Rabu, 27 Juli 2011

(istri Nabi) Ummu Habibah binti Abu Sufyan (wafat 44 H/664 M)

Dalam perjalanan hidupnya, Ummu Habibah banyak mengalami penderitaan dan cobaan yang berat. Setelah memeluk Islam, dia bersama suaminya hijrah ke Habasyah. Di sana, ternyata suaminya murtad dari agama Islam dan beralih memeluk Nasrani. Suaminya kecanduan minuman keras, dan meninggal tidak dalam agama Islam. Dalam kesunyian hidupnya, Ummu Habibah selalu diliputi kesedihan dan kebimbangan karena dia tidak dapat berkumpul dengan keluarganya sendiri di Mekah maupun keluarga suaminya karena mereka sudah menjauhkannya. Apakah dia harus tinggal dan hidup di negeri asing sampai wafat?

Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya dalam kesedihan terus-menerus. Ketika mendengar penderitaan Ummu Habibah, hati Rasulullah sangat tergerak sehingga beliau rnenikahinya dan Ummu Habibah tidak lagi berada dalam kesedihan yang berkepanjangan. Hal itu sesuai dengan firman Allah bahwa:Nabi itu lebih utama daripada orang lain yang beriman, dan istri-istri beliau adalah ibu bagi orang yang beriman.
Keistimewaan Ummu Habibah di antara istri-istri Nabi lainnya adalah kedudukannya sebagai putri seorang pemimpin kaum musyrik Mekah yang memelopori perientangan terhadap dakwah Rasulullah dan kaum muslimin, yaitu Abu Sufyan.
A. Masa Kecil dan Nasab Pertumbuhannya
Ummu Habibah dilahirkan tiga belas tahun sebelum kerasulan Muhammad Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. dengan nama Ramlah binti Shakhar bin Harb bin Uinayyah bin Abdi Syams. Ayahnya dikenal dengan sebutan Abu Sufyan. Ibunya bernama Shafiyyah binti Abil Ashi bin Umayyah bin Abdi Syams, yang merupakan bibi sahabat Rasulullah, yaitu Utsman bin Affan r.a.. Sejak kecil Ummu Habibah terkenal memiliki kepribadian yang kuat, kefasihan dalam berbicara, sangat cerdas, dan sangat cantik.
B. Pernikahan, Hijrah, dan Penderitaannya
Ketika usia Ramlah sudah cukup untuk menikah, Ubaidillah bin Jahsy mempersunting- nya, dan Abu Sufyan pun menikahkan mereka. Ubaidillah terkenal sebagai pemuda yang teguh memegang agama Ibrahirn a.s.. Dia berusaha menjauhi minuman keras dan judi, serta berjanji untuk memerangi agama berhala. Ramlah sadar bahwa dirinya telah menikah dengan seseorang yang bukan penyembah berhala, tidak seperti kaumnya yang membuat dan menyembah patung-patung. Di dalarn hatinya terbersit keinginan untuk mengikuti suaminya memeluk agama Ibrahim a.s.
Sementara itu, di Mekah mulai tersebar berita bahwa Muhammad datang membawa agama baru, yaitu agama Samawi yang berbeda dengan agama orang Quraisy pada umumnya. Mendengar kabar itu, hati Ubaidillah tergugah, kemudian menyatakan dirinya memeluk agama baru itu. Dia pun mengajak istrinya, Ramlah, untuk memeluk Islam bersamanya.
Mendengar misi Muhammad berhasil dan maju pesat, orang-orang Quraisy menyatakan perang terhadap kaum muslimin sehingga Rasulullah memerintahkan kaum muslimin untuk berhijrah ke Habasyah. Di antara mereka terdapat Ramlah dan suaminya, Ubaidillah bin Jahsy. Setelah beberapa lama mereka menanggung penderitaan berupa penganiayaan, pengasingan, bahkan pengusiran dan keluarga yang terus mendesak agar mereka kembali kepada agama nenek moyang. Ketika itu Ramlah tengah mengandung bayinya yang pertama. Setibanya di Habasyah, bayi Ramlah lahir yang kemudian diberi nama Habibah. Dari nama bayi inilah kemudian nama Ramlah berubah menjadi Ummu Habibah.
Selama mereka di Habasyah terdengar kabar bahwa kaum muslimin di Mekah semakin kuat dan jumlahnya bertambah sehingga mereka menetapkan untuk kembali ke negeri asal mereka. Sementara itu, Ummu Habibah dan suaminya memilih untuk menetap di Habasyah. Di tengah perjalanan, rombongan kaum muslimin yang akan kembali ke Mekah mendengar kabar bahwa keadaan di Mekah masih gawat dan orang-orang musyrik semakin meningkatkan tekanan dan boikot terhadap kaum muslimin. Akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke Habasyah.
Beberapa tahun tinggal di Habasyah, kaum muslimin sangat mengharapkan kesedihan akan cepat berlalu dan barisan kaum muslimin menjadi kuat, namun kesedihan belum habis. Kondisi itulah yang menyebabkan Ubaidillah memiliki keyakinan bahwa kaum muslimin tidak akan pernah kuat. Tampaknya dia sudah putus asa sehingga sedikit demi sedikit hatinya mulai condong pada agama Nasrani, agama orang Habasyah.
Ummu Habibah mengatakan bahwa dia memimpikan sesuatu, “Aku melihat suamiku berubah menjadi manusia paling jelek bentuknya. Aku terkejut dan berkata, ‘Demi Allah, keadaannya telah berubah.’ Pagi harinya Ubaidillah berkata, ‘Wahai Ummu Habibah, aku melihat tidak ada agama yang lebih baik daripada agama Nasrani, dan aku telah menyatakan diri untuk memeluknya. Setelah aku memeluk agama Muhammad, aku akan memeluk agama Nasrani.’ Aku berkata, ‘Sungguhkah hal itu baik bagimu?’ Kemudian aku ceritakan kepadanya tentang mimpi yang aku lihat, namun dia tidak mempedulikannya. Akhirnya dia terus-menerus meminum minuman keras sehingga merenggut nyawanya.”
Demikianlah, Ubaidillah keluar dan agama Islam yang telah dia pertaruhkan dengan hijrah ke Habasyah, dengan menanggung derita, meninggalkan kampung halaman bersama istri dan anaknya yang masih kecil. Ubaidillah pun berusaha mengajak istrinya untuk keluar dari Islam, namun usahanya sia-sia karena Ummu Habibah tetap kokoh dalam Islam dan memertahankannya hingga suaminya meninggal. Ummu Habibah merasa terasing di tengah kaum muslimin karena merasa malu atas kernurtadan suaminya. Baginya tidak ada pilihan lain kecuali kembali ke Mekah, padahal orang tuanya, Abu Sufyan, sedang gencar menyerang Nabi dan kaurn muslimin. Dalam keadaan seperti itu, Ummu Habibah merasa rumahnya tidak aman lagi baginya, sementara keluarga suarninya telah meeninggalkan rumah mereka karena telah bergabung dengan Rasulullah. Akhirnya, dia kembali ke Habasyah dengan tanggungan derita yang berkepanjangan dan menanti takdir dari Allah.
C. Menjadi Ummul-Mukminin
Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. selalu memantau keadaan umat Islam, tidak saja yang berada di Mekah dan Madinah, tetapi juga yang di Habasyah. Ketika memantau Habasyahlah beliau mendengar kisah tentang Ummu Habibah yang ditinggalkan Ubaidillah dengan derita yang ditanggungnya selama ini. Hati beliau terketuk dan berniat menikahinya.
Ummu Habibah menceritakan mimpi dan kehidupannya yang suram. Dia berkata, “Dalam tidurku aku melihat seseorang menjumpaiku dan memanggilku dengan sebutan Ummul-Mukminin. Aku terkejut. Kemudian aku mentakwilkan bahwa Rasulullah akan menikahiku.” Dia melanjutkan, “Hal itu aku lihat setelah masa iddahku habis. Tanpa aku sadari seorang utusan Najasyi mendatangiku dan meminta izin, dia adalah Abrahah, seorang budak wanita yang bertugas mencuci dan memberi harum-haruman pada pakaian raja. Dia berkata, ‘Raja berkata kepadamu, ‘Rasulullah mengirimku surat agar aku mengawinkan kamu dengan beliau.” Aku menjawab, ‘Allah memberimu kabar gembira dengan membawa kebaikan.’ Dia berkata lagi, ‘Raja menyuruhmu menunjuk seorang wali yang hendak rnengawinkanmu’. Aku menunjuk Khalid bin Said bin Ash sebagai waliku, kemudian aku memberi Abrahah dua gelang perak, gelang kaki yang ada di kakiku, dan cincin perak yang ada di jari kakiku atas kegembiraanku karena kabar yang dibawanya.” Ummu Habibah kembali dan Habasyah bersarna Syarahbil bin Hasanah dengan membawa hadiah-hadiah dari Najasyi, Raja Habasyah.
Berita pernikahan Ummu Habibah dengan Rasulullah merupakan pukulan keras bagi Abu Sufyan. Tentang hal itu, Ibnu Abbas meriwayatkan firman Allah,“Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orangorang yang kamu musuhi di antara mereka. …“ (QS. Al-Mumtahanah: 7). Ayat ini turun ketika Nabi Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. menikahi Ummu Habibah binti Abi Sufyan.
D. Hidup bersama Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam.
Rasululullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. mengutus Amru bin Umayyah ke Habasyah dengan membawa dua tugas, yaitu mengabari kaum Muhajirin untuk kembali ke negeri mereka (Madinah) karena posisi kaum muslimin sudah kuat serta untuk meminang Ummu Habibah untuk Rasulullah. Di tengah perjalanan kembali ke Madinah mereka mendengar berita kernenangan kaum muslimin atas kaum Yahudi di Khaibar. Kegembiraan itu pun mereka rasakan di Madinah karena saudara mereka telah kembali dan Habasyah. Rasulullah menyambut mereka yang kembali dengan suka cita, terlebih dengan kedatangan Ummu Habibah. Beliau mengajak Ummu Habibah ke dalarn rumah, yang ketika itu bersarnaan juga dengan pernikahan beliau dengan Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab, putri salah seorang pimpinan Yahudi Khaibar yang ditawan tentara Islam. Ketika itu Nabi mernbebaskan dan menikahinya. Istri-istri Rasulullah lainnya menyambut kedatangan Ummu Habibah dengan hangat dan rasa hormat, berbeda dengan penyambutan mereka terhadap Shafiyyah.
Perjalanan hidup Ummu Habibah di tengah keluarga Rasulullah tidak banyak menimbulkan konflik antar istri atau mengundang amarah beliau. Selain itu, belum juga ada riwayat yang mengisahkan tingkah laku Ummu Habibah yang menunjukkan rasa cemburu.
E. Posisi yang Sulit
Telah kita sebutkan di atas tentang posisi Ummu Habibah yang istimewa di antara istri-istri Rasulullah. Ayahnya adalah seorang pemimpin kaum musyrik ketika Ummu Habibah mendapat cahaya keimanan, dan dia menghadapi kesulitan ketika harus menjelaskan keyakinan itu kepada orang tuanya.
Orang-orang Quraisy mengingkari perjanjian yang telah mereka tanda-tangani di Hudaibiyah bersama Rasulullah. Mereka menyerang dan membantai Bani Qazaah yang telah terikat perjanjian perlindungan dengan kaum muslimin. Untuk mengantisipasi hal itu, Rasulullah berinisiatif menyerbu Mekah yang di dalamnya tinggal Abu Sufyan dan keluarga Ummu Habibah. Orang-orang Quraisy Mekah sudah mengira bahwa kaum muslimin akan menyerang mereka sebagai balasan atas pembantaian atas Bani Qazaah yang mereka lakukan. Mereka sudah mengetahui kekuatan pasukan kaum muslimin sehingga mereka memilih jalan damai. Diutuslah Abu Sufyan yang dikenal dengan kemampuan dan kepintarannya dalam berdiplomasi untuk berdamai dengan Rasulullah.
Sesampainya di Madinah, Abu Sufyan tidak langsung menemui Rasulullah, tetapi terlebih dahulu rnenemui Ummu Habibah dan berusaha rnemperalat putrinya itu untuk kepentingannya. Betapa terkejutnya Ummu Habibah ketika melibat ayahnya berada di dekatnya setelah sekian tahun tidak berjumpa karena dia hijrah ke Habasyah. Di sinilah tampak keteguhan iman dan cinta Ummu Habibah kepada Rasulullah. Abu Sufyan menyadari keheranan dan kebingungan putrinya, sehingga dia tidak berbicara. Akhirnya Abu Sufyan masuk ke kamar dan duduk di atas tikar. Melihat itu, Ummu Habibah segera melipat tikar (kasur) sehingga tidak diduduki oleh Abu Sufyan. Abu Sufyan sangat kecewa melihat sikap putrinya, kemudian berkata, “Apakah kau melipat tikar itu agar aku tidak duduk di atasnya atau rnenyingkirkannya dariku?” Ummu Habibah menjawab, “Tikar ini adalah alas duduk Rasulullah, sedangkan engkau adalah orang musyrik yang najis. Aku tidak suka engkau duduk di atasnya.” Setelah itu Abu Sufyan pulang dengan merasakan pukulan berat yang tidak diduga dari putrinya. Dia merasa bahwa usahanya untuk menggagalkan serangan kaurn muslimin ke Mekah telah gagal. Ummu Habibah telah menyadari apa yang akan terjadi. Dia yakin akan tiba saatnya pasukan muslim menyerbu Mekah yang di dalarnnya terdapat keluarganya, namun yang dia ingat hanya Rasulullah. Dia mendoakan kaum muslimin agar rnemperoleh kemenangan.
Allah mengizinkan kaum muslimin untuk mernbebaskan Mekah. Rasulullah bersama ribuan tentara Islam memasuki Mekah. Abu Sufyan merasa dirinya sudah terkepung puluhan ribu tentara. Dia merasa bahwa telah tiba saatnya kaum muslimin membalas sikapnya yang selama ini menganiaya dan menindas mereka. Rasulullah sangat kasihan dan mengajaknya memeluk Islam. Abu Sufyan menerrna ajakan tersebut dan menyatakan keislamannya dengan kerendahan diri. Abbas, paman Rasulullah, meminta beliau menghormati Abu Sufyan agar dirinya merasa tersanjung atas kebesarannya. Abbas berkata, “Sesungguhnya Abu Sufyan itu seorang yang sangat suka disanjung.” Di sini tampaklah kepandaian dan kebijakan Rasulullah. Beliau menjawab, “Barang siapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, dia akan selamat. Barang siapa yang menutup pintu rumahnya, dia pun akan selamat. Dan barang siapa yang memasuki Masjidil Haram, dia akan selamat.” Begitulah Rasulullah menghormati kebesaran seseorang, dan Allah telah memberi jalan keluar yang baik untuk menghilangkan kesedihan Ummu Habibah dengan keislaman ayahnya.
F. Akhir sebuah Perjalanan
Setelah Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. wafat, Ummu Habibah hidup menyendiri di rumahnya hanya untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam kejadian fitnah besar atas kematian Utsman bin Affan, dia tidak berpihak kepada siapa pun. Bahkan ketika saudaranya, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, berkuasa, sedikit pun dia tidak berusaha mengambil kesempatan untuk menduduki posisi tertentu. Dia juga tidak pernah menyindir Ali bin Abi Thalib lewat sepatah kata pun ketika bermusuhan dengan saudaranya itu. Dia pun banyak meriwayatkan hadits Nabi yang kemudian diriwayatkan kembali oleh para sahabat. Di antara hadits yang diriwayatkannya adalah: “Aku mendengar Rasulullah bersabda,
“Barang siapa yang shalat sebanyak dua belas rakaat sehari semalam, niscaya Allah akan membangun baginya rumah di surga.’ Ummu Habibah berkata, “Sungguh aku tidakpernah meninggalkannya setelab aku mendengar dari Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam.” (HR. Muslim)
Ummu Habibah wafat pada tahun ke-44 hijrah dalarn usia tujuh puluh tahun. Jenazahnya dikuburkan di Baqi’ bersama istri-istri Rasulullah yang lain. Semoga Allah memberinya kehormatan di sisi-Nya dan menempatkannya di tempat yang layak penuh berkah. Amin.
sumber :http://ahlulhadist.wordpress.com/2007/10/04/ummu-habibah-binti-abu-sufyan-wafat-44-h664-m/

Jumat, 08 Juli 2011

Koreksi atas Beberapa Hadits yang Tersebar di Bulan Ramadhan


Ustadz Luqman Jamal
PERTANYAAN
Kami sering mendengar beberapa hadits yang disampaikan oleh penceramah di bulan Ramadhan di antaranya:
  • Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, tengahnya adalah pengampunan dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka.”
  • Berpuasalah niscaya kalian sehat.”
  • Segala sesuatu ada zakatnya dan zakatnya tubuh adalah puasa.
  • Apabila salah seorang dari kalian mendengar adzan dan bejana masih berada di tangannya, maka janganlah ia meletakkan bejananya sampai ia menyelesaikan hajatnya dari bejana tersebut.
  • Siapa yang berbuka satu hari dalam ramadhan tanpa udzur maka dia tidak mampu menggantinya walaupun berpuasa sepanjang masa.”
Bagaimana sebenarnya kedudukan hadits tersebut, apakah shahih atau tidak?Jazakallahu khairan.
JAWABAN
Mengetahui kedudukan sebuah hadits adalah perkara yang sangat penting khususnya di zaman seperti sekarang ini, yang perhatian orang terhadap hal tersebut sangat rendah. Ditambah lagi dengan banyaknya hadits-hadits palsu dan lemah yang menyebar. Dan terkhusus di bulan yang mulia seperti bulan Ramadhan, seharusnya kemuliaan bulan tersebut dijaga dengan menyampaikan hadits-hadits yang shahih dari Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam baik dalam bidang Aqidah, Ahkam, Muamalah maupun Targhib Wat Tarhîb, sebab dengan hal itulah syariat ini akan terjaga dan ibadah kita juga terjaga.
Kami akan mencoba menjawab pertanyaan ini secara ringkas dan menyebutkan beberapa keterangan yang berkaitan dengan lima hadits yang ditanyakan, dan kami uraikan secara berurut dengan menyebutkan lafazh haditsnya.
1. Hadits Pertama
أَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ
“Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, tengahnya adalah pengampunan dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka.”
Hadits ini datang dari dua jalan:
Pertama , dari jalan ‘Ali bin Zaid bin Jud’an, dari Sa’îd bin Musayyab, dari Salman Al-Farisy radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkhutbah kepada kami …,” lalu beliau sebutkan hadits yang panjang dan disebutkan di dalamnya,
وَهُوَ شَهْرُ أولهَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ
“Dan ia adalah bulan yang awalnya adalah rahmat dan tengahnya adalah pengampunan dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka.”
Dikeluarkan oleh Ibnu khuzaimah dalam Shahîh -nya 3/191 no. 1887, Al-Mahamily dalamAmali -nya no. 293 dan Al-Baihaqy dalam Syu’abul Îman 3/305-306 no. 3608.
Akan tetapi pada sanadnya terdapat dua cacat:
  • Tidak diketahui apakah Sa’îd bin Musayyab mendengar dari Salman atau tidak.
  • ‘Ali bin Zaid bin Jud’an dha’if haditsnya.
Maka jalan pertama ini lemah.
Catatan
Hadits ini diriwayatkan juga oleh Haris bin Abi Usamah sebagaimana dalam Zawa’id no. 321 karya Al-Haitsamy dan Al-Mathalib Al-‘Aliyah 3/221-222 no. 1047 karya Ibnu Hajar, beliau berkata ,  menceritakan kepada saya sebagian shahabatku (yaitu) seorang yang dikenal dengan nama Iyas, ia mengangkat hadits kepada Sa’id bin Musayyab … ,” dan seterusnya sama dengan sanad di atas.
Saya berkata , “ Iyas ini adalah Iyas bin ‘Abdul Ghaffar dan ia sebenarnya juga meriwayatkan hadits di atas dari ‘Ali bin Zaid. ” Lihat Syu’abul Îman 3/305.
Kedua , dari jalan Sallam bin Sulaiman bin Sawwar dari Maslamah bin Ash-Shalt dari Az-Zuhry dari Abu Salamah dari Abu Hurairah beliau berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
أَوَّلُ شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ
“Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, tengahnya adalah pengampunan dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka.”
Diriwayatkan oleh Al-‘Uqaily dalam Adh-Dhu’afa` 2/162, Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil Fî Du’afa`i Ar-Rijal 3/1157, dan Al-Khatib dalam Mûdhih Awham Al-Jama’ Wa At-Tafriq2/149.
Pada sanadnya terdapat beberapa cacat:
  • Sallam bin Sulaiman bin Sawwar dha’if (lemah), bahkan Ibnu ‘Adi berkata, “Mungkar haditsnya.”
  • Maslamah bin As-Shalt. Ibnu ‘Adi dan Adz-Dzahaby berkata, “Laa yu’raf (tidak dikenal),” bahkan Abu Hatim berkata, “Matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya).”
  • Maslamah bersendirian meriwayatkan dari Az-Zuhry padahal Az-Zuhry seorang Imam besar yang mempunyai murid yang sangat banyak, maka hal ini menyebabkan riwayat Maslamah ini dianggap mungkar.
Karena itu, Syaikh Al-Albany menghukumi jalan ini sebagai jalan yang mungkar.
Lihat Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah 4/70 no. 1569.
Kesimpulan
Hadits ini lemah dari seluruh jalan-jalannya.
2. Hadits Kedua
صُوْمُوْا تَصِحُّوْا
“Puasalah kalian niscaya kalian akan sehat.”
Hadits dengan lafazh ini mempunyai beberapa jalan:
Pertama , dari jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abi Daud, dari Zuhair bin Muhammad Al-Khurasany, dari Suhail bin Abi Shaleh, dari Abu Hurairah, beliau berkata Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
اغْزُوْا تَغْنَمُوْا وَصُوْمُوْا تَصِحُّوْا وَسَافَرُوْا تَسْتَغْنَوْا
“Berperanglah kalian, niscaya kalian akan mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang), puasalah kalian niscaya kalian sehat, safarlah kalian niscaya kalian berkecukupan.”
Dikeluarkan oleh Ath-Thabarany dalam Al-Ausath jilid 8 hal. 174 no. 8312 dan Abu Nu’aim dalam Ath-Thib -sebagaimana dalam Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah jilid 1 hal. 420-.
Berkata Ath-Thabarany setelah menyebutkan hadits ini, “Tidak meriwayatkan hadits ini dengan lafazh ini kecuali Zuhair.”
Ini sebagai isyarat yang sangat halus dari Ath-Thabarany untuk menunjukkan adanya kelemahan pada hadits ini. Dan memang demikianlah adanya, Zuhair bin Muhammad walaupun ia seorang rawi yang tsiqah (terpercaya) akan tetapi riwayat orang-orang dari negeri Syam darinya adalah riwayat yang lemah. Sementara hadits ini termasuk riwayat orang Syam darinya.
Dan ada jalan lain yang serupa dengan jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abi Daud, diriwayatkan oleh Al-‘Uqaily dalam Adh-Dhu’afa` jilid 1 hal. 92, beliau berkata, “Menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad An-Nashîby, beliau berkata, ‘Menceritakan kepada kami Ishaq bin Zaid Al-Khaththaby, beliau berkata, ‘Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sulaim, beliau berkata, ‘Menceritakan kepada kami Zuhair bin Muhammad Abul Mundzir …,’,’,’,” dan seterusnya sama dengan jalan di atas, kemudian disebutkanlah haditsnya.
Berkata Al-‘Uqaily, “Tidak ada yang mendukungnya kecuali dari jalan yang lemah.”
Saya berkata, “Ahmad bin Muhammad An-Nashîby, Ishaq bin Zaid Al-Khaththaby dan Muhammad bin Sulaim saya tidak bisa menentukan siapa mereka saat ini tapi perkataan Al-‘Uqaily di atas sudah cukup menunjukkan lemahnya hadits ini.”
Karena itulah hadits dengan jalan Abu Hurairah dilemahkan oleh Al-Hafizh Al-‘Iraqy dalam Al-Mughny Fî Hamlil Asfar 3/75 sebagaimana dalam Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifahjilid 1 hal. 420.
Kedua , dari jalan Nahsyal bin Sa’id, dari Adh-Dhahhak bin Muzahim, dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
سَافَرُوْا تَصِحُّوْا وَصُوْمُوْا تَصِحُّوْا وَاغْزَوْا تَغْنَمُوْا
“Safarlah kalian niscaya kalian sehat dan puasalah kalian niscaya kalian sehat dan berperanglah kalian niscaya kalian mendapatkan ghanimah.” .”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil Fî Du’afa`i Ar-Rijal jilid 7 hal. 2521.
Berkata Imam Ibnu ‘Adi setelah membawakan beberapa hadits lain dari jalan Nahsyal, “Hadits-hadits ini semuanya dari Adh-Dhahhak ghairu mahfûzhah (tidak terjaga) dan Nahsyal meriwayatkannya dari Adh-Dhahhak.”
Saya berkata, “Apa yang dikatakan oleh Imam Ibnu ‘Adi adalah benar karena di dalam jalan di atas terdapat dua cacat:
  • Nahsyal bin Sa’id adalah seorang rawi yang sangat lemah haditsnya
Berkata An-Nasa`i, “Nahsyal, dari Adh-Dhahhak Khurasany, matrûkul hadits (ditinggalkan haditsnya).”
  • Ada keterputusan dalam sanad.
Berkata Al-Albany dalam Silsilah Ahadits Ad-Dha’ifah jilid 1 hal. 421, “Adh-Dhahhak tidak mendengar dari Ibnu ‘Abbas.”.”
Lihat biogafinya dalam Tahdzib At-Tahdzib jilid 10 hal. 479.
Ketiga , dari jalan Husain bin ‘Abdillah bin Dhumairah bin Abi Dhumairah Al-Himyary Al-Madany dari ayahnya dari kakeknya dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu beliau berkata,
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ صُوْمُوْا تَصِحُّوْا
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda, ‘Puasalah kalian niscaya kalian akan sehat.’.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil Fî Du’afa`i Ar-Rijal jilid 2 hal. 357.
Saya berkata, “Husain bin ‘Abdillah bin Dhumairah matrûkul hadits (ditinggalkan haditsnya) bahkan sebagian para ulama menganggapnya sebagai pendusta dan saya tidak mengetahui siapa ayah dan kakeknya, maka jalan ini juga sangat lemah.”
Keempat , berkata Abu ‘Amr Ar-Rabi’ bin Habib Al-Azdy dalam Musnad -nya no. 291, “Menceritakan kepada saya Abu ‘Ubaidah Muslim bin Abi Karimah At-Tamimy, beliau berkata, ‘Telah sampai kepadaku dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallambahwasanya beliau berkata,
صَلُّوْا تَنْجَحُوْا وَزَكُّوْا تُفْلِحُوْا وَصُوْمُوْا تَصِحُّوا وَسَافَرُوْا تَغْنَمُوْا
“Shalatlah kalian niscaya kalian selamat dan keluarkanlah zakat niscaya kalian beruntung dan puasalah kalian niscaya kalian sehat dan safarlah kalian niscaya kalian mendapatkan ghanimah.”.’. ”
Saya berkata, “Abu ‘Ubaidah Muslim bin Abi Karimah At-Tamimy majhul (tidak dikenal) kemudian sanadnya mursal.”
Kesimpulan
Bisa disimpulkan dari keterangan di atas bahwa hadits ini lemah dari seluruh jalan-jalannya. Wallahu A’lam Bishshawab.
3. Hadits Ketiga
لِكُلِّ شَيْءٍ زَكَاةٌ وَزَكَاةُ الْجَسَدِ الْصَوْمُ
“Segala sesuatu punya zakat dan zakat tubuh adalah puasa.”
Hadits ini datang dari dua jalan:
Pertama , dari jalan Musa bin ‘Ubaidah Ar-Rabadzy, dari Jamham, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 3/7, Ibnu Majah no. 1745, Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil Fî Du’afa`i Ar-Rijal 6/2336, Al-Qadha’iy dalam Musnad -nya 1/162 no. 229, dan Al-Baihaqy dalam Syu’abul Îman no. 3577.
Terdapat beberapa illat (cacat) dalam hadits ini:
  • Musa bin ‘Ubaidah Ar-Rabadzy, berkata Al-Bûshiry dalam Mishbah Az-Zujajah , “ Para ulama sepakat tentang lemahnya ia.”
  • Musa bin ‘Ubaidah telah mudhtharib (goncang) dalam meriwayatkan hadits ini, kadang-kadang ia meriwayatkannya secara marfû’ (bersambung kepada Nabi) seperti riwayat di atas, dan kadang-kadang ia meriwayatkannya secara mauqûf(hanya sampai kepada shahabat) sebagaimana dalam riwayat Waqi’ bin Al-Jarrah dalam Az-Zuhd . Lihat Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah 3/497.
Dan kadang-kadang Musa bin ‘Ubaidah meriwayatkannya bukan dari Jamhan, dari Abi Hurairah, tetapi dari Zaid bin Aslam, dari Jamhan, dari Abi Hurairah, sebagaimana dalamSyu’abul Îman 3/292 no. 3578 karya Al-Baihaqy.
  • Jamhan adalah seorang rawi majhul (tidak dikenal).
Adapun riwayat Yahya bin Abdul Hamid dalam Muntakhab Musnad Abdu bin Humaid no. 1447, itu adalah riwayat yang mungkar sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Al-Albany dalam Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah 3/497.
Maka jalan pertama ini adalah lemah, karena itu berkata Al-‘Iraqy, “Sanadnya lemah.” Lihat Fathul Qadîr 5\285 karya Imam Al Manawy.
Kedua , dari jalan Hammad bin Walid, dari Sufyan Ats-Tsaury dan ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman, dari Abu Hazim, dari Sahl bin Sa’ad, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.
Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil Fî Du’afa`i Ar-Rijal 2/657-658, Ath-Thabarany 6/193 no. 5973, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 7/136, Al-Baihaqy dalam Syu’abul Îman3/292-293, Al-Khatib Al-Baghdady dalam Tarikh -nya 8/153 dan Ibnul Jauzy dalam Al-‘Ilal Al-Mutanahiyah 2/49 no. 885.
Di dalam sanadnya ada Hammad bin Walîd dan ia ini Matrûkul hadits (ditinggalkan haditsnya) bahkan Ibnu Hibban berkata, “Ia mencuri hadits dan menyandarkannya pada orang-orang tsiqah (terpercaya) apa yang bukan hadits mereka.” Maka jalan kedua ini sangat lemah.
Kesimpulan
Bisa disimpulkan bahwa sanad hadits ini lemah.
4. Hadits Keempat
إِذَا سَمِعَ أَحُدُكُمُ الْنِدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعُهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
“Apabila salah seorang dari kalian mendengar adzan dan bejana masih berada di tangannya, maka janganlah ia meletakkan bejananya sampai ia menyelesaikan hajatnya dari bejana tersebut.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud no. 2350, Ibnu Jarir dalam Tafsir -nya 2/181, Ahmad 2/423,510, Al-Hakim 1/320,323, dan 588, Al-Baihaqy 4/218, dan Ad-Daraquthny 2/165. Semuanya dari jalan Hammad bin Salamah, dari Muhammad bin Amr bin ‘Alqamah, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.
Diriwayatkan juga oleh Ahmad 2/510, Ibnu Jarir 2/181, Al-Hakim 1/320,323, dan Al-Baihaqy 4/218, dari jalan Hammad bin Salamah, dari ‘Ammar bin Abi ‘Ammar, dari Abi Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.
Saya berkata, “Kalau kita memperhatikan dua jalan di atas, zhahir sanad jalan pertamahasan dan jalan kedua shahih, tapi kaidah yang sudah dimaklumi di kalangan ahli hadits bahwa walaupun zhahir sanad suatu hadits diterima, belum tentu sanad tersebut lepas dari cacat yang tersembunyi, dan ternyata di dalam sanad hadits ini ada cacat yang tersembunyi sebagaimana dijelaskan oleh Imam Besar pakar ‘ilalul hadits (cacat-cacat hadits), Abu Hatim, sebagaimana dalam Al-‘Ilal 1/123-124 no. 340, 1/256-257 no. 257 beliau berkata, “Dua hadits ini (dua jalan di atas) tidak shahih, adapun hadits ‘Ammar itu dari Abi Hurairah secara Mauqûf (dari perkataan Abu Hurairah) dan ‘Ammar Tsiqah dan hadits yang lainnya tidak shahih.”
Demikianlah perkataan Abu Hatim rahimahullah yang harus kita terima walaupun zhahir sanad tersebut adalah shahih atau hasan, karena Abu Hatim dan para imam yang setingkat dengan beliau adalah orang yang paling tahu tentang cacat-cacat yang tersembunyi dalam hadits karena mereka menghafal seluruh riwayat-riwayat para rawi dan mengetahui tingkatan, kedudukan dan kesalahan-kesalahan setiap rawi yang menyebabkan kita harus menerima anggapan (kesimpulan) mereka tentang lemahnya suatu hadits. Dan hal ini dinyatakan oleh banyak ulama yakni Imam Ibnu Rajab, Ibnu Hajar dan lain-lainnya. Wallahu A’lam.
Sebagian para ulama menyebutkan bahwa hadits ini mempunyai pendukung (penguat), dan saya akan menyebutkan pendukung-pendukung tersebut kemudian kita lihat apakah memang pantas dijadikan pendukung atau tidak.
  • Dari jalan Ghassan bin Rabi’ dari Hammad bin Salamah dari Yûnus dari Hasan Al-Bashry dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam secara mursal.
Diriwayatkan oleh Ahmad 2/423.
Saya berkata, “Ini adalah hadits yang mursal dan Ghassan bin Rabi’ yang berada dalam sanadnya adalah dha’if (lemah). Maka ini menyebabkan hadits ini tidak bisa dijadikan pendukung karena hadits mursal bisa dijadikan pendukung kalau sanadnya shahih sedang hadits ini sanad lemah. Wallahu A’lam.”
  • Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir -nya 2/181 dari jalan Husain bin Waqid, dari Abu Ghalib, dari Abu Umamah beliau berkata,
أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ وَالْإِنَاءُ فِيْ يَدِ عُمَرَ قَالَ أَشْرَبُهَا يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ نَعَمْ فَشَرِبَهَا
“Iqamah telah dikumandangkan dan di tangan ‘Umar ada bejana, ia berkata , ‘ Apakah saya boleh minum , wahai Rasulullah? ’ Beliau bersabda , ‘ Iya. ’ Maka minumlah ‘Umar.”
Di dalam sanad hadits ini ada Abu Ghalib, yang kebanyakan para ulama melemahkannya. Karena itu, Ibnu Hajar berkata tentangnya, “Shadûqun yukhti` (jujur tetapi banyak salah).” Ibarat ini digunakan oleh Ibnu Hajar untuk orang yang lemah haditsnya tetapi bisa dijadikan sebagai pendukung.
  • Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 3/348 dari jalan Ibnu Lahî’ah , dari Abi Zubair ia berkata ,
سَأَلْتُ جَابِرًا عَنِ الرَّجُلِ يُرِيْدُ الصِّيَامَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ لِيَشْرَبَ مِنْهُ فَيَسْمَعُ النِّدَاءَ قَالَ جَابِرٌ كُنَّا نَحَدَّثُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيَشْرَبُ
“Saya bertanya kepada Jabir tentang seseorang hendak berpuasa dan bejana di tangannya untuk ia minum kemudian ia mendengar adzan. Berkata Jabir , ‘ Kami diceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkata , ‘ Iya , minumlah. ’ . .”
Saya berkata , “ Ibnu Lahi’ah dha’iful hadits. ”
  • Hadits Bilal, beliau berkata ,
أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أُوْذِنُهُ بِالصَّلاَةِ وَهُوَ يُرِيْدُ الصِّيَامَ فَدَعَا بِقَدَحٍ فَشَرِبَ ثُمَّ نَاوَلَنِيْ فَشَرِبْتُ ثُمَّ خَرَجْنَا إِلَى الصَّلاَةِ
“Saya datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam memanggil beliau untukshalat shubuh dan (ketika itu) beliau hendak berpuasa, maka ia meminta bejana lalu minum kemudian beliau memberikan bejana itu kepadaku kemudian saya minum lalu kami keluar untuk shalat.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad 6/12, Ibnu Jarîr 2/181, Ath-Thabarany 1/355 no. 1082-1083, Asy-Syasyi dalam Musnad -nya 2/368 no. 972-974 , dan Adz-Dzahaby dalamMizanul I’tidal 4/483. Semuanya dari jalan Abu Ishaq , dari ‘Abdillah bin Ma’qil , dari Bilal.
Saya berkata , “ Abu Ishaq As-Sabi’iy seorang mudallis dan meriwayatkan hadits ini dengan kata ‘an (dari), maka haditsnya tidak boleh diterima apalagi ada keanehan (asing) dalam sanadnya, sehingga Adz-Dzahaby berkata , ‘Gharîbun jiddan (aneh sekali).’ Ucapan beliau ini menunjukkan bahwa hadits tersebut tidak bisa dijadikan pendukung. Wallahu A’lam.”
  • Diriwayatkan oleh Imam Al-Bazzar , sebagaimana dalam Kasyful Astar no. 993 , dari jalan Muthî’ bin Rasyid , dari Taubah Al-‘Anbary , dari Anas bin Malikradhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda ,
انْظُرْ مَنْ فِي الْمَسْجِدِ فَادْعُهُ فَدَخَلْتُ يَعْنِيْ الْمَسْجِدَ فَإِذَا أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ فَدَعَوْتُهُمَا فَأَتََيْتُهُ بِشَيْءٍ فَوَضَعْتُهُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَأَكَلَ وَأَكَلُوْا ثُمَّ خَرَجُوْا فَصَلَّى بِهِمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الغَدَاةِ
“Lihatlah siapa yang ada di masjid kemudian panggillah ia, ” maka saya (Anas bin Malik) masuk (masjid) ternyata ada Abu Bakr dan ‘Umar maka saya pun memanggil mereka berdua, kemudian saya membawakan sesuatu kepada Nabi lalu saya letakkan di depannya lalu beliau makan dan mereka pun makan, kemudian mereka keluar lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam shalat Shubuh mengimami mereka.”
Hadits ini dikeluarkan juga dengan matan yang lebih ringkas oleh Ibnu Abi Syaibah dalanMusnad -nya sebagaimana dalam Al-Mathalib Al-‘Aliyah 3/248-249 no. 1104 dan sanadnya hasan sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Haitsamy dalam Majma’ Az-Zawaid 3/152. Lihat juga Silsilah Ahadits Ash-Shahîhah 3/383.
Tapi hadits ini tidak bisa dijadikan syahid (pendukung) untuk hadits di atas karena tidak tegas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam makan sahur dalam keadaan telah adzan sementara bejana masih berada di tangan beliau, tetapi hadits ini hanya menunjukkan bahwa kalau makan sahur, beliau akhirkan sehingga mendekati waktu shubuh. Dan hadits yang menunjukkan disunnahkannya mengakhirkan sahur itu sangat banyak dan kita tidaklah terlalu sulit untuk mendapatkan hadits-hadits seperti ini, di antaranya hadits Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim ,
تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلاَةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا قَالَ خَمْسِيْنَ آيَةٍ
“Kami bersahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam kemudian kami berdiri untuk shalat. Saya (Anas bin Malik) berkata , ‘ Berapa jarak antara keduanya (antara sahur dan adzan)? ’ Ia menjawab , ‘ Lima puluh ayat. ’ .”
  • Diriwayatkan oleh Abu Daud Ath-Thayalisy dalam Musnad -nya no. 1898 , beliau berkata , “Menceritakan kepada kami Qais bin Ar-Rabi’ , dari Zuhair bin Abi Tsabit Al-A’ma , dari Tamim bin ‘Iyadh , dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu ,
كَانَ عَلْقَمَةُ بْنُ عَلاَثَةَ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَ بِلاَلٌ يُؤًذِّنُ بِالصَّلاَةِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ رُوَيْدًا يَا بِلاَلُ يَتَسَحَّرُ عَلْقَمْةُ وَهُوَ يَتَسَحَّرُ بِرَأْسٍ
“Adalah ‘Alqamah bin ‘Ulatsah berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam maka datanglah Bilal memberitahukan tentang adzan shalat maka beliau bersabda , ‘ Pelan-pelan, wahai Bilal, Alqamah sedang makan sahur. ’ .” Berkata Ibnu ‘Umar, “Ia makan sahur dengan kepala.” .”
Saya berkata , “Qais bin Ar-Rabi’ yang terdapat di dalam sanadnya adalah rawi yang lemah haditsnya, hal ini bisa disimpulkan oleh orang yang membaca biografinya. Adapun Tamim bin ‘Iyadh, saya tidak menemukan biografinya. Wallahu A’lam.”
Kesimpulan
Lafazh hadits di atas menurut kaidah ilmu hadits bisa dianggap sebagai hadits hasan lighairihi, tetapi masih ada keraguan tentang hadits ini karena menyelisihi beberapa nash dalil yang jelas , di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” [ Al-Baqarah: 187 ]
Juga hadits Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
إِنَّ بِلاَلاً يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى تَسْمَعُوْا تَأْذِيْنَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُوْمٍ
“Sesungguhnya Bilal adzan pada malam hari, maka makanlah dan minumlah kalian sampai kalian mendengar adzan Ibnu Ummi Maktûm.” Muttafaqun ‘alaih .
Maksud hadits ini bahwa adzan dalam syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam ada dua kali: adzan pertama dan adzan kedua. Ketika adzan pertama masih dibolehkan makan sahur, dan batasan terakhirnya sampai adzan kedua, yaitu adzan yang dikumandangkan untuk shalat Shubuh.
Andaikata hadits ini shahih, maka maknanya tidak bisa dipahami secara zhahir, tetapi dipahami sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Baihaqy dalam Sunan Al-Kubra4/218 bahwa yang diinginkan adalah ia boleh minum apabila diketahui bahwa muadzin tersebut adzan sebelum terbitnya fajar shubuh, dan demikianlah menurut pendapat kebanyakan para ulama. Wallahu A’lam.
5. Hadits Kelima
مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ فِيْ غَيْرِ رُخْصَةٍ رَخَّصَهَا اللهُ وَفِيْ رِوَايَةٍ عُذْرٍ لَمْ يَقْضِ عَنْهُ صِيَامَ الدَّهْرِ
“Siapa yang berbuka satu hari dalam ramadhan tanpa rukhshah (keringanan) yang Allah jadikan sebagai rukhshah -dalam satu riwayat tanpa udzur- maka dia tidak mampu menggantinya walaupun berpuasa sepanjang masa.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud Ath-Thayalisy dalam Musnad -nya no. 2540, Ahmad 2/386, 442, 458, dan 470, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnad -nya 1/296-297 no. 273-275 dan 1/361 no. 367, Abu Daud no. 2396, Tirmidzy no. 723, Ibnu Majah no. 1672, An-Nasa`i dalam Al-Kubra 2/244-245 no. 3278-3283, Ad-Darimy dalam Sunan -nya no. 1713-1715, Ibnu Khuzaimah 3/238 no. 1987, Ad-Daraquthny 2/211 no. 29 dan dalam ‘Ilal-nya 8269-274, Al-Baihaqy 4/228 dan dalam Syu’abul Îman 3/318, Ibnu Hibban dalam Al-Majrûhîn 3/157, Al-Khatîb dalam Tarikh -nya 8/462, dan Ibnu Hajar dalam Taghlîq At-Ta’lîq 3/170. Semuanya dari jalan Abul Muthawwis, dari ayahnya, dari Abi Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.
Dalam sanadnya terdapat empat cacat:
  • Ada idhthirab (kegoncangan) pada Habîb bin Abi Tsabit dalam menyebutkan nama gurunya. Kadang ia mengatakan Abul Muthawwis dari ayahnya, kadangIbnul Muthawwis dari ayahnya, kadang Ibnul Muthawwis dari Al-Muthawwis, dan kadang dari Ibnu Abil Muthawwis dari ayahnya. Lihat ‘Ilal Ad-Daraquthny 8/266-269 dan Hasyiah Al-Jarh Wa At-Ta’dil 5/167-168 oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Yahya Al-Mu’allimy rahimahullah.
Tidak diragukan bahwa hal yang seperti ini merupakan idhthirab dalam sanad yang akan mengakibatkan lemahnya suatu hadits menurut para ulama ahli hadits.
Adapun riwayat Habîb bin Abi Tsabit, yang kadang meriwayatkan dari Abul Muthawwis secara langsung dan kadang dengan perantara ‘Umarah bin ‘Umair, hal tersebut tidaklah disebut idhthirab, bahkan keduanya adalah shahih sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Hatim dalam Al-‘Ilal 1/231-232 no. 674. Lihat juga ‘Ilal Ad-Daraquthny 8/266-269.
  • Tidak dikenalnya keadaan Abul Muthawwis.
Berkata Imam Abu ‘Isa (At-Tirmidzy) dalam Sunan -nya setelah menyebutkan hadits di atas, “Saya mendengar Muhammad (yakni Imam Al-Bukhary) berkata, ‘Abul Muthawwis namanya Yazid bin Muthawwis dan saya tidak mengetahuinya kecuali dalam hadits ini.’.”
Berkata Imam Ahmad, “Saya tidak mengenalnya dan saya tidak mengenal haditsnya dari selain ini.”
Berkata Imam Ibnu Khuzaimah dalam Shahih -nya, “Sesungguhnya saya tidak mengenal Ibnu Muthawwis dan tidak pula bapaknya selain dari Habîb bin Abi Tsabit yang telah menyebutkan bahwasanya dia bertemu dengan Abul Muthawwis.”
Berkata Imam Ibnu Hibban dalam Al-Majrûhîn 3/157, “(Dia adalah) seorang dari ahli Kufah meriwayatkan dari bapaknya, tidak ada yang mengikutinya, tidak boleh berhujjah dengannya jika dia bersendirian.”
Juga tidak ada Imam yang menganggapnya terpercaya, kecuali Imam Ibnu Ma’în dalam salah satu riwayat, yaitu riwayat Abu Bakar bin Abi Haitsamah, “Saya bertanya kepada Yahya Ibnu Ma’în tentang Abul Muthawwis yang meriwayatkan darinya Habîb bin Abi Tsabit, maka beliau menjawab, ‘Namanya ‘Abdullah bin Muthawwis, Dia itu Kufy tsiqah(terpercaya).’.” Lihat Al-Jarh Wat-Ta’dil 5/773 dan ‘Ilal Ad-Daraquthny 8/273.
Tapi yang nampak -Wallahu A’lam- Abul Muthawwis yang disebutkan oleh Ibnu Ma’in bukanlah Abul Muthawwis yang tersebut di dalam sanad hadits ini. Mungkin karena itu, Imam Adz-Dzahaby dalam Al-Kasyif memberikan isyarat dengan ucapannya wutstsiq(ada yang menganggapnya tsiqah). Kata wutstsiq digunakan oleh Imam Adz-Dzahaby bagi orang yang hanya di-tsiqah-kan oleh Ibnu Hibban, khususnya dalam kitabnya, Ats-Tsiqat , sementara Abul Muthawwis ini justru beliau sebutkan dalam Al-Majrûhîn . Hal ini menunjukkan bahwa beliau tidak menganggap (mengakui) perkataan Imam Ibnu Ma’in tersebut.
Demikian pula Ibnu Hajar, dalam Taqribut Tahdzib , berkata, “Abul Muthawwis (namanya) adalah Yazid dan ada yang menyatakan (namanya) ‘Abdullah bin Muthawwis, Layyinul hadits (lembek haditsnya).” Disini, Ibnu Hajar menggunakan kata qîla (ada yang mengatakan), menunjukkan bahwa pendapat yang mengatakan nama Abul Muthawwis adalah ‘Abdullah bin Muthawwis merupakan pendapat yang lemah. Wallahu A’lam.
  • Ayah Abul Muthawwis ini majhûl (tidak dikenal).
  • Ada inqitha’ (keterputusan) antara ayah Abul Muthawwis dengan Abu Hurairah. Berkata Imam Al-Bukhary dalam At-Tarikh Al-Kabir , “Abul Muthawwis bersendirian meriwayatkan hadits ini, dan saya tidak mengetahui apakah bapaknya mendengar dari Abi Hurairah atau tidak.” Lihat Fathul Bari 4/161 dan At-Tahdzib .
Maka sebagai kesimpulan hadits ini adalah hadits yang lemah. Wallahu A’lam.
Demikianlah jawaban kami atas pertanyaan tentang hadits-hadits tersebut.WallahuTa’alaA’lam.
Peringatan
Banyak orang yang menyebarluaskan bahwa hadits ini adalah riwayat Bukhary dalamShahih -nya. Ini adalah kesalahan yang sangat nyata karena Imam Al-Bukhary hanya meriwayatkannya secara mu’allaq (tidak menyebutkan sanadnya kepada rawi yang ia sandarkan hadits tersebut kepadanya) dan para ulama tidak menghitung (menganggap) apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary secara mu’allaq sebagai bagian dari Shahîh Al-Bukhary . Apalagi Imam Al-Bukhary meriwayatkan hadits ini dengan shighah tamridh, menunjukkan lemahnya riwayat tersebut menurut beliau. Wallahu A’lam.

sumber : http://an-nashihah.com/?p=39