتُ
    “Barangsiapa membaca ayat kursi setelah setiap shalat wajib, tidak ada yang menghalanginya dari masuk surga selain kematian.” (HR. ath-Thabrani no. 7532, dihukumi shahih oleh al-Albani)
    Disunnahkan membaca ayat ini setiap (1) selesai shalat wajib, (2) pada dzikir pagi dan sore, (3) juga sebelum tidur.
    Tafsir Ayat Kursi
    اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ
    “Allah, tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) selain Dia Yang hidup kekal serta terus menerus mengurus (makhluk).”
    Allah adalah nama yang paling agung milik Allah ta’ala. Allah mengawali ayat ini dengan menegaskan kalimat tauhid yang merupakan intisari ajaran Islam dan seluruh syariat sebelumnya. Maknanya, tidak ada sesembahan yang benar untuk disembah selain Allah. Konsekuensinya tidak boleh memberikan ibadah apapun kepada selain Allah.
    Al-Hayyu dan al-Qayyum adalah dua di antara al-Asma’ al-Husna yang Allah miliki. Al-Hayyu artinya Yang hidup dengan sendirinya dan selamanya. Al-Qayyum berarti bahwa semua membutuhkan-Nya dan semua tidak bisa berdiri tanpa Dia. Oleh karena itu, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di mengatakan bahwa kedua nama ini menunjukkan seluruh al-Asma’ al-Husna yang lain.
    Sebagian ulama berpendapat bahwa al-Hayyul Qayyum adalah nama yang paling agung. Pendapat ini dan yang sebelumnya adalah yang terkuat dalam masalah apakah nama Allah yang paling agung, dan semua nama ini ada di ayat kursi.
    لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ
    “Dia Tidak mengantuk dan tidak tidur.”
    Maha Suci Allah dari segala kekurangan. Dia selalu menyaksikan dan mengawasi segala sesuatu. Tidak ada yang tersembunyi darinya, dan Dia tidak lalai terhadap hamba-hamba-Nya.
    Allah mendahulukan penyebutan kantuk, karena biasanya kantuk terjadi sebelum tidur.
    Barangkali ada yang mengatakan, “Menafikan kantuk saja sudah cukup sehingga tidak perlu menyebut tidak tidur; karena jika mengantuk saja tidak, apalagi tidur.”
    Akan tetapi, Allah menyebut keduanya, karena bisa jadi (1) orang tidur tanpa mengantuk terlebih dahulu, dan (2) orang bisa menahan kantuk, tetapi tidak bisa menahan tidur. Jadi, menafikan kantuk tidak berarti otomatis menafikan tidur.
    لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ
    “Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi.”
    Semesta alam ini adalah hamba dan kepunyaan Allah, serta di bawah kekuasaan-Nya. Tidak ada yang bisa menjalankan suatu kehendak kecuali dengan kehendak Allah.
    مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
    “Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya.”
    Memberi syafaat maksudnya menjadi perantara bagi orang lain dalam mendatangkan manfaat atau mencegah bahaya. Inti syafaat di sisi Allah adalah doa. Orang yang mengharapkan syafaat Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berarti mengharapkan agar Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam mendoakannya di sisi Allah. Ada syafaat yang khusus untuk Nabi Muhammad, seperti syafaat untuk dimulainya hisab di akhirat, dan syafaat bagi penghuni surga agar pintu surga dibukakan untuk mereka. Ada yang tidak khusus untuk Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, seperti syafaat bagi orang yang berhak masuk neraka agar tidak dimasukkan ke dalamnya, dan syafaat agar terangkat ke derajat yang lebih tinggi di surga.
    Jadi, seorang muslim bisa memberikan syafaat untuk orang tua, anak, saudara atau sahabatnya di akhirat. Akan tetapi, syafaat hanya diberikan kepada orang yang beriman dan meninggal dalam keadaan iman. Disyaratkan dua hal untuk mendapatkannya, yaitu:
    1. Izin Allah untuk orang yang memberi syafaat.
    2. Ridha Allah untuk orang yang diberi syafaat.
    Oleh karena itu, seseorang tidak boleh meminta syafaat kecuali kepada Allah. Selain berdoa, hendaknya kita mewujudkan syarat mendapat syafaat; dengan meraih ridha Allah. Tentunya dengan menaatiNya menjalankan perintahNya semampu kita, dan meninggalkan semua laranganNya.
    يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ
    “Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka.”
    Ini adalah dalil bahwa ilmu Allah meliputi seluruh makhluk, baik yang ada pada masa lampau, sekarang maupun yang akan datang. Allah mengetahui apa yang telah, sedang, dan yang akan terjadi, bahkan hal yang ditakdirkan tidak ada, bagaimana wujudnya seandainya ada. Ilmu Allah sangat sempurna.
    وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاءَ
    “Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah kecuali dengan apa yang dikehendaki-Nya.”
    Tidak ada yang mengetahui ilmu Allah, kecuali yang Allah ajarkan. Demikian pula ilmu tentang dzat dan sifat-sifat Allah. Kita tidak punya jalan untuk menetapkan suatu nama atau sifat, kecuali yang Dia kehendaki untuk ditetapkan dalam al-Quran dan al-Hadits.
    وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ
    “Kursi Allah meliputi langit dan bumi.”
    Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu menafsirkan kursi dengan berkata:
    الكُرْسيُّ مَوْضِعُ قَدَمَيْهِ
    “Kursi adalah tempat kedua telapak kaki Allah.” (HR. al-Hakim no. 3116, di hukumi shahih oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi)
    Ahlussunnah menetapkan sifat-sifat seperti ini sebagaimana ditetapkan Allah dan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, sesuai dengan kegungan dan kemuliaan Allah tanpa menyerupakannya dengan sifat makhluk.
    Ayat ini menunjukkan besarnya kursi Allah dan besarnya Allah. Dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
    مَا السَّمَاوَاتُ السَّبْع مَعَ الكُرْسِيِّ إِلاَّ كَحَلْقَةٍ مُلْقَاةٍ بِأَرْض فَلاَةٍ
    “Tidaklah langit yang tujuh dibanding kursi kecuali laksana lingkaran anting yang diletakkan di tanah lapang.” (HR. Ibnu Hibban no.361, dihukumi shahih oleh Ibnu Hajar dan al-Albani)
    وَلاَ يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا
    “Dan Allah tidak terberati  pemeliharaan keduanya.”
    Seorang ibu, tentu merasakan betapa lelahnya mengurus rumah sendirian. Demikian juga seorang kepala desa, camat, bupati, gubernur atau presiden dalam mengurus wilayah yang mereka pimpin. Namun, tidak demikian dengan Allah yang Maha Kuat. Pemeliharaan langit dan bumi beserta isinya sangat ringan bagi-Nya. Segala sesuatu menjadi kerdil dan sederhana di depan Allah.
    وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
    “Dan Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
    Allah memiliki kedudukan yang tinggi, dan dzat-Nya berada di ketinggian, yaitu di atas langit (di atas singgasana). Dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bertanya kepada seorang budak perempuan: “Di mana Allah?”
    Ia menjawab, “Di langit.”
    Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bertanya, “Siapa saya?”
    Ia menjawab, “Engkau adalah Rasulullah.”
    Maka, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berkata kepada majikannya (majikan budak perempuan tersebut -ed), “Bebaskanlah ia, karena sungguh dia beriman!” (HR. Muslim no. 537)
    Jelaslah bahwa keyakinan sebagian orang bahwa Allah ada dimana-mana bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Hadits.
    Demikian pula Allah memiliki kedudukan yang agung dan dzatnya juga agung sebagaimana ditunjukkan oleh keagungan kursiNya dalam ayat ini.
    Kesimpulan:
    1. Semua ayat al-Qur’an agung. Adapun ayat yang paling agung adalah ayat kursi.
    2. Disunnahkan untuk membaca ayat ini setiap selesai shalat wajib, pada dzikir pagi dan sore, dan sebelum tidur.
    3. Penegasan kalimat tauhid.
    4. Arti al-Hayyu dan al-Qayyum yang menunjukkan seluruh nama Allah yang lain.
    5. Semua bentuk  kekurangan harus dinafikan dari Allah.
    6. Arti syafaat dan syarat memperolehnya.
    7. Ilmu Allah sangat sempurna.
    8. Kita hanya menetapkan untuk Allah nama dan sifat  yang ditetapkan oleh Allah dan RasulNya sesuai dengan keagungan dan kemuliaanNya, tanpa menyerupakannya dengan nama dan sifat makhluk.
    9. Arti dan keagungan kursi Allah.
    10. Ketinggian dan keagungan Allah dalam dzat dan kedudukan.
    11. Kesalahan orang yang mengatakan Allah ada di mana-mana.
    12. Penetapan banyak nama dan sifat Allah yang menunjukkan kemuliaan dan kesempurnaan-Nya.
    Wallahu a’lam.
    Referensi:
    1. Al-Quran dan  Terjemahnya
    2. Tafsir Ibnu Katsir
    3. Fathul Qadir, asy-Syaukani
    4. Taysirul Karimir Rahman, Abdurrahman as-Sa’di
    5. Shahih al-Bukhari
    6. Shahih Muslim
    7. Al-Mu’jam al-Kabir, ath-Thabrani
    8. al-Mustadrak, al-Hakim.
    9. Shahih Ibnu Hibban
    10. Shahih Targhib wa Tarhib, al-Albani
    11. Silsilah Ahadits Shahihah, al-Albani
    12. Fathul Majid, Abdurrahman bin Hasan
    13. Fiqhul Asma’il Husna, Abdurrazzaq al-Badr
    14. Al-Qamus al-Muhith, al-Fairuzabadi
    Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi berkata: “…tiada kehidupan untuk hati, tidak ada kesenangan dan ketenangan baginya, kecuali dengan mengenal Rabbnya, Sesembahan dan Penciptanya, dengan Asma’, Sifat dan Af’al (perbuatan)-Nya, dan seiring dengan itu mencintai-Nya lebih dari yang lain, dan berusaha mendekatkan diri kepada-Nya tanpa yang lain…” (Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyyah)
    ***
    Penulis: Ustadz Anas Burhanuddin, Lc.
    Artikel www.muslim.or.id

    adakah zakat profesi...??????

     Pada hakekatnya disyari'atkannya zakat profesi tidak mempunyai landasan
    dalil dan qiyas yang shahih. Hal ini dikarenakan bahwa zakat uang dan
    sejenisnya baik yang didapatkan dari warisan, hadiah, kontrakan, gaji atau
    lainnya, maka harus memenuhi dua syarat, yaitu nishab dan haul haul dan
    nishab. Haul artinya harta tersebut telah dimiliki selama satu tahun, dan
    nishab artinya harta tersebut telah mencapai batas minimal wajib zakat.

    Maka dengan demikian bila tidak mencapai batas minimal nishab dan tidak
    menjalani haul, maka tidak diwajibkan atasnya zakat berdasarkan
    dalil-dalil berikut:

    1. Sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam, "Kamu tidak mempunyai
    kewajiban zakat sehingga kamu memiliki 20 dinar dan harta itu telah
    menjalani satu putaran haul." (HR. Abu Dawud) (20 dinar adalah 85 gram
    emas karena satu dinar 4 1/4 gram dan nishab uang dihitung dengan nilai
    nishab emas).

    2. Sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam, "Dan tidak ada
    kewajiban zakat di dalam harta sehingga mengalami putaran haul." (HR. Abu
    Dawud).

    3. Dari Ibnu Umar (ucapan Ibnu Umar atas sabda Rasulullah),"Barangsiapa
    mendapatkan harta, maka tidak wajib atasnya zakat sehingga menjalani
    putaran haul." (HR. at-Tirmidzi)

    Kemudian penetapan zakat profesi tanpa haul dan nishab hanya ada pada
    harta rikaz (harta karun), sedangkan penetapan zakat tanpa haul hanya ada
    pada tumbuh-tumbuhan (biji-bijian dan buah-buahan), namun ini tetap dengan
    nishab.

    Jadi penetapan zakat profesi (penghasilan/gaji) tanpa nishab dan tanpa
    haul merupakan tindakan yang tidak berlandaskan dalil, qiyas yang shahih dan
    bertentangan dengan tujuan-tujuan syari'at, juga bertentangan dengan nama
    zakat itu sendiri yang berarti berkembang. Jadi nishab dan haul merupakan
    syarat dikeluarkannya zakat bagi uang, emas dan perak.

    Adapun alasan bagi mereka yang menganggap wajibnya zakat profesi dengan
    mengqiyaskan penghasilan profesi dengan hasil pertanian, sehingga
    nishabnya sama dengan nishab hasil pertanian ( lebih kurang 650 kg)
    sementara prosentase yang wajib dikeluarkan dari penghasilan/gaji tersebut
    diqiyaskan dengan zakat emas atau harta uang, yaitu 2,5 %, maka qiyas yang
    demikian tentu sangat ganjil. Karena apabila memperhatikan disiplin ilmu
    dalam kajian ushul fiqh, akan kita dapatkan empat rukun qiyas, yaitu asal,
    hukum, cabang, dan illat. Inilah qiyas yang benar berdasarkan ilmu dalam
    ushul fiqh yang dirumuskan oleh para ulama'.

    Berdasarkan pengertian tersebut di atas, maka kita akan mendapati
    kejanggalan manakala qiyas yang dilakukan pada zakat profesi asalnya
    adalah tanam-tanaman, sedangkan prosentase zakatnya adalah 2,5 % sebagai
    ketentuan zakatnya. Padahal berdasarkan ketentuan zakat tanam-tanaman dan
    buah-buahan harus 10 % atau 5 %. Dengan demikian ada kerancauan pengertian
    dalam melakukan qiyas, karena diambil dari dua arah atau ketentuan. Sepotong
    diambil dari dari qiyas tanam-tanaman dan buah-buahan, dan sepotong lagi
    diambil dari qiyas zakatnya emas, uang atau perak. Maka qiyas-mengqiyas
    seperti yang ini tidak bisa dibenarkan.

    Dari penjelasan di atas, maka 2,5 % dari penghasilan yang Saudara keluarkan
    tiap bulan tidak bisa dinamakan zakat mal (harta), karena belum memenuhi
    dua syarat sebagaimana yang kami sebutkan di atas. Sebagaimana juga Saudara
    tidak disyari'atkan untuk mengeluarkan zakat profesi, karena tidak
    mempunyai landasan dalil dan qiyas yang shahih. Jika Saudara tetap
    mengeluarkannnya, maka berapapun besar prosentasenya, maka yang demikian
    termasuk infaq/shadaqah bukan zakat mal (harta). Dan Saudara masih
    memiliki kewajiban mengeluarkan zakat mal (harta) manakala harta tersebut
    minimal sudah senishab dan dimiliki selama satu tahun.

    Jadi Saudara hanya diwajibkan mengeluarkan zakat mal (harta), jika dalam
    waktu tertentu jumlah harta Saudara yang terhimpun dari sisa penghasilan
    tiap bulan dan harta dari sumber yang lain telah memenuhi nishab dan
    haul.

    Demikian bahan renungan yang dapat kami sampaikan, semoga sedikit dapat
    memberikan masukan yang bermanfa'at, sehingga kita dapat mensikapi setiap
    permasalahan yang ada dengan bijak dan lapang dada berdasarkan dalil yang
    kuat. Wallaahu a'almu bish shawab.

    di nukil dari forum Assunnah :

    Jumat, 09 September 2011

    Maaf-Memaafkan Dalam Rangka Hari Raya Disyariatkan?

    Oleh
    Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA

    Mudah memaafkan, penyayang terhadap sesama Muslim dan lapang dada terhadap kesalahan orang merupakan amal shaleh yang keutamaannya besar dan sangat dianjurkan dalam Islam. Allah Azza wa Jalla berfirman.

    خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ

    Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan perbuatan baik, serta berpisahlah dari orang-orang yang bodoh. [al-A’raf/7:199]

    Dalam ayat lain, Allah Azza wa Jalla berfirman.

    فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ

    Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah, kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. [Ali Imran/3:159]

    Bahkan sifat ini termasuk ciri hamba Allah Azza wa Jalla yang bertakwa kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya.

    الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

    (Orang-orang yang bertakwa adalah) mereka yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya serta (mudah) memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. [Ali-Imran/3:134]

    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khsusus menggambarkan besarnya keutamaan dan pahala sifat mudah memaafkan di sisi Allah Azza wa Jalla dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya) kecuali kemuliaan (di dunia dan akhirat)” [1]

    Arti bertambahnya kemuliaan orang yang pemaaf di dunia adalah dengan dia dimuliakan dan diagungkan di hati manusian karena sifatnya yang mudah memaafkan orang lain, sedangkan di akhirat dengan besarnya ganjaran pahala dan keutamaan di sisi Allah Azza wa Jalla. [2]

    MAAF-MEMAAFKAN DI HARI RAYA?
    Akan tetapi, amal shaleh yang agung ini, bisa berubah menjadi perbuatan haram dan tercela jika dilakukan dengan cara-cara yang tidak ada tuntunannya dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

    Misalnya , mengkhususkan perbuatan ini pada waktu dan sebab tertentu yang tidak terdapat dalil dalam syariat tentang pengkhususan tersebut. Seperti mengkhususkannya pada waktu dan dalam rangka hari raya Idul Fithri dan Idul Adha.

    Ini termasuk perbuatan bid’ah [3] yang jelas-jelas telah diperingatkan keburukannya oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya semua perkara yang diada-adakan adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat, dan semua yang sesat (tempatnya) dalam neraka” [4]

    Kalau ada yang bertanya : mengapa ini dianggap sebagai perbuatan bid’ah yang sesat, padahal agama Islam jelas-jelas sangat menganjurkan dan memuji sifat mudah memaafkan kesalahan orang lain, sebagaimana telah disebutkan dalam keterangan diatas ?

    Jawabnya : Benar, Islam sangat menganjurkan hal tersebut, dengan syarat jika tidak dikhususkan dengan waktu atau sebab tertentu, tanpa dalil (argumentasi) yang menunjukkan kekhususan tersebut. Karena, jika dikhususkan dengan misalnya waktu tertentu tanpa dalil khusus, maka berubah menjadi perbuatan bid’ah yang sangat tercela dalam Islam.

    Sebagai contoh shalat malam dan puasa sunnah yang sangat dianjurkan dalam Islam. Namun, dua jenis ibadah ini jika pelaksanaannya dikhususkan pada hari Jum’at, maka dua masalah besar tersebut menjadi tercela dan haram untuk dilakukan [5], sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

    لاَ تَخْتَصُّوالَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامِ مِنْ بَيْنَ اللَّيَالِى وَلاََ تخُصُّوايَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامِ مِنْ بَيْنِ الأَيَامِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ فِى صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ

    Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum’at di antara malam-malam lainnya (melaksanakan) shalat malam, dan janganlah mengkhususkan hari Jum’at di antara har-hari lainnya dengan berpuasa, kecuali puasa yang bisa dilakukan oleh salah seorang darimu. [6]

    Inilah yang diistilahkan oleh para ulama dengan nama “bid’ah idhafiyyah”, yaitu perbuatan yang secara umum dianjurkan dalam Islam, akan tetapi sebagian kaum Muslimin mengkhususkan perbuatan tersebut dengan waktu, tempat, sebab, keadaan atau tata cara tertentu yang tidak bersumber dari petunjuk Allah Azza wa Jalla dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [7]

    Contoh lain dalam masalah ini adalah shalat malam yang dikhususkan pada bulan Rajab dan Sya’ban. Imam an-Nawawi rahimahullah berkata tentang dua shalat ini : “Shalat (malam di bulan) Rajab dan Sya’ban adalah bid’ah yang sangat buruk dan tercela” [8]

    Imam Abu Syamah rahimahullah menjelaskan kaidah penting ini dalam ucapannya: “Tidak diperbolehkan mengkhususkan ibadah-ibadah dengan waktu-waktu (tertentu) yang tidak dikhususkan oleh syariat, akan tetapi hendaknya semua amal kebaikan tersebut bebas (dilakukan) di setiap waktu (tanpa ada pengkhususan). Tidak ada keutamaan satu waktu di atas waktu yang lain, kecuali yang diutamakan oleh syariat dan dikhsusukan dengan satu macam ibadah…. Seperti puasa di hari Arafah dan Asyura, shalat di tengah malam, dan umrah di bulan Ramadhan…”[9]

    Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : “… Termasuk (contoh) dalam hal ini bahwa sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan larangan mengkhususkan bulan Rajab dengan puasa dan hari Jum’at, agar tidak dijadikan sebagai sarana menuju perbuatan bid’ah dalam agama (yaitu) dengan pengkhususan waktu tertentu dengan ibadah yang tidak dikhususkan oleh syarat” [10]

    MENIMBANG ACARA HALAL BIL HALAL
    Termasuk acara yang marak dilakukan oleh kaum Muslimin di Indonesia dalam rangka saling memaafkan setelah hari raya Idhul Fithri adalah apa yang biasa dikenal dengan acara Halal bil halal.

    Acara ini termasuk perbuatan bid’ah yang tercela dengan alasan seperti yang kami paparkan diatas. Acara ini tidak pernah dilakukan dan dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi terbaik umat ini, para sahabat Radhiyallahu anhum, serta para imam ahlus sunnah yang mengikuti jalan mereka dengan baik. Padahal mereka adalah orang-orang yang telah dipuji pemahaman dan pengamalan Islam mereka oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Azza wa Jalla berfirman.

    وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

    Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar (para sahabat) dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya ; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang benar. [at-Taubah/9 : 100]

    Dan dalam hadits yang shahih, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda : Sebaik-baik umatku adalah generasi yang aku diutus di masa mereka (para Sahabat), kemudian generasi yang datang setelah mereka, kemudian generasi yang datang setelah mereka. [11]

    Disamping itu acara ini ternyata berisi banyak kemungkaran dan pelanggaran terhadap syariat Allah Azz wa Jalla, diantaranya :

    1. Terjadinya ikhtilath (bercampur baur secara bebas) antara laki-laki dengan perempuan tanpa ada ikatan yang dibenarkan dalam syariat. Perbuatan ini jelas diharamkan dalam Islam, bahkan ini merupakan biang segala kerusakan di masyarakat.

    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Aku tidak meninggalkan setelahku fitnah (keburukan/kerusakan) yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki melebihi (fitnah) kaum perempuan” [12]

    Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mejelaskan hal ini dalam ucapan beliau : “Tidak diragukan lagi bahwa membiarkan kaum perempuan bergaul bebas dengan kaum laki-laki adalah biang segala bencana dan kerusakan, bahkan ini termasuk penyebab (utama) terjadinya berbagai malapetaka yang merata. Sebagaimana ini juga termasuk penyebab (timbulnya) kerusakan dalam semua perkara yang umum maupun yang khusus. Pergaulan bebas merupakan sebab berkembang pesatnya perbuatan keji dan zina, yang ini termasuk sebab kebinasaan massal (umat manusia) dan munculnya wabah penyakit-penyakit menular yang berkepanjangan” [13]

    Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah lebih menegaskan hal ini dalam ucapan beiau : “Dalil-dalil (dari al-Qur’an dan hadist Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) secara tegas menunjukkan haramnya (laki-laki) berduaan dengan perempuan yang tidak halal baginya, (demikian pula diharamkan) memandangnya, dan semua sarana yang menjerumuskan (manusia) ke dalam perkara yang dilarang oleh Allah Azza wa Jalla. Dalil-dalil tersebut sangat banyak dan kuat (semuanya) menegaskan keharaman –ikhtilath (bercampur baur secara bebas antara laki-laki dengan perempuan kepada perkara (kerusakan) yang sangat buruk akibatnya” [14]

    2. Bersalaman dan berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang tidak halal baginya (bukan mahramnya).
    Perbuatan ini sangat diharamkan dalam Islam berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sungguh jika kepala seorang laki-laki ditusuk dengan jarum dari besi lebih baik baginya dari pada dia menyentuh seorang perempuan yang tidak halal baginya” [15]

    3. Kehadiran para wanita yang besolek dan berdandan seperti dandanan wanita-wanita Jahiliyah.
    Ini juga diharamkan dalam Islam, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla.

    وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ

    Dan hendaklah kalian (wahai kaum perempuan Mukminah) menetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj (bersolek dan berhias) seperti (kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu. [Al-Ahzab/33 : 33]

    Dalam hadits yang shahih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya wanita adalah aurat, maka jika dia keluar (rumah) setan akan mengikutinya (menghiasinya agar menjadi fitnah bagi laki-laki), dan keadaannya yang paling dekat dengan Rabbnya (Allah) adalah ketika dia berada di dalam rumahnya” [16]

    PENUTUP
    Demikianlah pemaparan ringkas tentang hukum saling maaf-memaafkan dalam rangka hari raya. Wajib bagi setiap muslim untuk meyakini bahwa semua sesuatu yang dibutuhkan oleh kaum muslimin untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla semua itu telah dijelaskan dan dicontohkan dengan lengkap oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam petunjuk yang beliau bawa.

    Sahabat yang mulia Abu Dzar Al Ghifari Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan kami dalam keadaan tidak ada seekor burungpun yang mengepakkan kedua sayapnya di udara kecuali beliu Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada kami ilmu tentang hal tersebut”. Kemudian Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.

    مَا بَقِيَ شَيءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَا عِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ

    Tidak ada (lagi) yang tertinggal sedikit pun dari (ucapan’perbuatan) yang bisa mendekatkan (kamu) ke surga dan menjauhkan (kamu) dari neraka, kecuali semua itu telah dijelaskan kepadamu” [17]

    Semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa melimpahkan taufiq-Nya kepada kita semua untuk selalu berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah dan menjauhi segala sesuatu yang menyimpang dari sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di akhir hayat kita. Amin

    Ya Allah, wafatkanlah kami di atas agama Islam dan di atas sunnah (petunjuk) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [18]
    Wallahu a’lam

    [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XIII/1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

    sumber : http://almanhaj.or.id/content/3159/slash/0

    Rabu, 27 Juli 2011

    (istri Nabi) Ummu Habibah binti Abu Sufyan (wafat 44 H/664 M)

    Dalam perjalanan hidupnya, Ummu Habibah banyak mengalami penderitaan dan cobaan yang berat. Setelah memeluk Islam, dia bersama suaminya hijrah ke Habasyah. Di sana, ternyata suaminya murtad dari agama Islam dan beralih memeluk Nasrani. Suaminya kecanduan minuman keras, dan meninggal tidak dalam agama Islam. Dalam kesunyian hidupnya, Ummu Habibah selalu diliputi kesedihan dan kebimbangan karena dia tidak dapat berkumpul dengan keluarganya sendiri di Mekah maupun keluarga suaminya karena mereka sudah menjauhkannya. Apakah dia harus tinggal dan hidup di negeri asing sampai wafat?

    Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya dalam kesedihan terus-menerus. Ketika mendengar penderitaan Ummu Habibah, hati Rasulullah sangat tergerak sehingga beliau rnenikahinya dan Ummu Habibah tidak lagi berada dalam kesedihan yang berkepanjangan. Hal itu sesuai dengan firman Allah bahwa:Nabi itu lebih utama daripada orang lain yang beriman, dan istri-istri beliau adalah ibu bagi orang yang beriman.
    Keistimewaan Ummu Habibah di antara istri-istri Nabi lainnya adalah kedudukannya sebagai putri seorang pemimpin kaum musyrik Mekah yang memelopori perientangan terhadap dakwah Rasulullah dan kaum muslimin, yaitu Abu Sufyan.
    A. Masa Kecil dan Nasab Pertumbuhannya
    Ummu Habibah dilahirkan tiga belas tahun sebelum kerasulan Muhammad Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. dengan nama Ramlah binti Shakhar bin Harb bin Uinayyah bin Abdi Syams. Ayahnya dikenal dengan sebutan Abu Sufyan. Ibunya bernama Shafiyyah binti Abil Ashi bin Umayyah bin Abdi Syams, yang merupakan bibi sahabat Rasulullah, yaitu Utsman bin Affan r.a.. Sejak kecil Ummu Habibah terkenal memiliki kepribadian yang kuat, kefasihan dalam berbicara, sangat cerdas, dan sangat cantik.
    B. Pernikahan, Hijrah, dan Penderitaannya
    Ketika usia Ramlah sudah cukup untuk menikah, Ubaidillah bin Jahsy mempersunting- nya, dan Abu Sufyan pun menikahkan mereka. Ubaidillah terkenal sebagai pemuda yang teguh memegang agama Ibrahirn a.s.. Dia berusaha menjauhi minuman keras dan judi, serta berjanji untuk memerangi agama berhala. Ramlah sadar bahwa dirinya telah menikah dengan seseorang yang bukan penyembah berhala, tidak seperti kaumnya yang membuat dan menyembah patung-patung. Di dalarn hatinya terbersit keinginan untuk mengikuti suaminya memeluk agama Ibrahim a.s.
    Sementara itu, di Mekah mulai tersebar berita bahwa Muhammad datang membawa agama baru, yaitu agama Samawi yang berbeda dengan agama orang Quraisy pada umumnya. Mendengar kabar itu, hati Ubaidillah tergugah, kemudian menyatakan dirinya memeluk agama baru itu. Dia pun mengajak istrinya, Ramlah, untuk memeluk Islam bersamanya.
    Mendengar misi Muhammad berhasil dan maju pesat, orang-orang Quraisy menyatakan perang terhadap kaum muslimin sehingga Rasulullah memerintahkan kaum muslimin untuk berhijrah ke Habasyah. Di antara mereka terdapat Ramlah dan suaminya, Ubaidillah bin Jahsy. Setelah beberapa lama mereka menanggung penderitaan berupa penganiayaan, pengasingan, bahkan pengusiran dan keluarga yang terus mendesak agar mereka kembali kepada agama nenek moyang. Ketika itu Ramlah tengah mengandung bayinya yang pertama. Setibanya di Habasyah, bayi Ramlah lahir yang kemudian diberi nama Habibah. Dari nama bayi inilah kemudian nama Ramlah berubah menjadi Ummu Habibah.
    Selama mereka di Habasyah terdengar kabar bahwa kaum muslimin di Mekah semakin kuat dan jumlahnya bertambah sehingga mereka menetapkan untuk kembali ke negeri asal mereka. Sementara itu, Ummu Habibah dan suaminya memilih untuk menetap di Habasyah. Di tengah perjalanan, rombongan kaum muslimin yang akan kembali ke Mekah mendengar kabar bahwa keadaan di Mekah masih gawat dan orang-orang musyrik semakin meningkatkan tekanan dan boikot terhadap kaum muslimin. Akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke Habasyah.
    Beberapa tahun tinggal di Habasyah, kaum muslimin sangat mengharapkan kesedihan akan cepat berlalu dan barisan kaum muslimin menjadi kuat, namun kesedihan belum habis. Kondisi itulah yang menyebabkan Ubaidillah memiliki keyakinan bahwa kaum muslimin tidak akan pernah kuat. Tampaknya dia sudah putus asa sehingga sedikit demi sedikit hatinya mulai condong pada agama Nasrani, agama orang Habasyah.
    Ummu Habibah mengatakan bahwa dia memimpikan sesuatu, “Aku melihat suamiku berubah menjadi manusia paling jelek bentuknya. Aku terkejut dan berkata, ‘Demi Allah, keadaannya telah berubah.’ Pagi harinya Ubaidillah berkata, ‘Wahai Ummu Habibah, aku melihat tidak ada agama yang lebih baik daripada agama Nasrani, dan aku telah menyatakan diri untuk memeluknya. Setelah aku memeluk agama Muhammad, aku akan memeluk agama Nasrani.’ Aku berkata, ‘Sungguhkah hal itu baik bagimu?’ Kemudian aku ceritakan kepadanya tentang mimpi yang aku lihat, namun dia tidak mempedulikannya. Akhirnya dia terus-menerus meminum minuman keras sehingga merenggut nyawanya.”
    Demikianlah, Ubaidillah keluar dan agama Islam yang telah dia pertaruhkan dengan hijrah ke Habasyah, dengan menanggung derita, meninggalkan kampung halaman bersama istri dan anaknya yang masih kecil. Ubaidillah pun berusaha mengajak istrinya untuk keluar dari Islam, namun usahanya sia-sia karena Ummu Habibah tetap kokoh dalam Islam dan memertahankannya hingga suaminya meninggal. Ummu Habibah merasa terasing di tengah kaum muslimin karena merasa malu atas kernurtadan suaminya. Baginya tidak ada pilihan lain kecuali kembali ke Mekah, padahal orang tuanya, Abu Sufyan, sedang gencar menyerang Nabi dan kaurn muslimin. Dalam keadaan seperti itu, Ummu Habibah merasa rumahnya tidak aman lagi baginya, sementara keluarga suarninya telah meeninggalkan rumah mereka karena telah bergabung dengan Rasulullah. Akhirnya, dia kembali ke Habasyah dengan tanggungan derita yang berkepanjangan dan menanti takdir dari Allah.
    C. Menjadi Ummul-Mukminin
    Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. selalu memantau keadaan umat Islam, tidak saja yang berada di Mekah dan Madinah, tetapi juga yang di Habasyah. Ketika memantau Habasyahlah beliau mendengar kisah tentang Ummu Habibah yang ditinggalkan Ubaidillah dengan derita yang ditanggungnya selama ini. Hati beliau terketuk dan berniat menikahinya.
    Ummu Habibah menceritakan mimpi dan kehidupannya yang suram. Dia berkata, “Dalam tidurku aku melihat seseorang menjumpaiku dan memanggilku dengan sebutan Ummul-Mukminin. Aku terkejut. Kemudian aku mentakwilkan bahwa Rasulullah akan menikahiku.” Dia melanjutkan, “Hal itu aku lihat setelah masa iddahku habis. Tanpa aku sadari seorang utusan Najasyi mendatangiku dan meminta izin, dia adalah Abrahah, seorang budak wanita yang bertugas mencuci dan memberi harum-haruman pada pakaian raja. Dia berkata, ‘Raja berkata kepadamu, ‘Rasulullah mengirimku surat agar aku mengawinkan kamu dengan beliau.” Aku menjawab, ‘Allah memberimu kabar gembira dengan membawa kebaikan.’ Dia berkata lagi, ‘Raja menyuruhmu menunjuk seorang wali yang hendak rnengawinkanmu’. Aku menunjuk Khalid bin Said bin Ash sebagai waliku, kemudian aku memberi Abrahah dua gelang perak, gelang kaki yang ada di kakiku, dan cincin perak yang ada di jari kakiku atas kegembiraanku karena kabar yang dibawanya.” Ummu Habibah kembali dan Habasyah bersarna Syarahbil bin Hasanah dengan membawa hadiah-hadiah dari Najasyi, Raja Habasyah.
    Berita pernikahan Ummu Habibah dengan Rasulullah merupakan pukulan keras bagi Abu Sufyan. Tentang hal itu, Ibnu Abbas meriwayatkan firman Allah,“Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orangorang yang kamu musuhi di antara mereka. …“ (QS. Al-Mumtahanah: 7). Ayat ini turun ketika Nabi Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. menikahi Ummu Habibah binti Abi Sufyan.
    D. Hidup bersama Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam.
    Rasululullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. mengutus Amru bin Umayyah ke Habasyah dengan membawa dua tugas, yaitu mengabari kaum Muhajirin untuk kembali ke negeri mereka (Madinah) karena posisi kaum muslimin sudah kuat serta untuk meminang Ummu Habibah untuk Rasulullah. Di tengah perjalanan kembali ke Madinah mereka mendengar berita kernenangan kaum muslimin atas kaum Yahudi di Khaibar. Kegembiraan itu pun mereka rasakan di Madinah karena saudara mereka telah kembali dan Habasyah. Rasulullah menyambut mereka yang kembali dengan suka cita, terlebih dengan kedatangan Ummu Habibah. Beliau mengajak Ummu Habibah ke dalarn rumah, yang ketika itu bersarnaan juga dengan pernikahan beliau dengan Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab, putri salah seorang pimpinan Yahudi Khaibar yang ditawan tentara Islam. Ketika itu Nabi mernbebaskan dan menikahinya. Istri-istri Rasulullah lainnya menyambut kedatangan Ummu Habibah dengan hangat dan rasa hormat, berbeda dengan penyambutan mereka terhadap Shafiyyah.
    Perjalanan hidup Ummu Habibah di tengah keluarga Rasulullah tidak banyak menimbulkan konflik antar istri atau mengundang amarah beliau. Selain itu, belum juga ada riwayat yang mengisahkan tingkah laku Ummu Habibah yang menunjukkan rasa cemburu.
    E. Posisi yang Sulit
    Telah kita sebutkan di atas tentang posisi Ummu Habibah yang istimewa di antara istri-istri Rasulullah. Ayahnya adalah seorang pemimpin kaum musyrik ketika Ummu Habibah mendapat cahaya keimanan, dan dia menghadapi kesulitan ketika harus menjelaskan keyakinan itu kepada orang tuanya.
    Orang-orang Quraisy mengingkari perjanjian yang telah mereka tanda-tangani di Hudaibiyah bersama Rasulullah. Mereka menyerang dan membantai Bani Qazaah yang telah terikat perjanjian perlindungan dengan kaum muslimin. Untuk mengantisipasi hal itu, Rasulullah berinisiatif menyerbu Mekah yang di dalamnya tinggal Abu Sufyan dan keluarga Ummu Habibah. Orang-orang Quraisy Mekah sudah mengira bahwa kaum muslimin akan menyerang mereka sebagai balasan atas pembantaian atas Bani Qazaah yang mereka lakukan. Mereka sudah mengetahui kekuatan pasukan kaum muslimin sehingga mereka memilih jalan damai. Diutuslah Abu Sufyan yang dikenal dengan kemampuan dan kepintarannya dalam berdiplomasi untuk berdamai dengan Rasulullah.
    Sesampainya di Madinah, Abu Sufyan tidak langsung menemui Rasulullah, tetapi terlebih dahulu rnenemui Ummu Habibah dan berusaha rnemperalat putrinya itu untuk kepentingannya. Betapa terkejutnya Ummu Habibah ketika melibat ayahnya berada di dekatnya setelah sekian tahun tidak berjumpa karena dia hijrah ke Habasyah. Di sinilah tampak keteguhan iman dan cinta Ummu Habibah kepada Rasulullah. Abu Sufyan menyadari keheranan dan kebingungan putrinya, sehingga dia tidak berbicara. Akhirnya Abu Sufyan masuk ke kamar dan duduk di atas tikar. Melihat itu, Ummu Habibah segera melipat tikar (kasur) sehingga tidak diduduki oleh Abu Sufyan. Abu Sufyan sangat kecewa melihat sikap putrinya, kemudian berkata, “Apakah kau melipat tikar itu agar aku tidak duduk di atasnya atau rnenyingkirkannya dariku?” Ummu Habibah menjawab, “Tikar ini adalah alas duduk Rasulullah, sedangkan engkau adalah orang musyrik yang najis. Aku tidak suka engkau duduk di atasnya.” Setelah itu Abu Sufyan pulang dengan merasakan pukulan berat yang tidak diduga dari putrinya. Dia merasa bahwa usahanya untuk menggagalkan serangan kaurn muslimin ke Mekah telah gagal. Ummu Habibah telah menyadari apa yang akan terjadi. Dia yakin akan tiba saatnya pasukan muslim menyerbu Mekah yang di dalarnnya terdapat keluarganya, namun yang dia ingat hanya Rasulullah. Dia mendoakan kaum muslimin agar rnemperoleh kemenangan.
    Allah mengizinkan kaum muslimin untuk mernbebaskan Mekah. Rasulullah bersama ribuan tentara Islam memasuki Mekah. Abu Sufyan merasa dirinya sudah terkepung puluhan ribu tentara. Dia merasa bahwa telah tiba saatnya kaum muslimin membalas sikapnya yang selama ini menganiaya dan menindas mereka. Rasulullah sangat kasihan dan mengajaknya memeluk Islam. Abu Sufyan menerrna ajakan tersebut dan menyatakan keislamannya dengan kerendahan diri. Abbas, paman Rasulullah, meminta beliau menghormati Abu Sufyan agar dirinya merasa tersanjung atas kebesarannya. Abbas berkata, “Sesungguhnya Abu Sufyan itu seorang yang sangat suka disanjung.” Di sini tampaklah kepandaian dan kebijakan Rasulullah. Beliau menjawab, “Barang siapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, dia akan selamat. Barang siapa yang menutup pintu rumahnya, dia pun akan selamat. Dan barang siapa yang memasuki Masjidil Haram, dia akan selamat.” Begitulah Rasulullah menghormati kebesaran seseorang, dan Allah telah memberi jalan keluar yang baik untuk menghilangkan kesedihan Ummu Habibah dengan keislaman ayahnya.
    F. Akhir sebuah Perjalanan
    Setelah Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. wafat, Ummu Habibah hidup menyendiri di rumahnya hanya untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam kejadian fitnah besar atas kematian Utsman bin Affan, dia tidak berpihak kepada siapa pun. Bahkan ketika saudaranya, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, berkuasa, sedikit pun dia tidak berusaha mengambil kesempatan untuk menduduki posisi tertentu. Dia juga tidak pernah menyindir Ali bin Abi Thalib lewat sepatah kata pun ketika bermusuhan dengan saudaranya itu. Dia pun banyak meriwayatkan hadits Nabi yang kemudian diriwayatkan kembali oleh para sahabat. Di antara hadits yang diriwayatkannya adalah: “Aku mendengar Rasulullah bersabda,
    “Barang siapa yang shalat sebanyak dua belas rakaat sehari semalam, niscaya Allah akan membangun baginya rumah di surga.’ Ummu Habibah berkata, “Sungguh aku tidakpernah meninggalkannya setelab aku mendengar dari Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam.” (HR. Muslim)
    Ummu Habibah wafat pada tahun ke-44 hijrah dalarn usia tujuh puluh tahun. Jenazahnya dikuburkan di Baqi’ bersama istri-istri Rasulullah yang lain. Semoga Allah memberinya kehormatan di sisi-Nya dan menempatkannya di tempat yang layak penuh berkah. Amin.
    sumber :http://ahlulhadist.wordpress.com/2007/10/04/ummu-habibah-binti-abu-sufyan-wafat-44-h664-m/

    Jumat, 08 Juli 2011

    Koreksi atas Beberapa Hadits yang Tersebar di Bulan Ramadhan


    Ustadz Luqman Jamal
    PERTANYAAN
    Kami sering mendengar beberapa hadits yang disampaikan oleh penceramah di bulan Ramadhan di antaranya:
    • Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, tengahnya adalah pengampunan dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka.”
    • Berpuasalah niscaya kalian sehat.”
    • Segala sesuatu ada zakatnya dan zakatnya tubuh adalah puasa.
    • Apabila salah seorang dari kalian mendengar adzan dan bejana masih berada di tangannya, maka janganlah ia meletakkan bejananya sampai ia menyelesaikan hajatnya dari bejana tersebut.
    • Siapa yang berbuka satu hari dalam ramadhan tanpa udzur maka dia tidak mampu menggantinya walaupun berpuasa sepanjang masa.”
    Bagaimana sebenarnya kedudukan hadits tersebut, apakah shahih atau tidak?Jazakallahu khairan.
    JAWABAN
    Mengetahui kedudukan sebuah hadits adalah perkara yang sangat penting khususnya di zaman seperti sekarang ini, yang perhatian orang terhadap hal tersebut sangat rendah. Ditambah lagi dengan banyaknya hadits-hadits palsu dan lemah yang menyebar. Dan terkhusus di bulan yang mulia seperti bulan Ramadhan, seharusnya kemuliaan bulan tersebut dijaga dengan menyampaikan hadits-hadits yang shahih dari Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam baik dalam bidang Aqidah, Ahkam, Muamalah maupun Targhib Wat Tarhîb, sebab dengan hal itulah syariat ini akan terjaga dan ibadah kita juga terjaga.
    Kami akan mencoba menjawab pertanyaan ini secara ringkas dan menyebutkan beberapa keterangan yang berkaitan dengan lima hadits yang ditanyakan, dan kami uraikan secara berurut dengan menyebutkan lafazh haditsnya.
    1. Hadits Pertama
    أَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ
    “Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, tengahnya adalah pengampunan dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka.”
    Hadits ini datang dari dua jalan:
    Pertama , dari jalan ‘Ali bin Zaid bin Jud’an, dari Sa’îd bin Musayyab, dari Salman Al-Farisy radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkhutbah kepada kami …,” lalu beliau sebutkan hadits yang panjang dan disebutkan di dalamnya,
    وَهُوَ شَهْرُ أولهَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ
    “Dan ia adalah bulan yang awalnya adalah rahmat dan tengahnya adalah pengampunan dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka.”
    Dikeluarkan oleh Ibnu khuzaimah dalam Shahîh -nya 3/191 no. 1887, Al-Mahamily dalamAmali -nya no. 293 dan Al-Baihaqy dalam Syu’abul Îman 3/305-306 no. 3608.
    Akan tetapi pada sanadnya terdapat dua cacat:
    • Tidak diketahui apakah Sa’îd bin Musayyab mendengar dari Salman atau tidak.
    • ‘Ali bin Zaid bin Jud’an dha’if haditsnya.
    Maka jalan pertama ini lemah.
    Catatan
    Hadits ini diriwayatkan juga oleh Haris bin Abi Usamah sebagaimana dalam Zawa’id no. 321 karya Al-Haitsamy dan Al-Mathalib Al-‘Aliyah 3/221-222 no. 1047 karya Ibnu Hajar, beliau berkata ,  menceritakan kepada saya sebagian shahabatku (yaitu) seorang yang dikenal dengan nama Iyas, ia mengangkat hadits kepada Sa’id bin Musayyab … ,” dan seterusnya sama dengan sanad di atas.
    Saya berkata , “ Iyas ini adalah Iyas bin ‘Abdul Ghaffar dan ia sebenarnya juga meriwayatkan hadits di atas dari ‘Ali bin Zaid. ” Lihat Syu’abul Îman 3/305.
    Kedua , dari jalan Sallam bin Sulaiman bin Sawwar dari Maslamah bin Ash-Shalt dari Az-Zuhry dari Abu Salamah dari Abu Hurairah beliau berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
    أَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ
    “Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, tengahnya adalah pengampunan dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka.”
    Diriwayatkan oleh Al-‘Uqaily dalam Adh-Dhu’afa` 2/162, Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil Fî Du’afa`i Ar-Rijal 3/1157, dan Al-Khatib dalam Mûdhih Awham Al-Jama’ Wa At-Tafriq2/149.
    Pada sanadnya terdapat beberapa cacat:
    • Sallam bin Sulaiman bin Sawwar dha’if (lemah), bahkan Ibnu ‘Adi berkata, “Mungkar haditsnya.”
    • Maslamah bin As-Shalt. Ibnu ‘Adi dan Adz-Dzahaby berkata, “Laa yu’raf (tidak dikenal),” bahkan Abu Hatim berkata, “Matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya).”
    • Maslamah bersendirian meriwayatkan dari Az-Zuhry padahal Az-Zuhry seorang Imam besar yang mempunyai murid yang sangat banyak, maka hal ini menyebabkan riwayat Maslamah ini dianggap mungkar.
    Karena itu, Syaikh Al-Albany menghukumi jalan ini sebagai jalan yang mungkar.
    Lihat Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah 4/70 no. 1569.
    Kesimpulan
    Hadits ini lemah dari seluruh jalan-jalannya.
    2. Hadits Kedua
    صُوْمُوْا تَصِحُّوْا
    “Puasalah kalian niscaya kalian akan sehat.”
    Hadits dengan lafazh ini mempunyai beberapa jalan:
    Pertama , dari jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abi Daud, dari Zuhair bin Muhammad Al-Khurasany, dari Suhail bin Abi Shaleh, dari Abu Hurairah, beliau berkata Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
    اغْزُوْا تَغْنَمُوْا وَصُوْمُوْا تَصِحُّوْا وَسَافَرُوْا تَسْتَغْنَوْا
    “Berperanglah kalian, niscaya kalian akan mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang), puasalah kalian niscaya kalian sehat, safarlah kalian niscaya kalian berkecukupan.”
    Dikeluarkan oleh Ath-Thabarany dalam Al-Ausath jilid 8 hal. 174 no. 8312 dan Abu Nu’aim dalam Ath-Thib -sebagaimana dalam Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah jilid 1 hal. 420-.
    Berkata Ath-Thabarany setelah menyebutkan hadits ini, “Tidak meriwayatkan hadits ini dengan lafazh ini kecuali Zuhair.”
    Ini sebagai isyarat yang sangat halus dari Ath-Thabarany untuk menunjukkan adanya kelemahan pada hadits ini. Dan memang demikianlah adanya, Zuhair bin Muhammad walaupun ia seorang rawi yang tsiqah (terpercaya) akan tetapi riwayat orang-orang dari negeri Syam darinya adalah riwayat yang lemah. Sementara hadits ini termasuk riwayat orang Syam darinya.
    Dan ada jalan lain yang serupa dengan jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abi Daud, diriwayatkan oleh Al-‘Uqaily dalam Adh-Dhu’afa` jilid 1 hal. 92, beliau berkata, “Menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad An-Nashîby, beliau berkata, ‘Menceritakan kepada kami Ishaq bin Zaid Al-Khaththaby, beliau berkata, ‘Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sulaim, beliau berkata, ‘Menceritakan kepada kami Zuhair bin Muhammad Abul Mundzir …,’,’,’,” dan seterusnya sama dengan jalan di atas, kemudian disebutkanlah haditsnya.
    Berkata Al-‘Uqaily, “Tidak ada yang mendukungnya kecuali dari jalan yang lemah.”
    Saya berkata, “Ahmad bin Muhammad An-Nashîby, Ishaq bin Zaid Al-Khaththaby dan Muhammad bin Sulaim saya tidak bisa menentukan siapa mereka saat ini tapi perkataan Al-‘Uqaily di atas sudah cukup menunjukkan lemahnya hadits ini.”
    Karena itulah hadits dengan jalan Abu Hurairah dilemahkan oleh Al-Hafizh Al-‘Iraqy dalam Al-Mughny Fî Hamlil Asfar 3/75 sebagaimana dalam Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifahjilid 1 hal. 420.
    Kedua , dari jalan Nahsyal bin Sa’id, dari Adh-Dhahhak bin Muzahim, dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
    سَافَرُوْا تَصِحُّوْا وَصُوْمُوْا تَصِحُّوْا وَاغْزَوْا تَغْنَمُوْا
    “Safarlah kalian niscaya kalian sehat dan puasalah kalian niscaya kalian sehat dan berperanglah kalian niscaya kalian mendapatkan ghanimah.” .”
    Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil Fî Du’afa`i Ar-Rijal jilid 7 hal. 2521.
    Berkata Imam Ibnu ‘Adi setelah membawakan beberapa hadits lain dari jalan Nahsyal, “Hadits-hadits ini semuanya dari Adh-Dhahhak ghairu mahfûzhah (tidak terjaga) dan Nahsyal meriwayatkannya dari Adh-Dhahhak.”
    Saya berkata, “Apa yang dikatakan oleh Imam Ibnu ‘Adi adalah benar karena di dalam jalan di atas terdapat dua cacat:
    • Nahsyal bin Sa’id adalah seorang rawi yang sangat lemah haditsnya
    Berkata An-Nasa`i, “Nahsyal, dari Adh-Dhahhak Khurasany, matrûkul hadits (ditinggalkan haditsnya).”
    • Ada keterputusan dalam sanad.
    Berkata Al-Albany dalam Silsilah Ahadits Ad-Dha’ifah jilid 1 hal. 421, “Adh-Dhahhak tidak mendengar dari Ibnu ‘Abbas.”.”
    Lihat biogafinya dalam Tahdzib At-Tahdzib jilid 10 hal. 479.
    Ketiga , dari jalan Husain bin ‘Abdillah bin Dhumairah bin Abi Dhumairah Al-Himyary Al-Madany dari ayahnya dari kakeknya dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu beliau berkata,
    أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ صُوْمُوْا تَصِحُّوْا
    “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda, ‘Puasalah kalian niscaya kalian akan sehat.’.”
    Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil Fî Du’afa`i Ar-Rijal jilid 2 hal. 357.
    Saya berkata, “Husain bin ‘Abdillah bin Dhumairah matrûkul hadits (ditinggalkan haditsnya) bahkan sebagian para ulama menganggapnya sebagai pendusta dan saya tidak mengetahui siapa ayah dan kakeknya, maka jalan ini juga sangat lemah.”
    Keempat , berkata Abu ‘Amr Ar-Rabi’ bin Habib Al-Azdy dalam Musnad -nya no. 291, “Menceritakan kepada saya Abu ‘Ubaidah Muslim bin Abi Karimah At-Tamimy, beliau berkata, ‘Telah sampai kepadaku dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallambahwasanya beliau berkata,
    صَلُّوْا تَنْجَحُوْا وَزَكُّوْا تُفْلِحُوْا وَصُوْمُوْا تَصِحُّوا وَسَافَرُوْا تَغْنَمُوْا
    “Shalatlah kalian niscaya kalian selamat dan keluarkanlah zakat niscaya kalian beruntung dan puasalah kalian niscaya kalian sehat dan safarlah kalian niscaya kalian mendapatkan ghanimah.”.’. ”
    Saya berkata, “Abu ‘Ubaidah Muslim bin Abi Karimah At-Tamimy majhul (tidak dikenal) kemudian sanadnya mursal.”
    Kesimpulan
    Bisa disimpulkan dari keterangan di atas bahwa hadits ini lemah dari seluruh jalan-jalannya. Wallahu A’lam Bishshawab.
    3. Hadits Ketiga
    لِكُلِّ شَيْءٍ زَكَاةٌ وَزَكَاةُ الْجَسَدِ الْصَوْمُ
    “Segala sesuatu punya zakat dan zakat tubuh adalah puasa.”
    Hadits ini datang dari dua jalan:
    Pertama , dari jalan Musa bin ‘Ubaidah Ar-Rabadzy, dari Jamham, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 3/7, Ibnu Majah no. 1745, Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil Fî Du’afa`i Ar-Rijal 6/2336, Al-Qadha’iy dalam Musnad -nya 1/162 no. 229, dan Al-Baihaqy dalam Syu’abul Îman no. 3577.
    Terdapat beberapa illat (cacat) dalam hadits ini:
    • Musa bin ‘Ubaidah Ar-Rabadzy, berkata Al-Bûshiry dalam Mishbah Az-Zujajah , “ Para ulama sepakat tentang lemahnya ia.”
    • Musa bin ‘Ubaidah telah mudhtharib (goncang) dalam meriwayatkan hadits ini, kadang-kadang ia meriwayatkannya secara marfû’ (bersambung kepada Nabi) seperti riwayat di atas, dan kadang-kadang ia meriwayatkannya secara mauqûf(hanya sampai kepada shahabat) sebagaimana dalam riwayat Waqi’ bin Al-Jarrah dalam Az-Zuhd . Lihat Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah 3/497.
    Dan kadang-kadang Musa bin ‘Ubaidah meriwayatkannya bukan dari Jamhan, dari Abi Hurairah, tetapi dari Zaid bin Aslam, dari Jamhan, dari Abi Hurairah, sebagaimana dalamSyu’abul Îman 3/292 no. 3578 karya Al-Baihaqy.
    • Jamhan adalah seorang rawi majhul (tidak dikenal).
    Adapun riwayat Yahya bin Abdul Hamid dalam Muntakhab Musnad Abdu bin Humaid no. 1447, itu adalah riwayat yang mungkar sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Al-Albany dalam Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah 3/497.
    Maka jalan pertama ini adalah lemah, karena itu berkata Al-‘Iraqy, “Sanadnya lemah.” Lihat Fathul Qadîr 5\285 karya Imam Al Manawy.
    Kedua , dari jalan Hammad bin Walid, dari Sufyan Ats-Tsaury dan ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman, dari Abu Hazim, dari Sahl bin Sa’ad, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.
    Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil Fî Du’afa`i Ar-Rijal 2/657-658, Ath-Thabarany 6/193 no. 5973, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 7/136, Al-Baihaqy dalam Syu’abul Îman3/292-293, Al-Khatib Al-Baghdady dalam Tarikh -nya 8/153 dan Ibnul Jauzy dalam Al-‘Ilal Al-Mutanahiyah 2/49 no. 885.
    Di dalam sanadnya ada Hammad bin Walîd dan ia ini Matrûkul hadits (ditinggalkan haditsnya) bahkan Ibnu Hibban berkata, “Ia mencuri hadits dan menyandarkannya pada orang-orang tsiqah (terpercaya) apa yang bukan hadits mereka.” Maka jalan kedua ini sangat lemah.
    Kesimpulan
    Bisa disimpulkan bahwa sanad hadits ini lemah.
    4. Hadits Keempat
    إِذَا سَمِعَ أَحُدُكُمُ الْنِدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعُهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
    “Apabila salah seorang dari kalian mendengar adzan dan bejana masih berada di tangannya, maka janganlah ia meletakkan bejananya sampai ia menyelesaikan hajatnya dari bejana tersebut.”
    Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud no. 2350, Ibnu Jarir dalam Tafsir -nya 2/181, Ahmad 2/423,510, Al-Hakim 1/320,323, dan 588, Al-Baihaqy 4/218, dan Ad-Daraquthny 2/165. Semuanya dari jalan Hammad bin Salamah, dari Muhammad bin Amr bin ‘Alqamah, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.
    Diriwayatkan juga oleh Ahmad 2/510, Ibnu Jarir 2/181, Al-Hakim 1/320,323, dan Al-Baihaqy 4/218, dari jalan Hammad bin Salamah, dari ‘Ammar bin Abi ‘Ammar, dari Abi Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.
    Saya berkata, “Kalau kita memperhatikan dua jalan di atas, zhahir sanad jalan pertamahasan dan jalan kedua shahih, tapi kaidah yang sudah dimaklumi di kalangan ahli hadits bahwa walaupun zhahir sanad suatu hadits diterima, belum tentu sanad tersebut lepas dari cacat yang tersembunyi, dan ternyata di dalam sanad hadits ini ada cacat yang tersembunyi sebagaimana dijelaskan oleh Imam Besar pakar ‘ilalul hadits (cacat-cacat hadits), Abu Hatim, sebagaimana dalam Al-‘Ilal 1/123-124 no. 340, 1/256-257 no. 257 beliau berkata, “Dua hadits ini (dua jalan di atas) tidak shahih, adapun hadits ‘Ammar itu dari Abi Hurairah secara Mauqûf (dari perkataan Abu Hurairah) dan ‘Ammar Tsiqah dan hadits yang lainnya tidak shahih.”
    Demikianlah perkataan Abu Hatim rahimahullah yang harus kita terima walaupun zhahir sanad tersebut adalah shahih atau hasan, karena Abu Hatim dan para imam yang setingkat dengan beliau adalah orang yang paling tahu tentang cacat-cacat yang tersembunyi dalam hadits karena mereka menghafal seluruh riwayat-riwayat para rawi dan mengetahui tingkatan, kedudukan dan kesalahan-kesalahan setiap rawi yang menyebabkan kita harus menerima anggapan (kesimpulan) mereka tentang lemahnya suatu hadits. Dan hal ini dinyatakan oleh banyak ulama yakni Imam Ibnu Rajab, Ibnu Hajar dan lain-lainnya. Wallahu A’lam.
    Sebagian para ulama menyebutkan bahwa hadits ini mempunyai pendukung (penguat), dan saya akan menyebutkan pendukung-pendukung tersebut kemudian kita lihat apakah memang pantas dijadikan pendukung atau tidak.
    • Dari jalan Ghassan bin Rabi’ dari Hammad bin Salamah dari Yûnus dari Hasan Al-Bashry dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam secara mursal.
    Diriwayatkan oleh Ahmad 2/423.
    Saya berkata, “Ini adalah hadits yang mursal dan Ghassan bin Rabi’ yang berada dalam sanadnya adalah dha’if (lemah). Maka ini menyebabkan hadits ini tidak bisa dijadikan pendukung karena hadits mursal bisa dijadikan pendukung kalau sanadnya shahih sedang hadits ini sanad lemah. Wallahu A’lam.”
    • Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir -nya 2/181 dari jalan Husain bin Waqid, dari Abu Ghalib, dari Abu Umamah beliau berkata,
    أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ وَالْإِنَاءُ فِيْ يَدِ عُمَرَ قَالَ أَشْرَبُهَا يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ نَعَمْ فَشَرِبَهَا
    “Iqamah telah dikumandangkan dan di tangan ‘Umar ada bejana, ia berkata , ‘ Apakah saya boleh minum , wahai Rasulullah? ’ Beliau bersabda , ‘ Iya. ’ Maka minumlah ‘Umar.”
    Di dalam sanad hadits ini ada Abu Ghalib, yang kebanyakan para ulama melemahkannya. Karena itu, Ibnu Hajar berkata tentangnya, “Shadûqun yukhti` (jujur tetapi banyak salah).” Ibarat ini digunakan oleh Ibnu Hajar untuk orang yang lemah haditsnya tetapi bisa dijadikan sebagai pendukung.
    • Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 3/348 dari jalan Ibnu Lahî’ah , dari Abi Zubair ia berkata ,
    سَأَلْتُ جَابِرًا عَنِ الرَّجُلِ يُرِيْدُ الصِّيَامَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ لِيَشْرَبَ مِنْهُ فَيَسْمَعُ النِّدَاءَ قَالَ جَابِرٌ كُنَّا نَحَدَّثُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيَشْرَبُ
    “Saya bertanya kepada Jabir tentang seseorang hendak berpuasa dan bejana di tangannya untuk ia minum kemudian ia mendengar adzan. Berkata Jabir , ‘ Kami diceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkata , ‘ Iya , minumlah. ’ . .”
    Saya berkata , “ Ibnu Lahi’ah dha’iful hadits. ”
    • Hadits Bilal, beliau berkata ,
    أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أُوْذِنُهُ بِالصَّلاَةِ وَهُوَ يُرِيْدُ الصِّيَامَ فَدَعَا بِقَدَحٍ فَشَرِبَ ثُمَّ نَاوَلَنِيْ فَشَرِبْتُ ثُمَّ خَرَجْنَا إِلَى الصَّلاَةِ
    “Saya datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam memanggil beliau untukshalat shubuh dan (ketika itu) beliau hendak berpuasa, maka ia meminta bejana lalu minum kemudian beliau memberikan bejana itu kepadaku kemudian saya minum lalu kami keluar untuk shalat.”
    Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad 6/12, Ibnu Jarîr 2/181, Ath-Thabarany 1/355 no. 1082-1083, Asy-Syasyi dalam Musnad -nya 2/368 no. 972-974 , dan Adz-Dzahaby dalamMizanul I’tidal 4/483. Semuanya dari jalan Abu Ishaq , dari ‘Abdillah bin Ma’qil , dari Bilal.
    Saya berkata , “ Abu Ishaq As-Sabi’iy seorang mudallis dan meriwayatkan hadits ini dengan kata ‘an (dari), maka haditsnya tidak boleh diterima apalagi ada keanehan (asing) dalam sanadnya, sehingga Adz-Dzahaby berkata , ‘Gharîbun jiddan (aneh sekali).’ Ucapan beliau ini menunjukkan bahwa hadits tersebut tidak bisa dijadikan pendukung. Wallahu A’lam.”
    • Diriwayatkan oleh Imam Al-Bazzar , sebagaimana dalam Kasyful Astar no. 993 , dari jalan Muthî’ bin Rasyid , dari Taubah Al-‘Anbary , dari Anas bin Malikradhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda ,
    انْظُرْ مَنْ فِي الْمَسْجِدِ فَادْعُهُ فَدَخَلْتُ يَعْنِيْ الْمَسْجِدَ فَإِذَا أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ فَدَعَوْتُهُمَا فَأَتََيْتُهُ بِشَيْءٍ فَوَضَعْتُهُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَأَكَلَ وَأَكَلُوْا ثُمَّ خَرَجُوْا فَصَلَّى بِهِمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الغَدَاةِ
    “Lihatlah siapa yang ada di masjid kemudian panggillah ia, ” maka saya (Anas bin Malik) masuk (masjid) ternyata ada Abu Bakr dan ‘Umar maka saya pun memanggil mereka berdua, kemudian saya membawakan sesuatu kepada Nabi lalu saya letakkan di depannya lalu beliau makan dan mereka pun makan, kemudian mereka keluar lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam shalat Shubuh mengimami mereka.”
    Hadits ini dikeluarkan juga dengan matan yang lebih ringkas oleh Ibnu Abi Syaibah dalanMusnad -nya sebagaimana dalam Al-Mathalib Al-‘Aliyah 3/248-249 no. 1104 dan sanadnya hasan sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Haitsamy dalam Majma’ Az-Zawaid 3/152. Lihat juga Silsilah Ahadits Ash-Shahîhah 3/383.
    Tapi hadits ini tidak bisa dijadikan syahid (pendukung) untuk hadits di atas karena tidak tegas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam makan sahur dalam keadaan telah adzan sementara bejana masih berada di tangan beliau, tetapi hadits ini hanya menunjukkan bahwa kalau makan sahur, beliau akhirkan sehingga mendekati waktu shubuh. Dan hadits yang menunjukkan disunnahkannya mengakhirkan sahur itu sangat banyak dan kita tidaklah terlalu sulit untuk mendapatkan hadits-hadits seperti ini, di antaranya hadits Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim ,
    تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلاَةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا قَالَ خَمْسِيْنَ آيَةٍ
    “Kami bersahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam kemudian kami berdiri untuk shalat. Saya (Anas bin Malik) berkata , ‘ Berapa jarak antara keduanya (antara sahur dan adzan)? ’ Ia menjawab , ‘ Lima puluh ayat. ’ .”
    • Diriwayatkan oleh Abu Daud Ath-Thayalisy dalam Musnad -nya no. 1898 , beliau berkata , “Menceritakan kepada kami Qais bin Ar-Rabi’ , dari Zuhair bin Abi Tsabit Al-A’ma , dari Tamim bin ‘Iyadh , dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu ,
    كَانَ عَلْقَمَةُ بْنُ عَلاَثَةَ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَ بِلاَلٌ يُؤًذِّنُ بِالصَّلاَةِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ رُوَيْدًا يَا بِلاَلُ يَتَسَحَّرُ عَلْقَمْةُ وَهُوَ يَتَسَحَّرُ بِرَأْسٍ
    “Adalah ‘Alqamah bin ‘Ulatsah berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam maka datanglah Bilal memberitahukan tentang adzan shalat maka beliau bersabda , ‘ Pelan-pelan, wahai Bilal, Alqamah sedang makan sahur. ’ .” Berkata Ibnu ‘Umar, “Ia makan sahur dengan kepala.” .”
    Saya berkata , “Qais bin Ar-Rabi’ yang terdapat di dalam sanadnya adalah rawi yang lemah haditsnya, hal ini bisa disimpulkan oleh orang yang membaca biografinya. Adapun Tamim bin ‘Iyadh, saya tidak menemukan biografinya. Wallahu A’lam.”
    Kesimpulan
    Lafazh hadits di atas menurut kaidah ilmu hadits bisa dianggap sebagai hadits hasan lighairihi, tetapi masih ada keraguan tentang hadits ini karena menyelisihi beberapa nash dalil yang jelas , di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
    “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” [ Al-Baqarah: 187 ]
    Juga hadits Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
    إِنَّ بِلاَلاً يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى تَسْمَعُوْا تَأْذِيْنَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُوْمٍ
    “Sesungguhnya Bilal adzan pada malam hari, maka makanlah dan minumlah kalian sampai kalian mendengar adzan Ibnu Ummi Maktûm.” Muttafaqun ‘alaih .
    Maksud hadits ini bahwa adzan dalam syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam ada dua kali: adzan pertama dan adzan kedua. Ketika adzan pertama masih dibolehkan makan sahur, dan batasan terakhirnya sampai adzan kedua, yaitu adzan yang dikumandangkan untuk shalat Shubuh.
    Andaikata hadits ini shahih, maka maknanya tidak bisa dipahami secara zhahir, tetapi dipahami sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Baihaqy dalam Sunan Al-Kubra4/218 bahwa yang diinginkan adalah ia boleh minum apabila diketahui bahwa muadzin tersebut adzan sebelum terbitnya fajar shubuh, dan demikianlah menurut pendapat kebanyakan para ulama. Wallahu A’lam.
    5. Hadits Kelima
    مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ فِيْ غَيْرِ رُخْصَةٍ رَخَّصَهَا اللهُ وَفِيْ رِوَايَةٍ عُذْرٍ لَمْ يَقْضِ عَنْهُ صِيَامَ الدَّهْرِ
    “Siapa yang berbuka satu hari dalam ramadhan tanpa rukhshah (keringanan) yang Allah jadikan sebagai rukhshah -dalam satu riwayat tanpa udzur- maka dia tidak mampu menggantinya walaupun berpuasa sepanjang masa.”
    Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud Ath-Thayalisy dalam Musnad -nya no. 2540, Ahmad 2/386, 442, 458, dan 470, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnad -nya 1/296-297 no. 273-275 dan 1/361 no. 367, Abu Daud no. 2396, Tirmidzy no. 723, Ibnu Majah no. 1672, An-Nasa`i dalam Al-Kubra 2/244-245 no. 3278-3283, Ad-Darimy dalam Sunan -nya no. 1713-1715, Ibnu Khuzaimah 3/238 no. 1987, Ad-Daraquthny 2/211 no. 29 dan dalam ‘Ilal-nya 8269-274, Al-Baihaqy 4/228 dan dalam Syu’abul Îman 3/318, Ibnu Hibban dalam Al-Majrûhîn 3/157, Al-Khatîb dalam Tarikh -nya 8/462, dan Ibnu Hajar dalam Taghlîq At-Ta’lîq 3/170. Semuanya dari jalan Abul Muthawwis, dari ayahnya, dari Abi Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.
    Dalam sanadnya terdapat empat cacat:
    • Ada idhthirab (kegoncangan) pada Habîb bin Abi Tsabit dalam menyebutkan nama gurunya. Kadang ia mengatakan Abul Muthawwis dari ayahnya, kadangIbnul Muthawwis dari ayahnya, kadang Ibnul Muthawwis dari Al-Muthawwis, dan kadang dari Ibnu Abil Muthawwis dari ayahnya. Lihat ‘Ilal Ad-Daraquthny 8/266-269 dan Hasyiah Al-Jarh Wa At-Ta’dil 5/167-168 oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Yahya Al-Mu’allimy rahimahullah.
    Tidak diragukan bahwa hal yang seperti ini merupakan idhthirab dalam sanad yang akan mengakibatkan lemahnya suatu hadits menurut para ulama ahli hadits.
    Adapun riwayat Habîb bin Abi Tsabit, yang kadang meriwayatkan dari Abul Muthawwis secara langsung dan kadang dengan perantara ‘Umarah bin ‘Umair, hal tersebut tidaklah disebut idhthirab, bahkan keduanya adalah shahih sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Hatim dalam Al-‘Ilal 1/231-232 no. 674. Lihat juga ‘Ilal Ad-Daraquthny 8/266-269.
    • Tidak dikenalnya keadaan Abul Muthawwis.
    Berkata Imam Abu ‘Isa (At-Tirmidzy) dalam Sunan -nya setelah menyebutkan hadits di atas, “Saya mendengar Muhammad (yakni Imam Al-Bukhary) berkata, ‘Abul Muthawwis namanya Yazid bin Muthawwis dan saya tidak mengetahuinya kecuali dalam hadits ini.’.”
    Berkata Imam Ahmad, “Saya tidak mengenalnya dan saya tidak mengenal haditsnya dari selain ini.”
    Berkata Imam Ibnu Khuzaimah dalam Shahih -nya, “Sesungguhnya saya tidak mengenal Ibnu Muthawwis dan tidak pula bapaknya selain dari Habîb bin Abi Tsabit yang telah menyebutkan bahwasanya dia bertemu dengan Abul Muthawwis.”
    Berkata Imam Ibnu Hibban dalam Al-Majrûhîn 3/157, “(Dia adalah) seorang dari ahli Kufah meriwayatkan dari bapaknya, tidak ada yang mengikutinya, tidak boleh berhujjah dengannya jika dia bersendirian.”
    Juga tidak ada Imam yang menganggapnya terpercaya, kecuali Imam Ibnu Ma’în dalam salah satu riwayat, yaitu riwayat Abu Bakar bin Abi Haitsamah, “Saya bertanya kepada Yahya Ibnu Ma’în tentang Abul Muthawwis yang meriwayatkan darinya Habîb bin Abi Tsabit, maka beliau menjawab, ‘Namanya ‘Abdullah bin Muthawwis, Dia itu Kufy tsiqah(terpercaya).’.” Lihat Al-Jarh Wat-Ta’dil 5/773 dan ‘Ilal Ad-Daraquthny 8/273.
    Tapi yang nampak -Wallahu A’lam- Abul Muthawwis yang disebutkan oleh Ibnu Ma’in bukanlah Abul Muthawwis yang tersebut di dalam sanad hadits ini. Mungkin karena itu, Imam Adz-Dzahaby dalam Al-Kasyif memberikan isyarat dengan ucapannya wutstsiq(ada yang menganggapnya tsiqah). Kata wutstsiq digunakan oleh Imam Adz-Dzahaby bagi orang yang hanya di-tsiqah-kan oleh Ibnu Hibban, khususnya dalam kitabnya, Ats-Tsiqat , sementara Abul Muthawwis ini justru beliau sebutkan dalam Al-Majrûhîn . Hal ini menunjukkan bahwa beliau tidak menganggap (mengakui) perkataan Imam Ibnu Ma’in tersebut.
    Demikian pula Ibnu Hajar, dalam Taqribut Tahdzib , berkata, “Abul Muthawwis (namanya) adalah Yazid dan ada yang menyatakan (namanya) ‘Abdullah bin Muthawwis, Layyinul hadits (lembek haditsnya).” Disini, Ibnu Hajar menggunakan kata qîla (ada yang mengatakan), menunjukkan bahwa pendapat yang mengatakan nama Abul Muthawwis adalah ‘Abdullah bin Muthawwis merupakan pendapat yang lemah. Wallahu A’lam.
    • Ayah Abul Muthawwis ini majhûl (tidak dikenal).
    • Ada inqitha’ (keterputusan) antara ayah Abul Muthawwis dengan Abu Hurairah. Berkata Imam Al-Bukhary dalam At-Tarikh Al-Kabir , “Abul Muthawwis bersendirian meriwayatkan hadits ini, dan saya tidak mengetahui apakah bapaknya mendengar dari Abi Hurairah atau tidak.” Lihat Fathul Bari 4/161 dan At-Tahdzib .
    Maka sebagai kesimpulan hadits ini adalah hadits yang lemah. Wallahu A’lam.
    Demikianlah jawaban kami atas pertanyaan tentang hadits-hadits tersebut.WallahuTa’alaA’lam.
    Peringatan
    Banyak orang yang menyebarluaskan bahwa hadits ini adalah riwayat Bukhary dalamShahih -nya. Ini adalah kesalahan yang sangat nyata karena Imam Al-Bukhary hanya meriwayatkannya secara mu’allaq (tidak menyebutkan sanadnya kepada rawi yang ia sandarkan hadits tersebut kepadanya) dan para ulama tidak menghitung (menganggap) apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary secara mu’allaq sebagai bagian dari Shahîh Al-Bukhary . Apalagi Imam Al-Bukhary meriwayatkan hadits ini dengan shighah tamridh, menunjukkan lemahnya riwayat tersebut menurut beliau. Wallahu A’lam.

    sumber : http://an-nashihah.com/?p=39