Rabu, 29 Desember 2010

Membongkar Kebohongan Terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

[Studi Kritis Buku ‘Itiqad Ahlu Sunnah Wal-Jamaah” Oleh KH Sirajuddin Abbas]
Oleh
Abu Ubaidah Al-Atsariy

Siapa tidak mengenal nama lbnu Taimiyyah, seorang tokoh ulama yang telah berjuang untuk Islam dengan lidah dan pedangnya. Keharuman namanya semerbak dikenang generasi selanjutnya. Hampir-hampir sejarah Islam tidak pernah melupakan nama beliau sekaligus karangan-karangannya yang menyebar ke seluruh pelosok dunia.

Semua kalangan mengakui keilmuan beliau, baik kawan maupun lawan. Hal itu tidak lain kecuali disebabkan kecerdasan dan keenceran otaknya, keluasan ilmunya, kejeliannya dan kehebatannya, sehingga beliau mampu mengungguli para pembesar ulama lainnya. ini semua tidak dapat dipungkiri kecuali oleh segelintir manusia yang bodoh dan jahil. Mereka tidaklah berdiri di atas hujjah, melainkan hanya kerancuan, yang mereka sendiripun tidak mengetahui isi dan maksud perkataan mereka. Tetapi yang penting, mereka sebarkan dan tebarkan begitu saja dengan kejahilan dan kesesatan yang keterlaluan. Sungguh mereka amat jauh dari ilmu dan keadilan [1]

Memang sebagal tokoh ulama sepertinya sangatlah wajar bila mendapatkan tuduhan dan celaan, sebagaimana panutannya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang tabah menerima berbagai celaan di dalam menegakkan al-haq.

Syaikh Masyhur bin Hasan Salman mengatakan: “Para pencela Syaikhul Islam lbnu Taimiyyah sangat banyak sekali. Nenek moyang mereka sangatlah populer bagi orang yang mau membaca kitab-kitab para ulama kita. Dan bibit merekapun telah berkembang di sekitar kita sekarang ini. Mereka tidak membicarakan selain celaan kepada Ibnu Taimiyyah beserta orang-orang yang sejalan dengannya dari kalangan para sahabat, tabiin serta orang-orang yang berjalan di atas petunjuk mereka.

Sesungguhnya penyebab permusuhan yang mereka lancarkan hanyalah karena aqidah yang shahih. Yaitu, ketika mereka tidak sanggup berhadapan langsung dengan al-haq, merekapun mengganggap bahwa dengan mencela tokoh-tokoh pembela kebenaran lebih mudah untuk melunturkan al-haq itu sendiri.

Hal tersebut telah mereka lakukan dengan berbagai cara di setiap tempat dan kesempatan baik melalui pernyebaran kitab, tulisan, kedustaan maupun tuduhan” [2]

Salah satu contoh buku yang berisi tuduhan dan celaan terhadap syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah adalah buku “Aqidab Ahlus Sunnah Wal Jamaah” karya KH Sirajuddin Abbas [3]. Keberaniannya menuduh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sangat mengejutkan kita. Lebih mengejutkan lagi, penulis tersebut seringkali meminjam nama “Ahlus Sunnab Wal Jama’ah” bukan pada tempatnya, oleh karena itu sangatlah baik sekali sebelum memasuki pambahasan, kami kutipkan terlebih dahulu pengertian Ahlus Sunnah wal Jama’aah yang sebenarnya. Sebab banyak sekali orang maupun golongan mengakuinya padahal amalan-amalan mereka jelas bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Al-Imam Ibnu Hazm berkata dalam kitabnya “Al Fashl fil Milal Wa Nihal” 2/271: “Yang dimaksud Ahlus Sunnah adalab Ahlul haq dari kalangan para sahabat, dan setiap orang yang menempuh jalan mereka dari kalangan para tabi’in, ahlul hadits dan para fuqaha dari generasi ke generasi hingga pada zaman kita ini. Demikian pula orang-orang awam yang mengikuti mereka, baik di belahan timur maupun barat semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmati mereka semuanya”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berkata menerangkan definisi Ahlus Sunnah dalam Majmu’ Fatawa” 3/375 : “Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta apa yang menjadi kesepakatan para sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik”.

Beliau juga berkata dalam “Majmu’ Fatawa 3/346: “Barang siapa yang berkata dengan Al-Qur’an, As Sunnah dan ijma’ salaf maka dialah Ahlus Sunnah.”
Pada kesempatan ini kami akan mencoba menyingkap kedustaan-kedustaan yang terdapat dalam kitab “I’tiqod Ahlus Sunnah wal Jama’aah” karya KH. Sirajuddin Abbas hal 270-307 pada judul: Fatwa-fatwa Ibnu Taimiyah, yang bertentangan dengan fatwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah”.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi orang-orang yang berakal, orang-orang yang jauh dari sifat menolak kebenaran, dan jauh pula dari sifat yang dikisahkan Allah dalam kitab-Nya:

بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَآ ءَابَآءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى ءَاثَارِهِم مُّهْتَدُونَ

Bahkan mereka berkata sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk. [Az Zukhruf :22]

PASAL I
MADZHAB IBNU TAIMIYAH DALAM ISTIWA’
Hal 270 : “Ibnu Taimiyah menfatwakan bahwa Tuhan duduk bersila di atas arsy serupa dengan duduk bersilanya Ibnu Taimiyah sendiri, faham ini beberapa kali diulanginya di atas mimbar masjid Bani Umayah di Damsyik Syiria dan di Mesir”

Jawaban : “PenuIis fidak menerangkan sumber riwayatnya, sehingga kita bertanya-tanya: “Dari manakah penulis menukil perkataan itu?” Di kitab apa dan siapa pengarangnya?! Semua pertanyaan, itu selalu terngiang-ngiang di telinga kita yang tentunya membutuhkan jawaban.

Kami katakan: “Maha suci Allah dari apa yang dituduhkan!! Sesungguhnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sangat jauh dari tuduhan seperti ini. Bagaimana tidak? Perhatikanlah perkataan beliau berikut ini baik-baik! lalu bandingkan dengan tuduhan penulis ini. Beliau berkata: “Demikian juga apabila ada seorang yang menjadikan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala serupa dengan sifat makhluk-Nya, Seperti mengatakan istiwa’ Allah Subhanahu wa Ta'ala serupa dengan istiwa’ makhluk-Nva atau turunnya Allah Subhanahu wa Ta'ala serupa dengan turunnya makhluk, Maka orang ini mubtadi’ (ahli bid’ah), sesat dan menyesatkan. Karena Al Qur’an dan As-Sunnah serta akal menunjukkan bahwa Allah tidak serupa dengan makhluk-Nya dalam segala segi” [4]

Lihatlah wahai saudaraku alangkah jelasnya perkataan yang bagus ini!

Hal 270 : “Jadi Ibnu Taimiyyah boleh digolongan kaum Dhahiriyyah yaitu kaum yang mengartikan ayat.ayat Al Qur’an dan hadits nabi secara lahirnya saja”.

Jawaban : “Ya, boleh-boleh saja tuan golongkan lbnu Taimiyyah kepada kaum Dhahiriyyah. Tapi apakah Ibnu Taimiyyah salah dan sesat karena dia termasuk kaum Dhahiriyyah? jika tuan menyalahkan Ibnu Taimiyyah karena dia mengartikan ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah secara lahirnya saja, maka tuan juga harus menyalahkan ulama-ulama salaf pendahulu lbnu Taimiyyah yang telah sepakat mengartikan ayat-ayat dan hadits tentang sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala secara lahirnya. Kami nukilkan di sini dua penukilan saja:

1. Walid bin Muslim berkata: “Aku bertanya kepada Al-Auza’i, Malik bin Anas, Sufyan Ats-Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits masalah sifat? Mereka semuanya mengatakan kepadaku: “Jalankanlah sebagaimana datangnya tanpa tak’yif (menggambarkan bagaimananya/bentuknya)” [5]

2. Al Hafizh Ibnu Abdil Barr berkata: “Seluruh Ahlus Sunnah telah bersepakat untuk menetapkan sifat-sifat yang terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah serta mengartikannya secara dhahirnya. Tetapi mereka tidak menggambarkan bagaimananya/bentuknya sifat-sifat tersebut. Adapun Jahmiyyah, Mu’tazilah dan Khawarij mereka mengingkari sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala dan tidak mengartikannya secara dhahirnya. Lucunya mereka menyangka bahwa orang yang menetapkannya termasuk Musyabbih (kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk” [6]

Cukuplah dua nukilan ini saja, kalau kami turunkan seluruh perkataan salaf dalam masalah ini maka akan terlalu panjang. Inilah pendahulu lbnu Taimiyyah yaitu ulama-ulama salaf ahlu As Sunnah wal jamaah, lalu siapakah pendahulumu wahai tuan? Tunjukkan siapa Ahlus Sunnah yang tidak mengartikan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala secara dhahirnya!.

Hal, 271 : “Ulama-ulama salaf menyerahkan arti yang hakiki dari perkataan istiwa’ itu kepada Allah, memang dalam bahasa arab istiwa’ artinya duduk tetapi ayat-ayat sifat istiwa’ lebih baik dan lebih aman bagi kita, tidak diartikan, hanya diserahkan artinya kepada Tuhan sambil kita i’tiqadkan bahwa Tuhan tidak serupa dengan makhluk”.

Jawaban : Perkataan ini merupakan kedustaan dan kebohongan nyata atas nama ulama-ulama salaf, Siapa salaf yang mempunyai pemikiran seperti ini? Apakah mereka sahabat Rasulullah ? Apakah mereka para Tabi’in? Apakah mereka para ahli hadits seperti Bukhari, Muslim dan lainnya? Tidakkah tuan tahu jika pemikiran seperti ini adalah pemikiran kaum Mufawwidhah, kelompok ahlu bid’ah yang sangat keji? Pemikiran ini telah dibantah habis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

Beliau berkata: “Pendapat Tafwid ini merupakan celaan terhadap Al Qur’an dan para Nabi. Karena Allah menurunkan Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia, dan Allah juga memerintahkan para Rasul-Nya agar menyampaikan dan menerangkan wahyu, lantas tidak seorangpun mengetahui artinya?!. Lalu bagaimana seseorang akan merenungi Al-Quran yang diturunkan sebagai petunjuk?

Kalau pendapat ini diterima, maka setiap mubtadi’ (ahli bid’ah)akan bebas menyatakan bahwa kebenaran adalah apa yang diketahui pikiran dan akal kita masing-masing. Pemikiran ini merupakan penutup petunjuk ilahi dan pembuka pintu bagi para penyeleweng untuk mengatakan: “Sesungguhnya petunjuk itu ada pada jalan kami, bukan pada jalan para nabi, karena kami mengerti apa yang kami katakan sedangkan para nabi tidak mengerti apa yang mereka katakan”. Dan sini, jelaslah bahwa perkataan Ahlu tafwid (orang yang berfaham tafwid) yang mengaku mengikuti As-Sunnah dan salaf termasuk perkataan ahlu bid’ah yang sangat keji” [7]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menukil perkataan beliau ini dalam kitabnya “Al Qawaidul Al Mutsla fi Asma Al Husna” hal 43-44, lalu mengomentari sebagai berikut: “Ini merupakan perkataan yang sangat bagus sekali, keluar dari pikiran yang cerdas. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmatinya dengan seluas-luasnya serta mengumpulkan kita semua di surga-Nya”.

Hal 271 : “Ulama khalaf menta’wilkan kata istawa’ itu dengan istaula yakni menguasai atau memerintah”

Jawaban : Sungguh amat jauh penyimpangan penulis ini!!! Karena jelas-jelas bertentangan dengan pemahaman salafus shaleh. Kami tidak ingin memperpanjang bantahan syubhat ini, karena masih banyak lagi syubhat yang masih perlu dijawab.

Syaikhul Islam lbnu Taimiyyah telah membantah secara panjang lebar dalam “Maj’mu Fatawa” 5/144-149, demikian juga Ibnu Qayyim, muridnya, di dalam Mukhtashar Shawa’iqul Al Mursalah” hal 353-366. Kami cukupkan di sini dengan tiga point saja.

1. Penafsiran ini tidak dinukil dari kalangan salaf, baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in. Tidak ada seorangpun dari mereka yang menafsirkan seperti penafsiran ini, bahkan orang pertama kali yang menafsirkan istawa’ dengan istaula adalah sebagian kaum Jahmiyyah dan Mu’tazilah sebagaimana diceritakan oleh Abul Hasan Al-Asy’ari dalam bukunya “Al Maqalat” dan Al Ibanah” [8]

2. Sesungguhnya menafsirkan kitab Allah dengan penafsiran yang baru dan menyelisihi penafsiran Salaf As shaleh, mengharuskankan dua perkara, yaitu: entah dia yang salah, atau Salaf As-shaleh yang salah. Seorang yang berakal sehat tidak akan ragu bahwa penafsiran baru yang menyelisihi Salaf As-shaleh ini yang pasti salah [9].

3. Tidak ada di dalam bahasa arab kalau kata istawa’ berarti istaula, bahkan hal ini diingkari oleh pakar bahasa yaitu Ibnu ‘A’rabi [10]

Orang-orang yang menta’wil istawa’ dengan istaula tidak mempunyai hujah kecuali suatu bait syair terkenal [11]

ثُمَّ اسْتَوَى بِشْرٌ علَى الْعِرَاقِ مِنْ غَيْرِ سَيْفٍ وَلاَ دَمٍ مُهْرَاقٍ

“Kemudian Bisyr menguasai Irak tanpa pedang dan tanpa pertumpahan darah”

Padahal tidak ada penukilan yang sangat jelas bahwa bait ini termasuk bait syair arab. Oleh karena itu para pakar bahasa mengingkari bait ini seraya mengatakan: “Ini adalah bait yang dibuat-buat, tidak dijumpai dalam bahasa”.

Bukankah kalau seorang hendak berhujjah dengan hadits, ia harus mengetahui lebih dahulu keabsahan hadits tersebut? Maka bagaimana dengan bait syair yang tidak diketahui sanadnya ini !!! [12]

Hal, 271 : “Karena itu Ibnu Taimiyyah bukanlah pengikut ulama’-ulama salaf dan juga ulama’-ulama’ khalaf, ini harus dicamkan benar-benar. Karena di Indonesia terdengar desus-desus bahwa Ibnu Taimiyyyah itu pengikut faham salaf”

Jawaban : Ya, kalau arti salaf seperti arti salafnya tuan, maka benar. Karena antara Syeikhul Islam dengan orang-orang seperti tuan amat jauh sekali! Tetapi, jika maksud salaf adalah mereka yang mengikuti manhaj Rasullullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sahabatnya, para tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka kami katakan kepada tuan dengan bait syair:

أَئِمَّةُ شَأْنٍ كَالشُّمُوْسِ اشتِهَارُهُمْ فَمَا انْطَمَسُوْا إِلاَّ مَنْ بِهِ عُمِيَ

“Kemasyhuran para imam kebenaran itu seperti matahari
Tidaklah terhapuskan melainkan orang yang buta matanya”

Seorang penyair lain mengatakan:

وَهَبَنِي قُلْتَ أَنَّ الصُّبْحَ لَيْلٌ أَيَعْمَى الْمُبْصِرُوْنَ عَنِ الضِّيَاءِ

“Dia memberitahuku bahwa engkau mengatakan: “Sesungguhnya subuh adalah malam”.
Apakah orang-orang yang mempunyai penglihatan telah buta dari sinar?“

Terus terang saja, perkataan seperti ini sebenarnya tidaklah layak untuk ditangggapi. Karena sebagaimana kata penyair:

وَلَيْسَ يَصِحُّ فِي الْأذْهَانِ شَيْءٌ إِذَا احْتَاجَ النّهَارُ إِلَى دَلِيْلٍ

“Tidaklah masuk akal sedikitpun,
jika siang hari membutuhkan dalil (penunjuk jalan)”

Tetapi sebagai jawaban, cukuplah di sini disebutkan dua point saja:

1. Al-Hafidz Ad-Dzahaby berkata menyifati syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Beliau telah menolong sunnnah nabawiyyah, dan manhaj salaf, beliau juga berhujjah dengan hujjah yang sulit dicari tandingannya” [13]

2. Fatwa Lajnah Daimah (Komisi Fatwa Saudi) yang diketuai oleh Syeikh AI-Allamah Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, terhadap pertanyaan sebagai berikut: “Sebagian orang mengatakan bahwa lbnu Taimiyyah bukanlah termasuk Ahlus Sunnah wal jama’ah, sesat dan menyesatkan. Betulkah ini?”

Jawaban: “Sesungguhnya Syeikh Ahmad bin Abdul Halim lbnu Taimiyyyah termasuk imam di antara imam-imam Ahlus Sunnah wal jama’ah, berda’wah menuju kebenaran dan jalan yang lurus, dengannya Allah menolong As-Sunnah dan menghancurkan bid’ah. Barangsiapa menghukumi Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah bukan seperti di atas, maka dia adalah mubtadi’ (ahli bid’ah), sesat dan menyesatkan. Dia telah buta tentang sejarah Islam sehingga yang benar disangka bathil dan yang bathil disangka benar. Semua ini dapat diketahui bagi siapa yang Allah terangkan pandangannya, serta mau membaca buku-buku karangannya, lalu membandingkannya dengan kitab-kitab musuh-musuhnya” [14]

Wahai pembaca, camkanlah fatwa ini baik-baik karena di Indonesia terdengar desas-desus bahwa Ibnu Taimiyyah bukan pengikut Ahlus Sunnah wal jama’ah. Janganlah tertipu oleh mereka! karena sesungguhnya mereka berada di dalam penyimpangan dan kebatilan yang sangat jauh.

Hal. 274 : “Andai kata diterima faham Ibnu Taimiyyah, yang berpendapat bahwa tuhan itu bersila di atas Arsy, maka bagaimana lagi ayat al-Al Qur’an: “Allah bersama kalian dimanapun kalian berada” Faham lbnu Taimiyyah ini menimbulkan kesan seolah-olah tuhan itu dua atau yang satu duduk bersila di atas arsy’ dan yang lain berjalan-jalan bersama manusia, alangkah kelirunya faham ini”

Jawaban : Sungguh benar kata penyair:
وَعَيْنُ الرِّضَى عَنْ كُلِّ عَيْبٍ كَلِيْلَةٌ كَمَا أَنَّ عَيْنَ السُّخْطِ تُبْدِى الْمَسَاوِيَ
“Pandangan simpati menutup segala cacat,
Sebagaimana pandanganpun kebencian menampakkan segala kecacatan”

Bukankah pemikiran ini hanyalah muncul dari fikiran tuan belaka? Mengapa tuan begitu hasad terhadap Ibnu Taimiyyah? padahal lbnu Taimiyyah sangatlah jauh dari apa yang tuan bayangkan. Bahkan beliau berkata: “Janganlah seorang menyangka bahwa ayat-ayat Allah saling bertentangan. Seperti mengatakan: ”Ayat yang menerangkan bahwa Allah berada di atas arsy’ bertentangan dengan ayat: “Dan Dia bersama kalian di manapun kalian berada” atau selainnya. Maka ini merupakan kekeliruan.

Karena Allah bersama kita secara hakekat dan Allah juga berada diatas arsy’ secara hakekat pula. Sebagaimana Allah menggabungkan hal ini dalam firmanNya:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي اْلأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنزِلُ مِنَ السَّمَآءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, kemudian Dia bersemayam di atas atsy’. Dia mengetahui apa yang masuk pada bumi dan apa yang keluar darinya, dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik padanya. Dan Dia bersama kalian di mana saja kalian berada, Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [Al-Hadid:4]

Allah mengabarkan dalam ayat ini bahwasanya Dia berada di atas arsy’, mengetahui segala sesuatu, dan Dia-pun bersama kita di manapun kita berada. Inilah ma’na perkataan salaf: “Sesungguhnya Allah bersama hamba dengan ilmunya” [15]

PASAL 2
MADZHAB IBNU TAIMIYYAH TENTANG NUZUL
Setelah membawakan hadits tentang nuzul (turunnya Allah ke langit dunia), pada hal : 275. penulis berkata: “Ketika menerangkan hadits ini, Ibnu Taimiyyah mencobakan bagaimana turunnya tuhan dari langit, yaitu seperti ia turun dari mimbar”

Jawaban : Sebelum kita menjawab tuduhan ini, sangatlah baik sekali kita mengetahui terbih dahulu hadits nuzul tersebut

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ n قَالَ : يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَ تَعَالىَ كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ الأَخِيْرِ يَقُوْلُ: مَنْ يَدْعُوْنِي فَأَسْتَجِيْبَ لَهُ , مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرِ لِهُ

Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir, Dia berkata: “Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, akan Kukabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku, akan Kuberi, Dan siapa yang memohon ampun kepada-Ku, akan Kuampuni” [16]

Setelah kita mengetahui keabsahan hadits ini, maka kita jawab tuduhan penulis tersebut terhadap lbnu Taimiyyah, dengan bertanya kepadanya: “Dari manakah tuduhan ini? Dikitab apa ? Siapa yang menceritakannya? Siapa ulama’ yang mencatat kisah ini? Mana murid-muridnya? Siapa ahil sejarah yang mencatatnya?”

Barangkali penulis mengambil warisan danri nenek moyang pendusta yang bernama Ibnu Bathuthah yang telah dibongkar kedustaannya oleh para ahlu ilmu [17]. Kita cukupkan di sini dengan perkataan syeikhul Islam sendiri setelah membawakan hadits diatas: “Para salaf, para imam, dan para ahlu ilmu dan hadits telah bersepakat membenarkan dan menerima hadits ini. Barangsiapa yang berkata seperti perkataan rasul, maka dia benar. Tetapi barangsiapa yang memahami hadits ini atau hadits-hadits yang sejenisnya dengan pemahaman yang Allah suci darinya, seperti menyerupakanNya dengan sifat makhluq, dan menyifatiNya dengan kekurangan, maka dia telah salah. Oleh karena itu madzhab salaf meyakini dalam sifat ini dengan menetapkan sifat-sifat bagi Allah dan tidak menyerupakannya dengan makhluk. Karena Allah disifati dengan sifat-sifat terpuji dan suci dari penyerupaan dengan makhlukNya” [18]

Hal : 276 : “Sebagaimana dimaklumi dunia ini bundar, malam di suatu tempat, siang di tempat yang lain, kalau di Indonesia matahari sudah terbenam dan sudah malam maka di Makkah baru pukul dua belas siang. Kalau di lndonesia siang bolong umpamanya pukul sepuluh pagi, maka di Belanda betul-betul pukul dua malam. Dan begitulah seterusnya. Nah, kalau tuhan turun ke bawah pada sepertiga malam terakhir, sebagaimana turunnya Ibnu Taimiyah, maka pekerjaan tuhan hanya turun-turun saja setiap waktu bagi seluruh penduduk dunia. Karena waktu malam sepertiga malam terakhir bergantian di seluruh dunia, sedang tuhan hanya satu.”

Jawaban : Demikianlah jika seorang telah dimotori dengan akal, mengapakah tuan menggambarkan Allah sedemikian rupa? Mengapakah tuan tidak pasrah terhadap hadist Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam yang yang shahih? Bukankah Allah berfirman:

فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Demi Rabbmu, tidaklah mereka beriman sehingga mereka menjadikanmu sebagai hakim dalam perkara-perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan terhadap hukummu, dan mereka pasrah dengan sebenar-benarnya. [An-Nisa’:65]

Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari imam Az-Zuhri, dia mengatakan: “Wahyu itu dari Allah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hanya menyampaikan, kewajiban kita hanya pasrah dan tunduk” [19]

Imam Ath-Thahawy berkata: “Tidaklah selamat seorang hamba dalam agamanya kecuali apabila dia tunduk dan pasrah terhadap Allah dan RasulNya n , dan mengembalikan segala kesamaran kepada yang Maha Mengetahui” [20].

Kewajiban kita dalam hadits-hadits seperti ini adalah:
1. Beriman terhadap nash-nash yang shahih.
2. Tidak bertanya bagaimana serta menggambarkannya, baik dalam fikiran, terlebih lagi dalam ungkapan. Karena hal itu termasuk berkata terhadap AIllah tanpa ilmu, sedangkan Allah tidak dapat dijangkau oleh fikiran.
3. Tidak menyerupakan sifatNya dengan sifat makhluk. Allah berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيءُُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa denganNya, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui [As-Syura:11]

Jika kita memahami kewajiban ini, maka tidak akan ada lagi kerancuan dalam hadits nuzul atau lainnya yang menerangkan sifat-sifat Allah. Yang penting, jika tiba sepertiga malam terakhir maka Rabb turun ke langit dunia, sebagaimana yang diberitakan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam [21]

Hal. 276 : “Yang benar, ialah tafsiran Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bahwa pintu rahmat tuhan lebih terbuka pada sepertiga malam terakhir, menurut waktu setempat, karena itu berdoalah pada waktu itu”

Jawaban : Inilah yang dinamakan ta’wil! sebuah ta’wil yang dibangun di atas hujjah anak-anak dan wanita, sebuah ta’wil yang telah dikikis bersih oleh Syeikhul Islam sendiri dalam ‘Majmu’ Fatawa” 5/415-517.

Tidak ada seorang sahabatpun yang menta’wil seperti ini... camkanlah baik-baik perkataan lbnu Taimiyyah berikut ini: “Sesungguhnya aku telah menelaah tafsir-tafsir yang dinukil dari kalangan sahabat dan apa yang mereka riwayatkan dari hadits-hadits nabi, dan aku telah membaca kitab-kitab, baik yang besar maupun kecil lebih dari seratus buku tafsir, akan tetapi sampai saat ini saya tidak mendapatkan seorangpun dari sahabat yang menta’wil satupun dari ayat-ayat sifat maupun hadits…” [22]

Cukuplah sebagai renungan kita bersama “Apakah rahmat Allah mampu untuk mengatakan: “Barangsiapa yang berdoa kepadaKu akan Kukabulkan, siapa yang meminta kepadaKu akan Kuberi”, sungguh amatlah mustahil sekali!! sekalipun bagi orang-orang yang bodoh.

Syeikh Al-‘Allamah Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz berkata membantah ta’wil-ta’wil seperti ini: “Ini merupakan kesalahan yang nyata sekali, bertentangan dengan nash-nash shahih yang menetapkan nuzul (turunnya) Allah. Pendapat yang benar, ialah pendapat salaf shaleh, yaitu meyakini turunnya Allah dan memahami riwayat itu sebagaimana datangnya, tanpa takyif (membagaimanakan), dan tanpa tamtsil (menyerupakan dengan makhluk). lnilah jalan yang paling benar, paling selamat, paling cocok, dan paling bijaksana. Pegangilah keyakinan ini dan gigitlah dengan gigi gerahammu serta berhati-hatilah dari keyakinan¬-keyakinan yang menyelisihi ini, Semoga engkau bahagia dan selamat” [23]

PASAL 3
MADZHAB IBNU TAIMIYYAH DALAM ZIARAH KUBUR
Hal, 274 : “Ibnu Taimiyyah mengharamkan orang yang ziarah ke makam nabi di Madinah, dan perjalanan itu (kalau dilakukan) dianggap ma’siat menurut Ibnu Taimiyyah”

Hal, 278 : “Walaupun kebanyakan umat Islam tidak mau mengikut, tapi sejarah Islam telah mencatat bahwa ada seorang ulama’ Islam di Damsyik pada abad 7H, yang mengharamkan ziarah ke makam nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu Ibnu Taimiyyah”

Jawaban: “Masalah ini bukanlah masalah baru, dan tuduhan ini bukanlah tuduhan yang baru pula, pada masa beliau sudah ada yang membuat kedustaan atas beliau dalam hal ini.

Agar tidak ada salah faham dalam maslah ini, maka hendaklah dicermati baik-baik. Kami katakan: “Sesungguhnya Syeikhul Islam lbnu Taimiyyah tidaklah mengharamkan ziarah kubur yang syar’i, baik kuburan Nabi n atau lainnya. Akan tetapi yang beliau larang adalah ziarah kubur bid’i (secara bid’ah), seperti mengadakan penjalanan dengan tujuan ziarah kubur, sebagaimana sering dilakukan banyak orang, terutama di Indonesia ini. Larangan itu berdasarkan hadits, bahwasanya Rasulullah n bersabda:

لاَ تُشَدُّ الرِّحَالِ إِلاَّ إلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَ مَسْجِدِي هَذَا وَ الْمَسْجِدِ الأَقْصَى

Janganlah mengadakan perjalanan kecuali menuju tiga masjid: Masjidil Haram, Masjidku ini(masjid Nabawi) dan masjidil Aqsha. [24]

Sesungguhnya orang yang mau membaca kitab-kitab Syeikhul Islam lbnu Taimyyah dengan adil dan jujur, niscaya ia akan mengetahui bahwa beliau sama sekali tidak mengharamkan ziarah kubur sebagaimana tuduhan penulis ini. Perhatikanlah perkataan beliau berikut ini baik-baik: “Telah aku jelaskan dalam kitabku tentang manasik haji, bahwa bepergian ke masjid Nabawi dan menziarahi kubur beliau – sebagaimana diterangkan imam kaum muslimin dalam manasik- merupakan amal shaleh yang dianjurkan…” Beliau juga berkata: “Barangsiapa yang bepergian ke Masjid Haram, Masjid Aqsha atau Masjid Nabawi, kemudian shalat di masjidnya, lalu menziarahi kubur beliau sebagaimana Sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam maka ini merupakan amal shaleh. Barangsiapa mengingkari safar seperti ini, maka dia kafir diminta taubat, jika bertaubat itulah yang diharapkan. Jika tidak maka dibunuh.

Adapun seseorang yang melakukan perjalanan hanya untuk ziarah kubur semata, sehingga apabila sampai di Madinah, ia tidak shalat di masjidnya, tetapi hanya untuk ziarah kubur nabi n lalu pulang, maka orang ini mubtadi’ (ahli bid’ah) yang sesat, dan menyesatkan karena menyelisihi Sunnah Rasulullah, ijma’ salaf dan para ulama’ umat ini” [25]

Barangsiapa yang membaca kitab “Ar Raddu ‘ala Al-Akhna’i” dan “Al-Jawabul Al-Baahir Liman Sa’ala ‘an Ziyaratil Kubur” karya Ibnu Taimiyyah, ia akan yakin dengan apa yang kami uraikan.

Hal ini dikuatkan oleh murid-murid beliau di antaranya.
1. Al-Hafidz Ibnu Abdil Hadi, beliau berkata dalam ‘As Sharim Al-Munky” Hal; 15: “Hendaklah diketahui, sebelum membantah orang ini (as-Subkiy) bahwasanya Syeikhul Islam lbnu Taimiyyah tidaklah mengharamkam ziarah kubur yang syar’i dalam kitab-kitabnya. Bahkan beliau sangat menganjurkannya. Karangan-karanganya serta manasik hajinya adalah bukti atas apa yang saya katakan”

2. Al-Hafidz lbnu Katsir, beliau berkata dalam “Al Bidayah Wa An-Nihayah” 14/123: “Dan Syeikh lbnu Taimiyyah tidaklah melarang ziarah kubur yang bersih dari kebid’ahan, seperti bepergian/safar untuk ziarah kubur. Bahkan beliau mengatakan sunnahnya ziarah kubur, kitab-kitabnya dan manasik-manasik hajinya adalah bukti hal itu, beliau juga tidak pernah mengatakan haramnya ziarah kubur dalam fatwa-fatwanya, beliau juga tidak jahil dengan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Ziarahlah karena hal itu dapat mengingatkan kalian dengan akherat”. Tetapi yang beliau larang adalah bepergian/safar untuk ziarah. Jadi ziarah kubur itu suatu masalah dan bepergian dalam rangka ziarah kubur itu masalah lain lagi”

Sebagai penutup pembahasan ini kami kutipkan pula perkataan Al-‘Allamah Al-Muhaddits Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, beliau berkata dalam “Silsilah Ahadits adh-Dhaifah” 1/124, no: 47: “Perhatian: Banyak orang menyangka bahwa Syeikhul Islam Ibnu Iaimiyyah dan orang-orang yang sejalan dengannya di kalangan salafiyin melarang ziarah kubur nabi. Ini merupakan kedustaan dan tuduhan palsu. Tuduhan seperti ini bukanlah perkara yang baru. Orang yang mau menelaah kitab-kitab lbnu Taimiyyah akan mengetahui bahwa beliau mengatakan disyariatkannya ziarah kubur nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan syarat tidak diiringi dengan kemungkaran-kemungkaran dan kebid’ahan-kebid’ahan seperti bepergian/safar ke sana, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Janganlah mengadakan perjalanan kecuali ke tiga masjid”

Yang dikecualikan dalam hadits ini bukanlah masjid saja sebagaimana persangkaan kebanyakan orang, tetapi setiap tempat yang dijadikan taqarrub kepada Allah, baik berupa masjid, kuburan, atau selainnya. Hal ini berdasarkan dalil yang diriwayatkan Abu Hurairah, ia berkata; “Aku berjumpa dengan Busyirah Ibnu Abi Basyrah Al-Ghifary, lalu dia bertanya kepadaku: “Dari mana kamu ? jawabku: “Dari bukit Thur”, Dia berkata; “Seandainya aku mengetahui sebelum kepergianmu ke sana, niscaya engkau tidak akan jadi pergi ke sana, aku mendengar Rasulullah bersabda: ‘Tidak boleh mengadakan perjalanan kecuali ke tiga masjid”

Ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa para sahabat memahami hadits ini dengan keumumannya. Hal ini juga dikuatkan dengan tidak adanya penukilan dari seorang sahabatpun bahwa mereka mengadakan perjalanan ke kuburan siapapun. Semoga Allah merahmati orang yang mengatakan:

وَكُلُّ خَيْرٍ فِي اتِّبَاعِ مَنْ سَلَفَ وَكُلُّ شَرٍّ فِي ابْتِدَاعِ مَنَ خَلَفَ
“Setiap kebaikan adalah dengan mengikuti kaum salaf.
Dan setiap kejelekan adalah dengan mengikuti kaum khalaf”

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun V/1422H/2001M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Lihat Dhawaabith Amar Ma’ruf Nahi Mungkar ‘Inda Syeikhil Islam Ibnu Taimiyah Hal.l6-17 OIeh Syeikh Ali bin Hasan. Al Ashalah cet I th. 1414H.
[2]. Kutub hadzara Minha Ulama’ 1/229-230, Daar As–Suma’i cet. I th. 1415H
[3]. Buku ini telah dicetak berulang kali, adapun buku rujukan kami dalam hal ini adalah terbitan Pustaka Tarbiyah, jakarta th. 1983M
[4]. Majmu’ Fatawa 5/252
[5]. Dikeluarkan Ash-Shabuni dalam “Aqidah Salaf”.no. 90, Imam Adz-Dzahabi dalam “Al’Uluw. 137 dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam “Mukhtashar” Hal. 142-14
[6]. Mukhtashar al-Uluw” Hal. 278-279
[7]. Dar'u Taarudil Aql Wan Naql I/201-205
[8]. Tapi lucunya mereka mengingkari keabsahan penisbatan dua kitab ini kepada Imam Al-Asy’ari dengan hujjah yang lebih lemah dari sarang laba-laba
[9]. Mukhtashar Shawa’iqul Mursalah” Hal. 353
[10]. Mukhtashar Al-Uluw” hal. 195-196
[11]. Seperti kitab ini juga pada hal. 273
[12]. Majmu' Fatawa 5/146
[13]. Dzail Thabaqat Hanabilah” 2/394
[14]. Fatawa Lajnah Daimah” 2/173
[15]. Aqidah Washitiyah” hal. 22-23.
[16]. HR. Bukhari No. 1145 dan Muslim No. 758
[17]. Lihat : Misalnya kitab “At-Tasfhiyah Wa Tarbiyah” Hal. 68-69 oleh Syeikh Ali bin Hasan dan kitab “Qashahshun laa tats-butu” 1/66-69 Oleh Syeikh Yusuf Ibnu Muhammad Atyq
[18]. Syarah Hadits Nuzul” Hal. 69-70
[19]. Fathul Baari” 13/512
[20]. Syarah Aqidah Thahawiyah” Hal. 199 Cet. Makhtab Islmay
[21]. Llihat. Majmu’ Fatawa Wa Maqalaat Syaikh Ibnu Utsaimin” 1/216
[22]. Majmu’ Fatawa” 6/394
[23]. Ta’liq ‘Ala Fathil Baary” 3/30
[24]. HR. Bukhari No. 1189 dan Muslim No. 827
[25]. Majmu’ Fatawa” 26/329-344

DAHSYATNYA SAKARATUL MAUT

Allah subhanahu wata’ala dengan sifat rahmah-Nya yang sempurna, senantiasa memberikan berbagai peringatan dan pelajaran, agar para hamba-Nya yang berbuat kemaksiatan dan kezhaliman bersegera meninggalkannya dan kembali ke jalan Allah subhanahu wata’ala.
Sementara hamba-hamba Allah subhanahu wata’ala yang beriman akan bertambah sempurna keimanannya dengan peringatan dan pelajaran tersebut.
Namun, berbagai peringatan dan pelajaran, baik berupa ayat-ayat kauniyah maupun syar’iyah tadi tidak akan bermanfaat kecuali bagi orang-orang yang beriman.
Allah subhanahu wata’ala berfiman (yang artinya):
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (Adz-Dzariyat: 55)
Di antara sekian banyak peringatan dan pelajaran, yang paling berharga adalah tatkala seorang hamba dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan sakaratul maut yang menimpa saudaranya. Sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَيْسَ الْخَبَرُ كَالْمُعَايَنَةِ
“Tidaklah berita itu seperti melihat langsung.” (HR. At-Tirmidzi dari Abdullah bin Umarradhiyallahu ‘anhu. Lihat Ash-Shahihah no. 135)
Tatkala ajal seorang hamba telah sampai pada waktu yang telah Allah subhanahu wata’ala tentukan, dengan sebab yang Allah subhanahu wata’ala takdirkan, pasti dia akan merasakan dahsyat, ngeri, dan sakit yang luar biasa karena sakaratul maut, kecuali para hamba-Nya yang Allah subhanahu wata’ala istimewakan. Mereka tidak akan merasakan sakaratul maut kecuali sangat ringan. Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala (yang artinya):
“Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya.” (Qaf: 19)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ إِلَهَ إِلاَ اللهُ، إِنَّ لِلْمَوْتِ سَكَرَاتٍ
“Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah. Sesungguhnya kematian ada masa sekaratnya.” (HR. Al-Bukhari)
Allah subhanahu wata’ala dengan rahmah-Nya telah memberitahukan sebagian gambaran sakaratul maut yang akan dirasakan setiap orang, sebagaimana diadakan firman-Nya (yang artinya):
“Maka mengapa ketika nyawa sampai di tenggorokan, padahal kamu ketika itu melihat, sedangkan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat, maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah )? Kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar?” (Al-Waqi’ah: 83-87)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya), ‘Maka ketika nyawa sampai di tenggorokan.’ Hal itu terjadi tatkala sudah dekat waktu dicabutnya.
‘Padahal kamu ketika itu melihat’, dan menyaksikan apa yang ia rasakan karena sakaratul maut itu.
‘Sedangkan Kami (para malaikat) lebih dekat terhadapnya (orang yang akan meninggal tersebut) daripada kamu, tetapi kamu tidak melihat mereka (para malaikat).’ Maka Allah subhanahu wata’ala menyatakan: Bila kalian tidak menginginkannya, mengapa kalian tidak mengembalikan ruh itu tatkala sudah sampai di tenggorokan dan menempatkannya (kembali) di dalam jasadnya?” (Lihat Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, 4/99-100)
Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya):
“Sekali-kali jangan. Apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke tenggorokan, dan dikatakan (kepadanya): ‘Siapakah yang dapat menyembuhkan?’, dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan (dengan dunia), dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan), kepada Rabbmu lah pada hari itu kamu dihalau.” (Al-Qiyamah: 26-30)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ini adalah berita dari Allah subhanahu wata’ala tentang keadaan orang yang sekarat dan tentang apa yang dia rasakan berupa kengerian serta rasa sakit yang dahsyat (mudah-mudahan Allah subhanahu wata’ala meneguhkan kita dengan ucapan yang teguh, yaitu kalimat tauhid di dunia dan akhirat). Allah subhanahu wata’ala mengabarkan bahwasanya ruh akan dicabut dari jasadnya, hingga tatkala sampai di tenggorokan, ia meminta tabib yang bisa mengobatinya. Siapa yang bisa meruqyah? (Lihat Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim)
Kemudian, keadaan yang dahsyat dan ngeri tersebut disusul oleh keadaan yang lebih dahsyat dan lebih ngeri berikutnya (kecuali bagi orang yang dirahmati Allah subhanahu wata’ala). Kedua betisnya bertautan, lalu meninggal dunia. Kemudian dibungkus dengan kain kafan (setelah dimandikan). Mulailah manusia mempersiapkan penguburan jasadnya, sedangkan para malaikat mempersiapkan ruhnya untuk dibawa ke langit.
Setiap orang yang beriman akan merasakan kengerian dan sakitnya sakaratul maut sesuai dengan kadar keimanan mereka. Sehingga para Nabi‘alaihimussalam adalah golongan yang paling dahsyat dan pedih tatkala menghadapi sakaratul maut, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ بَلاَءً اْلأَنْبِيَاءُ ثُمَّ اْلأَمْثَلُ فَاْلأَمْثَلُ، يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِيْنِهِ
“Sesungguhnya manusia yang berat cobaannya adalah para nabi, kemudian orang-orang yang semisalnya, kemudian yang semisalnya. Seseorang diuji sesuai kadar agamanya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2398 (2/64), dan Ibnu Majah no. 4023, dan yang selainnya. Lihat Ash-Shahihah no. 143)
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
فَلاَ أَكْرَهُ شِدَّةَ الْمَوْتِ ِلأَحَدٍ أَبَدًا بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Aku tidak takut (menyaksikan) dahsyatnya sakaratul maut pada seseorang setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam .” (HR. Al-Bukhari no. 4446)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Para ulama mengatakan bahwa bila sakaratul maut ini menimpa para nabi, para rasul ‘alaihimussalam, juga para wali dan orang-orang yang bertakwa, mengapa kita lupa? Mengapa kita tidak bersegera mempersiapkan diri untuk menghadapinya? Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya):
“Katakanlah: ‘Berita itu adalah berita yang besar, yang kamu berpaling darinya’.” (Shad: 67-68)
Apa yang terjadi pada para nabi ‘alaihimussalam berupa pedih dan rasa sakit menghadapi kematian, serta sakaratul maut, memiliki dua faedah:
1. Agar manusia mengetahui kadar sakitnya maut, meskipun hal itu adalah perkara yang tidak nampak. Terkadang, seseorang melihat ada orang yang meninggal tanpa adanya gerakan dan jeritan. Bahkan ia melihat sangat mudah ruhnya keluar. Alhasil, ia pun menyangka bahwa sakaratul maut itu urusan yang mudah. Padahal ia tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya dirasakan oleh orang yang mati. Maka, tatkala diceritakan tentang para nabi yang menghadapi sakit karena sakaratul maut -padahal mereka adalah orang-orang mulia di sisi Allah subhanahu wata’ala, dan Allah subhanahu wata’ala pula yang meringankan sakitnya sakaratul maut pada sebagian hamba-Nya- hal itu akan menunjukkan bahwa dahsyatnya sakaratul maut yang dirasakan dan dialami oleh mayit itu benar-benar terjadi -selain pada orang syahid yang terbunuh di medan jihad-, karena adanya berita dari para nabi ‘alaihimussalam tentang perkara tersebut. (At-Tadzkirah, hal. 25-26)
Al-Imam Al-Qurthubirahimahullah mengisyaratkan kepada hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
مَا يَجِدُ الشَّهِيدُ مِنْ مَشِّ الْقَتْلِ إِلاَّ كَمَا يَجِدُ أَحَدُكُمْ مِنْ مَشِّ الْقُرْصَةِ
“Orang yang mati syahid tidaklah mendapati sakitnya kematian kecuali seperti seseorang yang merasakan sakitnya cubitan atau sengatan.” (HR. At-Tirmidzi no. 1668)
Al-Imam Al-Qurthubirahimahullah melanjutkan:
2. Kadang-kadang terlintas di dalam benak sebagian orang, para nabi adalah orang-orang yang dicintai Allah subhanahu wata’ala. Bagaimana bisa mereka merasakan sakit dan pedihnya perkara ini? Padahal Allah subhanahu wata’ala Maha Kuasa untuk meringankan hal ini dari mereka, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala:
أَمَّا إِنَّا قَدْ هَوَّنَّا عَلَيْكَ
“Adapun Kami sungguh telah meringankannya atasmu.”
Maka jawabannya adalah:
إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ بَلاَءً فِي الدُّنْيَا اْلأَنْبِيَاءُ ثُمَّ اْلأَمْثَلُ فَاْلأَمْثَلُ
“Sesungguhnya orang yang paling dahsyat ujiannya di dunia adalah para nabi, kemudian yang seperti mereka, kemudian yang seperti mereka.” (Lihat Ash-Shahihah no. 143)
Maka Allah subhanahu wata’ala ingin menguji mereka untuk menyempurnakan keutamaan-keutamaan serta untuk meninggikan derajat mereka di sisi Allahsubhanahu wata’ala. Hal itu bukanlah kekurangan bagi mereka dan bukan pula azab. (At-Tadzkirah, hal. 25-26)
Malaikat yang Bertugas Mencabut Ruh
Allah subhanahu wata’ala dengan kekuasaan yang sempurna menciptakan malakul maut (malaikat pencabut nyawa) yang diberi tugas untuk mencabut ruh-ruh, dan dia memiliki para pembantu sebagaimana firman-Nya subhanahu wata’ala (yang artinya):
“Katakanlah: ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kamu’ kemudian hanya kepada Rabbmulah kamu akan dikembalikan.” (As-Sajdah: 11)
Asy-Syaikh Abdullah bin ‘Utsman Adz-Dzamari hafizahullah berkata: “Malakul maut adalah satu malaikat yang Allah subhanahu wata’ala beri tugas untuk mencabut arwah para hamba-Nya. Namun tidak ada dalil yang shahih yang menunjukkan bahwa nama malaikat itu adalah Izrail. Nama ini tidak ada dalam Kitab Allah subhanahu wata’ala, juga tidak ada di dalam Hadits-hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah subhanahu wata’ala hanya menamainya malakul maut, sebagaimana firman-Nya (yang artinya):. Allah subhanahu wata’ala hanya menamainya malakul maut, sebagaimana firman-Nya (yang artinya):
“Katakanlah: ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu’.” (As-Sajdah: 11)
Ibnu Abil Izzi Al-Hanafi rahimahullah berkata: “Ayat ini tidak bertentangan dengan firman Allah subhanahu wata’ala (yang artinya):
“Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya. Kemudian mereka (hamba Allah) dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya. Ketahuilah, bahwa segala hukum (pada hari itu) kepunyaan-Nya. Dan Dialah Pembuat perhitungan yang paling cepat.” (Al-An’am: 61-62)
Karena malakul maut yang bertugas mencabut ruh dan mengeluarkan dari jasadnya, sementara para malaikat rahmat atau para malaikat azab (yang membantunya) yang bertugas membawa ruh tersebut setelah keluar dari jasad. Semua ini terjadi dengan takdir dan perintah Allah subhanahu wata’ala, (maka penyandaran itu sesuai dengan makna dan wewenangnya).” (Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, hal. 602)
Wallahu a’lam bish showab.
Sumber: http://asysyariah.com/print.php?id_online=807

Senin, 20 Desember 2010

KUN-YAH

K U N - Y A H


Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat



Kun-yah adalah setiap nama yang dimulai baik dalam sebutan panggilan atau tuisan dengan Abu Fulan atau Abu Fulanah bagi laki-laki. Contohnya seperti : Abu Abdillah (dari nama Abdullah), Abu Unaisah (kun-yahnya penulis). Dn Ummu Fulan atau Ummu Fulanah bagi perempuan. Contoh seperti : Ummu Abdillah atau Ummu Unaisah.

Kun-yah merupakan sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah ditinggalkan oleh sebagian kaum muslimin khususnya di negeri kita ini. Dan kun-yah juga merupakan kemuliaan bagi orang yang dikun-yahkan [1]. Kun-yah merupakan kebiasaan kaum muslimin dan warisan yang turun temurun dari zaman ke zaman sampai mereka meninngalkannya. Demikian seriusnya perhatian ulama terhadap masalah kun-yah sehingga kalau kita membaca kitab-kitab rijalul hadits, kita akan dapati bab kun-yah tersendiri. Bahkan sebagian ulama memerlukan menyusun kitab khusus berbicara tentang masalah kun-yahnya para perawi hadits. Seperti Imam Muslim dengan kitabnya Al-Kuna wal Asma dan Imam Ad-Dulabiy dengan kitabnya Kitabul kuna wal Asma.

Tentang sunahnya berkun-yah ini sangat luas sekali diantaranya.

Pertama : Bolehnya seorang itu berkun-yah meskipun dia belum menikah yang dengan sendirinya belum mempunyai anak. Seperti Anas bin Malik dikun-yahkan dengan Abu Hamzah atau Abu Hurairah yang namanya Abdurrahman dikun-yahkan dengan Abu Hurairah padahal keduanya belum menikah.

Kedua : Atau seorang yang telah menikah akan tetapi belum mempunyai anak atau tidak mempunyai anak sama seperti Aisyah dikun-yahkan dengan Ummu Abdillah. Padahal Aisyah tidak mempunyai anak dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dia dikun-yahkan dengan nama kemenakannya yaitu Abdullah bin Zubair anak Asma bin Abi Bakar Ash-Shidiq. [2]

Ketiga : Bolehnya seorang berkun-yah dengan yang bukan dengan nama anak-anaknya seperti Abu Bakar. Padahal dia tidak mempunyai anak yang bernama Bakar. Dan Umar dikun-yahkan dengan Abu Hafs padahal dia tidak mempunyai anak yang bernama Hafs. Dan lain-lain shahabat banyak sekali.

Keempat : Boleh memberi kun-yah kepada anak yang masih kecil berdasarkan riwayat shahih dibawah ini.

"Artinya : Dari Anas, dia berkata : Adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam orang yang paling baik akhlaknya. Dan aku mempunyai saudara laki-laki yang dipanggil (dikun-yahkan) dengan Abu Umair -dan dia sudah disapih-. Dan beliau apabila datang (yakni ke rumah Anas) berkata, Ya, Aba Umair, apa yang telah diperbuat oleh Nughair?"

"Berkata Anas, Nughair yang dipakai bermain oleh Abu Umair".

Dikeluarkan oleh Bukhari (no. 6129, 6203) di kitab Shahihnya dan dikitabnya Adabul Mufrad (no. 847), Muslim (6/177), Abu Dawud (no. 4969), Tirmidzi (333, 1990) dan Ibnu Majah (no. 3720) dan lain-lain.

Hadits yang mulia ini memberi fawaa-id yang demikian banyak dengan mengumpulkan seluruh jalannya dan lafadz-lafadznya sampai enam puluh faedah sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar di Al-Fath (no. 6203) di antaranya ialah bolehnya memberi kun-yah kepada anak-anak yang masih kecil sebagaimana Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberi kun-yah kepada saudara Anas yang masih kecil dengan Abu Umair. [3]

Kelima : Bolehnya memberi kun-yah kepada seseorang dengan sesuatu yang ada pada orang tersebut. Seperti Ali bin Abi Thalib dikunyah-kan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan Abu Turab (yang artinya bapak tanah). Kejadiannya ketika Ali sedang tidur di masjid punggungnya ketutupan tanah, lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membangunkannya sambil berkata, Ya, Aba Turab bangunnlah! [4]

Keenam : Bolehnya seseorang mempunyai lebih dari satu kun-yah seperti Ali, selain dikun-yahkan dengan Abu Turab, dia pun dikun-yahkan dengan Abu Hasan mengambil nama anaknya yang pertama yaitu Hasan.

Ketujuh : Bolehnya berkun-yah dengan anak laki-laki atau anak perempuan.

Kedelapan : Bolehnya berkun-yah bukan dengan nama anak tertua, akan tetapi yang telah maklum berkun-yah dengan anak tertua mengambil perbuatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau berkun-yah dengan anak tertua beliau yaitu Abul Qasim. Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Hani, Maka (kun-yah)mu adalah Abu Syuraih. Mengambil anak tertua Hani, yaitu Syuraih.

Kesembilan : Lantaran berkun-yah merupakan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan kemuliaan atau penghormatan kepada orang yang dikun-yahkan, maka tidak ada kun-yah bagi orang kafir karena tidak ada kemuliaan dan kehormatan bagi mereka kecuali mereka tidak dikenal melainkan dengan kun-yahnya.

Kesepuluh : Telah berselisih para Ulama tentang hukum berkunyah dengan kun-yah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sesudah terjadi kesepakatan (ijma') di antara mereka tentang Sunnahnya memberi nama dengan nama beliau yaitu Muhammad atau Ahmad. Barangkali yang lebih mendekati kebenaran -wallahu a'lam- illat (sebab) larangan beliau terbatas dimasa hidup beliau agar tidak terjadi kesamaran di waktu berbicara atau memanggil. Ketika beliau telah wafat maka dengan sendirinya illat tersebut pun hilang. Lebih lanjut bacalah masalah ini di Fat-hul Baari (no. 6187 dan seterusnya)d dan di Tuhfatul Maudud bab 8 fasal 7.

Perhatian!
Patutlah seseorang jangan menghilangkan namanya lantaran dia berkun-yah kecuali dia telah masyhur dengan kun-yahnya sehingga namanya tidak dikenal atau hampir-hampir tidak dikenal seperti Abu Hurairah atau Abu Bakar.

[Disalin dari kitab Menanti Buah Hati Dan Hadiah Untuk Yang Dinanti, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qolam Jakarta, Cetakan I Th 1423H/2002M]
_________
Footnotes
[1]. Oleh karena itu tidak patut memberi kun-yah kepada orang-orang kafir karena tidak ada kemuliaan bagi mereka kecuali mereka telah masyhur dengan kun-yahnya.
[2]. Sunan Abi Dawud (no. 4970), Adabul Mufrad (no. 850, 851) oleh Imam Bukhari
[3]. Syarah Muslim Kitabul Adab oleh Imam An-Nawawi
[4]. Fat-hul Baari (no. 6204) Adabul Mufrad (852)

interaksi yang diperbolehkan dengan NON MUSLIM

Setelah kami membahas berkenaan dengan ucapan selamat natal, agar tidak disalahpahami, sekarang kami akan utarakan beberapa hal yang mestinya diketahui bahwa hal-hal ini tidak termasuk loyal (wala’) pada orang kafir. Dalam penjelasan kali ini akan dijelaskan bahwa ada sebagian bentuk muamalah dengan mereka yang hukumnya wajib, ada yang sunnah dan ada yang cuma sekedar dibolehkan.

Para pembaca -yang semoga dirahmati oleh Allah- kita harus mengetahui lebih dulu bahwa orang kafir itu ada empat macam:
  1. Kafir mu’ahid yaitu orang kafir yang tinggal di negeri mereka sendiri dan di antara mereka dan kaum muslimin memiliki perjanjian.
  2. Kafir dzimmi yaitu orang kafir yang tinggal di negeri kaum muslimin dan sebagai gantinya mereka mengeluarkan jizyah (semacam upeti) sebagai kompensasi perlindungan kaum muslimin terhadap mereka.
  3. Kafir musta’man yaitu orang kafir masuk ke negeri kaum muslimin dan diberi jaminan keamanan oleh penguasa muslim atau dari salah seorang muslim.
  4. Kafir harbi yaitu orang kafir selain tiga jenis di atas. Kaum muslimin disyari’atkan untuk memerangi orang kafir semacam ini sesuai dengan kemampuan mereka.[1]
Adapun bentuk interaksi dengan orang kafir (selain kafir harbi) yang diwajibkan adalah:
Pertama: Memberikan rasa aman kepada kafir dzimmi dan kafir musta’man selama ia berada di negeri kaum muslimin sampai ia kembali ke negerinya. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَعْلَمُونَ
Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.”(QS. At Taubah: 6)
Kedua: Berlaku adil dalam memutuskan hukum antara orang kafir dan kaum muslimin, jika mereka berada di tengah-tengah penerapan hukum Islam. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Maidah: 8)
Ketiga: Mendakwahi orang kafir untuk masuk Islam. Ini hukumnya fardhu kifayah, artinya jika sebagian sudah mendakwahi mereka maka yang lain gugur kewajibannya. Karena mendakwahi mereka berarti telah mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya. Hal ini bisa dilakukan dengan menjenguk mereka ketika sakit, sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menjenguk anak kecil yang beragama Yahudi untuk diajak masuk Islam. Akhirnya ia pun masuk Islam.
Dari Anas bin Malik –radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata, “Dulu pernah ada seorang anak kecil Yahudi yang mengabdi pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu suatu saat ia sakit. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjenguknya. Beliau duduk di dekat kepalanya, lalu beliau mengatakan, “Masuklah Islam.” Kemudian anak kecil itu melihat ayahnya yang berada di sisinya. Lalu ayahnya mengatakan, “Taatilah Abal Qosim (yaitu Rasulullah) –shallallahu ‘alaihi wa sallam-”. Akhirnya anak Yahudi tersebut masuk Islam. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari rumahnya dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan anak tersebut dari siksa neraka.[2]
Keempat: Diharamkan memaksa orang Yahudi, Nashrani dan kafir lainnya untuk masuk Islam. Karena Allah Ta’ala berfirman,
لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” (QS. Al Baqarah: 256). Ibnu Katsir mengatakan, “Janganlah memaksa seorang pun untuk masuk ke dalam Islam. Karena kebenaran Islam sudah begitu jelas dan gamblang. Oleh karenanya tidak perlu ada paksaan untuk memasuki Islam. Namun barangsiapa yang Allah beri hidayah untuk menerima Islam, hatinya semakin terbuka dan mendapatkan cahaya Islam, maka ia berarti telah memasuki Islam lewat petunjuk yang jelas. Akan tetapi, barangsiapa yang masih tetap Allah butakan hati, pendengaran dan penglihatannya, maka tidak perlu ia dipaksa-paksa untuk masuk Islam.”[3]
Cukup dengan sikap baik (ihsan) yang kita perbuat pada mereka membuat mereka tertarik pada Islam, tanpa harus dipaksa.
Kelima: Dilarang memukul atau membunuh orang kafir (selain kafir harbi). Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَتَلَ مُعَاهِدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
“Siapa yang membunuh kafir mu’ahid ia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.”[4]
Keenam: Tidak boleh bagi seorang muslim pun menipu orang kafir (selain kafir harbi) ketika melakukan transaksi jual beli, mengambil harta mereka tanpa jalan yang benar, dan wajib selalu memegang amanat di hadapan mereka. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
أَلاَ مَنْ ظَلَمَ مُعَاهِدًا أَوِ انْتَقَصَهُ أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ فَأَنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Ingatlah! Barangsiapa berlaku zholim terhadap kafir Mu’ahid, mengurangi haknya, membebani mereka beban (jizyah) di luar kemampuannya atau mengambil harta mereka tanpa keridhoan mereka, maka akulah nantinya yang akan sebagai hujah mematahkan orang semacam itu.”[5]
Ketujuh: Diharamkan seorang muslim menyakiti orang kafir (selain kafir harbi) dengan perkataan dan dilarang berdusta di hadapan mereka. Jadi seorang muslim dituntut untuk bertutur kata dan berakhlaq yang mulia dengan non muslim selama tidak menampakkan rasa cinta pada mereka. Allah Ta’ala berfirman,
وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا
Ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (QS. Al Baqarah: 83). Berkata yang baik di sini umum kepada siapa saja.
Kedelapan: Berbuat baik kepada tetangga yang kafir (selain kafir harbi) dan tidak mengganggu mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا زَالَ يُوصِينِى جِبْرِيلُ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
Jibril terus menerus memberi wasiat kepadaku mengenai tetangga sampai-sampai aku kira tetangga tersebut akan mendapat warisan.[6]
Kesembilan: Wajib membalas salam apabila diberi salam oleh orang kafir. Namun balasannya adalah wa ‘alaikum.[7] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَقُولُوا وَعَلَيْكُمْ
Jika salah seorang dari Ahlul Kitab mengucapkan salam pada kalian, maka balaslah: Wa ‘alaikum.[8]
Akan tetapi, kita dilarang memulai mengucapkan salam lebih dulu pada mereka. Alasannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى بِالسَّلاَمِ
Janganlah kalian mendahului Yahudi dan Nashrani dalam ucapan salam.[9]
Adapun bentuk interaksi dengan orang kafir (selain kafir harbi) yang dibolehkan dan dianjurkan adalah:
Pertama: Dibolehkan mempekerjakan orang kafir dalam pekerjaan atau proyek kaum muslimin selama tidak membahayakan kaum muslimin.
Kedua: Dianjurkan berbuat ihsan (baik) pada orang kafir yang membutuhkan seperti memberi sedekah kepada orang miskin di antara mereka atau menolong orang sakit di antara mereka. Hal ini berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فِى كُلِّ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ
Menolong orang sakit yang masih hidup akan mendapatkan ganjaran pahala.”[10]
Ketiga: Tetap menjalin hubungan dengan kerabat yang kafir (seperti orang tua dan saudara) dengan memberi hadiah atau menziarahi mereka. Sebagaimana dalilnya telah kami jelaskan di atas.
Keempat: Dibolehkan memberi hadiah pada orang  kafir agar membuat mereka tertarik untuk memeluk Islam, atau ingin mendakwahi mereka, atau ingin agar mereka tidak menyakiti kaum muslimin. Sebagaimana dalilnya telah kami jelaskan di atas.
Kelima: Dianjurkan bagi kaum muslimin untuk memuliakan orang kafir ketika mereka bertamu sebagaimana boleh bertamu pada orang kafir dan bukan maksud diundang. Namun jika seorang muslim diundang orang kafir dalam acara mereka, maka undangan tersebut tidak perlu dipenuhi karena ini bisa menimbulkan rasa cinta pada mereka.
Keenam: Boleh bermuamalah dengan orang kafir dalam urusan dunia seperti melakukan transaksi jual beli yang mubah dengan mereka atau mengambil ilmu dunia yang bernilai mubah yang mereka miliki (tanpa harus pergi ke negeri kafir).
Ketujuh: Diperbolehkan seorang pria muslim menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) selama wanita tersebut adalah wanita yang selalu menjaga kehormatannya serta tidak merusak agama si suami dan anak-anaknya. Sedangkan selain ahli kitab (seperti Hindu, Budha, Konghucu) haram untuk dinikahi. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.” (QS. Al Maidah: 5). Ingat, seorang pria muslim menikahi wanita ahli kitab hanyalah dibolehkan dan bukan diwajibkan atau dianjurkan.
Adapun wanita muslimah tidak boleh menikah dengan orang kafir mana pun baik ahlul kitab (Yahudi dan Nashrani) dan selain ahlul kitab karena Allah Ta’ala berfirman,
لا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
Mereka (wanita muslimah) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (QS. Al Mumtahanah: 10)
Kedelapan: Boleh bagi kaum muslimin meminta pertolongan pada orang kafir untuk menghalangi musuh yang akan memerangi kaum muslimin. Namun di sini dilakukan dengan dua syarat:
  1. Ini adalah keadaan darurat sehingga terpaksa meminta tolong pada orang kafir.
  2. Orang kafir tidak membuat bahaya dan makar pada kaum muslimin yang dibantu.
Kesembilan: Dibolehkan berobat dalam keadaan darurat ke negeri kafir.
Kesepuluh: Dibolehkan menyalurkan zakat kepada orang kafir yang ingin dilembutkan hatinya agar tertarik pada Islam, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, orang-orang yang ingin dibujuk hatinya.” (QS. At Taubah: 60)
Kesebelas: Dibolehkan menerima hadiah dari orang kafir selama tidak sampai timbul perendahan diri pada orang kafir atau wala’ (loyal pada mereka). Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menerima hadiah dari beberapa orang musyrik. Namun ingat, jika hadiah yang diberikan tersebut berkenaan dengan hari raya orang kafir, maka sudah sepantasnya tidak diterima.
***
Inti dari pembahasan ini adalah tidak selamanya berbuat baik pada orang kafir berarti harus loyal dengan mereka, bahkan tidak mesti sampai mengorbankan agama. Kita bisa berbuat baik dengan hal-hal yang dibolehkan bahkan dianjurkan atau diwajibkan sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas.
Semoga Allah selalu menunjuki kita pada jalan yang lurus. Hanya Allah yang beri taufik.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Muhammad Abduh Tuasikal



[1] Lihat Tahdzib Tashil Al ‘Aqidah Al Islamiyah, hal. 232-234.
[2] HR. Bukhari no. 1356.
[3] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 1/682, Dar Thoyyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H.
[4] HR. Bukhari no. 3166.
[5] HR. Abu Daud no. 3052. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat penjelasan hadits ini dalam Muroqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih, Al Mala ‘Ala Qori, 12/284, Mawqi’ Al Misykah Al Islamiyah.
[6] HR. Bukhari no. 6014 dan Muslim no. 2625, dari ‘Aisyah.
[7] Namun sebagian ulama menjelaskan bahwa jika ahlul kitab mengucapkan salamnya itu tegas “Assalamu’’alaikum”, maka jawabannya adalah tetap semisal dengannya yaitu: “Wa’alaikumus salam.” Alasannya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa).” (QS. An Nisa’: 86). Sebagaimana hal ini adalah pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin.
[8] HR. Bukhari no. 6258 dan Muslim no. 2163, dari Anas bin Malik.
[9] HR. Tirmidzi no. 1602 dan Ahmad (2/266). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[10] HR. Bukhari no. 2466 dan Muslim no. 2244.

hukum mengucapkan "SELAMAT HARI NATAL"

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat.
Sebagian orang beralasan bolehnya mengucapkan selamat natal pada orang nashrani karena dianggap sebagai bentuk ihsan (berbuat baik). Dalil yang mereka bawakan adalah firman Allah Ta’ala,
لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ [سورة الممتحنة:8].
Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah: 8). Inilah di antara alasan untuk melegalkan mengucapkan selamat natal pada orang nashrani. Mereka memang membawakan dalil, namun apakah pemahaman yang mereka utarakan itu membenarkan mengucapkan selamat natal?
Semoga Allah menolong kami untuk menyingkap tabir manakah yang benar dan manakah yang keliru. Hanya Allah yang beri pertolongan.
Sebab Turun Ayat
Untuk siapa sebab diturunkannya ayat di atas? Dalam hal ini ada beberapa pendapat di kalangan ahli tafsir[1]. Di antara pendapat tersebut adalah yang menyatakan bahwa ayat ini turun pada Asma’ binti Abi Bakr –radhiyallahu ‘anhuma-, di mana ibundanya –Qotilah binti ‘Abdil ‘Uzza- yang musyrik[2] dan ia diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tetap menjalin hubungan dengan ibunya. Ini adalah pendapat dari ‘Abdullah bin Az Zubair.[3]
Imam Bukhari membawakan Bab dalam kitab Shahihnya “Menjalin hubungan dengan orang tua yang musyrik”. Kemudian beliau membawakan riwayat berikut, Asma’ mengatakan,
أَتَتْنِى أُمِّى رَاغِبَةً فِى عَهْدِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - فَسَأَلْتُ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - آصِلُهَا قَالَ « نَعَمْ »
“Ibuku mendatangiku dan ia sangat ingin aku menyambung hubungan dengannya[4]. Kemudian aku menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bolehkah aku tetap menjalin hubungan dengannya? Beliau pun menjawab, “Iya boleh”.” Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan bahwa setelah itu Allah menurunkan firman-Nya (yang artinya), “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama” (QS. Al Mumtahanah: 8)”[5]
Makna Ayat
Ibnu Jarir Ath Thobari -rahimahullah- mengatakan, “Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik, menjalin hubungan dan berbuat adil dengan setiap orang dari agama lain yang tidak memerangi kalian dalam agama. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu”. Setiap orang yang mempunyai sifat dalam ayat ini patut bagi kita berlaku ihsan (baik) padanya. Tidak ada yang dispesialkan dari yang lainnya.”[6]
Ibnu Katsir -rahimahullah- menjelaskan, “Allah tidak melarang kalian berbuat ihsan (baik) terhadap orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin dalam agama dan juga tidak menolong mengeluarkan wanita dan orang-orang lemah, yaitu Allah tidak larang untuk berbuat baik dan berbuat adil kepada mereka. Karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil.”[7]
Loyal (Wala’) pada Orang Kafir itu Terlarang
Wala’ (loyal) tidaklah sama dengan berlaku ihsan (baik). Wala’ secara istilah bermakna menolong, memuliakan dan loyal dengan orang yang dicintai.[8] Sehingga wala’ (loyal) pada orang kafir akan menimbulkan rasa cinta dan kasih sayang dengan mereka dan agama yang mereka anut. Larangan loyal terhadap orang kafir ini sudah diajarkan oleh kekasih Allah –Nabi Ibrahim ‘alaihis salam- dan kita pun selaku umat Islam diperintahkan untuk mengikuti jalan beliau. Allah Ta’ala berfirman,
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَاء مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاء أَبَداً حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka : "Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja." (QS. Al Mumtahanah: 4)
Di samping ini adalah ajaran Nabi Ibrahim, larangan loyal (wala’) pada orang kafir juga termasuk ajaran Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah: 51)
Bahkan Ibnu Hazm telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa loyal (wala’) pada orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan.[9]
Perlu Dibedakan antara Ihsan (Berbuat Baik) dan Wala’ (Loyal)
Perlu kiranya dipahami bahwa birr atau ihsan (berbuat baik) itu jauh berbeda dengan wala’ (bersikap loyal). Ihsan adalah sesuatu yang dituntunkan. Ihsan itu diperbolehkan baik pada muslim maupun orang kafir. Sedangkan bersikap wala’ pada orang kafir tidak diperkenankan sama sekali.
Fakhruddin Ar Rozi -rahimahullah- mengatakan, “Allah tidak melarang kalian berbuat baik (birr) kepada mereka (orang kafir). Namun yang Allah larang bagi kalian adalah loyal (wala’) pada mereka. Inilah bentuk rahmat pada mereka, padahal ada permusuhan sengit dengan kaum muslimin. Para pakar tafsir menjelaskan bahwa boleh kaum muslimin berbuat baik (birr) dengan orang musyrik. Namun dalam hal loyal (wala’) pada mereka itu tidak dibolehkan.”[10]
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Berbuat baik, menyambung hubungan kerabat dan berbuat ihsan (terhadap non muslim) tidaklah melazimkan rasa cinta dan rasa sayang (yang terlarang) padanya. Sebagaiman rasa cinta yang terlarang ini disebutkan dalam firman Allah,
لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya” (QS. Al Mujadilah: 22). Ayat ini umum berlaku pada orang yang sedang memerangi dan orang yang tidak memerangi kaum muslimin. Wallahu a’lam.”[11]
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi menjelaskan dalam kitab tafsirnya, “Berbuat baik dan berlaku adil tidaklah melazimkan rasa cinta dan kasih sayang pada orang kafir. Seperti contohnya adalah seorang anak tetap berbakti dan berbuat baik pada orang tuanya yang kafir, namun ia tetap membenci agama yang orang tuanya anut. ”[12]
Contoh Berbuat Ihsan pada Non Muslim
Pertama: Memberi hadiah kepada saudara non muslim agar membuat ia tertarik pada Islam.
Dari Ibnu ‘Umar –radhiyallahu ‘anhuma-, beliau berkata, “’Umar pernah melihat pakaian yang dibeli seseorang lalu ia pun berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Belilah pakaian seperti ini, kenakanlah ia pada hari Jum’at dan ketika ada tamu yang mendatangimu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Sesungguhnya yang mengenakan pakaian semacam ini tidak akan mendapatkan bagian sedikit pun di akhirat.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan beberapa pakaian dan beliau pun memberikan sebagiannya pada ‘Umar. ‘Umar pun berkata, “Mengapa aku diperbolehkan memakainya sedangkan engkau tadi mengatakan bahwa mengenakan pakaian seperti ini tidak akan dapat bagian di akhirat?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku tidak mau mengenakan pakaian ini agar engkau bisa mengenakannya. Jika engkau tidak mau, maka engkau jual saja atau tetap mengenakannya.” Kemudian ‘Umar menyerahkan pakaian tersebut kepada saudaranya[13] di Makkah sebelum saudaranya tersebut masuk Islam.[14]
Kedua: Menjalin hubungan dan berbuat baik dengan orang tua dan kerabat non muslim.
Dari Asma’ binti Abu Bakr –radhiyallahu ‘anhuma-, ia berkata, “Ibuku mendatangiku, padahal ia seorang musyrik di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian aku ingin meminta nasehat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata, “Sesungguhnya ibuku mendatangiku, padahal ia sangat benci Islam. Apakah aku boleh tetap menyambung hubungan kerabat dengan ibuku?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya boleh. Silakan engkau tetap menjalin hubungan dengannya.”[15]
Allah melarang memutuskan silaturahmi dengan orang tua atau kerabat yang non muslim dan Allah tetap menuntunkan agar hak mereka sebagai kerabat dipenuhi walaupun mereka kafir. Jadi, kekafiran tidaklah memutuskan hak mereka sebagai kerabat. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15)
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ
Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi.” (QS. An Nisa: 1)
Jubair bin Muth’im berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ
Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan tali silaturahmi (dengan kerabat).[16]
Oleh karenanya, silaturahmi dengan kerabat tetaplah wajib, walaupun kerabat tersebut kafir. Jadi, orang yang mempunyai kewajiban memberi nafkah tetap memberi nafkah pada orang yang ditanggung walaupun itu non muslim. Karena memberi nafkah adalah bagian dari bentuk menjalin silaturahmi. Sedangkan dalam masalah waris tidak diperkenankan sama sekali. Karena seorang muslim tidaklah mewariskan hartanya pada orang kafir. Begitu pula sebaliknya. Karena warisan dibangun di atas sikap ingin menolong (nushroh) dan loyal (wala’).[17]
Ketiga: Berbuat baik kepada tetangga walaupun non muslim.
Al Bukhari membawakan sebuah bab dalam Adabul Mufrod dengan ”Bab Tetangga Yahudi”dan beliau membawakan riwayat berikut.
Mujahid berkata, "Saya pernah berada di sisi Abdullah ibnu 'Amru sedangkan pembantunya sedang memotong kambing. Dia lalu berkata,
ياَ غُلاَمُ! إِذَا فَرَغْتَ فَابْدَأْ بِجَارِنَا الْيَهُوْدِي
”Wahai pembantu! Jika anda telah selesai (menyembelihnya), maka bagilah dengan memulai dari tetangga Yahudi kita terlebih dahulu.” Lalu ada salah seorang yang berkata,
آليَهُوْدِي أَصْلَحَكَ اللهُ؟!
"(Anda memberikan sesuatu) kepada Yahudi? Semoga Allah memperbaiki kondisi anda.”
”Abdullah bin ’Amru lalu berkata,
إِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوْصِي بِالْجَارِ، حَتَّى خَشَيْنَا أَوْ رُؤِيْنَا أَنَّهُ سَيُوّرِّثُهُ
'Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwasiat terhadap tetangga sampai kami khawatir kalau beliau akan menetapkan hak waris kepadanya.”[18]
Perkara yang Termasuk Loyal pada Orang Kafir dan Dinilai Haram[19]
Pertama: Mencintai orang kafir dan menjadikan mereka teman dekat. Allah Ta’ala berfirman,
لَا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (QS. Al Mujadilah: 22). Wajib bagi setiap muslim memiliki rasa benci pada setiap orang kafir dan musyrik karena mereka adalah orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya. Dikecualikan di sini adalah cinta yang bersifat tabi’at seperti kecintaan seorang anak kepada orang tuanya yang musyrik. Cinta seperti ini dibolehkan.
Kedua: Menetap di negeri kafir. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلآئِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُواْ فِيمَ كُنتُمْ قَالُواْ كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأَرْضِ قَالْوَاْ أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُواْ فِيهَا فَأُوْلَـئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءتْ مَصِيراً,إِلاَّ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاء وَالْوِلْدَانِ لاَ يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلاَ يَهْتَدُونَ سَبِيلاً,فَأُوْلَـئِكَ عَسَى اللّهُ أَن يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ اللّهُ عَفُوّاً غَفُوراً
Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri , (kepada mereka) malaikat bertanya : "Dalam keadaan bagaimana kamu ini ?". Mereka menjawab : "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". Para malaikat berkata : "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu ?". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allah mema'afkannya. Dan adalah Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.” (QS. An Nisa’: 97-98)
Ada dua rincian yang mesti diperhatikan:
  1. Jika orang kafir yang baru masuk Islam, lalu tinggal di negeri kafir dan tidak mampu menampakkan keislaman (seperti mentauhidkan Allah, melaksanakan shalat, dan berjilbab –bagi wanita-) dan ia mampu berhijrah, maka saat itu ia wajib berhijrah ke negeri kaum muslimin. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Dan tidak boleh muslim tersebut menetap di negeri kafir kecuali dalam keadaan darurat.
  2. Jika muslim yang tinggal di negeri kafir masih mampu menampakkan keislamannya, maka berhijrah ke negeri kaum muslimin pada saat ini menjadi mustahab (dianjurkan). Begitu pula dianjurkan ia menetap di negeri kafir tersebut karena ada maslahat untuk mendakwahi orang lain kepada Islam yang benar.
Ketiga: Diharamkan bepergian ke negeri kafir tanpa ada hajat. Namun jika ada maslahat (seperti untuk berobat, berdakwah, dan berdagang), maka ini dibolehkan asalkan memenuhi tiga syarat berikut:
  1. Memiliki bekal ilmu agama yang kuat sehingga dapat menjaga dirinya.
  2. Merasa dirinya aman dari hal-hal yang dapat merusak agama dan akhlaqnya.
  3. Mampu menampakkan syi’ar-syi’ar Islam pada dirinya.
Keempat: Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) dalam hal pakaian, penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’).[20] Di antara dalilnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”[21]
Oleh karena itu, perilaku tasyabuh (menyerupai orang kafir) dalam perkara yang menjadi ciri khas mereka adalah diharamkan. Contohnya adalah mencukur jenggot dan mengikuti model pakaian yang menjadi ciri khas mereka.
Kelima: Bekerjasama atau membantu merayakan perayaan orang kafir, seperti membantu dalam acara natal. Hal ini diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama. Dan Allah Ta’ala pun berfirman,
وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al Maidah: 2)
Begitu pula diharamkan menghadiri perayaan agama mereka. Allah Ta’ala menceritakan mengenai sifat orang beriman,
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
Dan orang-orang yang beriman adalah yang tidak menyaksikan perbuatan zur, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqon: 72). Di antara makna “tidak menyaksikan perbuatan zur” adalah tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Inilah yang dikatakan oleh Ar Robi’ bin Anas.[22] Jadi, ayat di atas adalah pujian untuk orang yang tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Jika tidak menghadiri perayaan tersebut adalah suatu hal yang terpuji, berarti melakukan perayaan tersebut adalah perbuatan yang sangat tercela dan termasuk ‘aib[23].
Begitu pula diharamkan mengucapkan selamat pada hari raya orang kafir. Bahkan diharamkannya hal ini berdasarkan ijma’ atau kesepakatan para ulama.
Ulama Sepakat: Haram Mengucapkan Selamat Natal
Perkataan Ibnul Qayyim  dalam Ahkam Ahlu Dzimmah:
Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.
Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.”[24]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ’Utsaimin mengatakan, ”Ucapan selamat hari natal atau ucapan selamat lainnya yang berkaitan dengan agama kepada orang kafir adalah haram berdasarkan kesepakatan para ulama.”[25]
Herannya ulama-ulama kontemporer saat ini[26] malah membolehkan mengucapkan selamat Natal. Alasan mereka berdasar pada surat Al Mumtahanah ayat 8. Sungguh, pendapat ini adalah pendapat yang ’nyleneh’ dan telah menyelisihi kesepakatan para ulama. Pendapat ini muncul karena tidak bisa membedakan antara berbuat ihsan (berlaku baik) dan wala’ (loyal). Padahal para ulama katakan bahwa kedua hal tersebut adalah berbeda sebagaimana telah kami utarakan sebelumnya.
Pendapat ini juga sungguh aneh karena telah menyelisihi kesepakatan para ulama (ijma’). Sungguh celaka jika kesepakatan para ulama itu diselisihi. Padahal Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”(QS. An Nisa’: 115). Jalan orang-orang mukmin inilah ijma’ (kesepakatan) mereka.
Dari sini, kami merasa aneh jika dikatakan bahwa mengucapkan selamat natal pada orang nashrani dianggap sebagai masalah khilafiyah (beda pendapat). Padahal sejak masa silam, para ulama telah sepakat (berijma’) tidak dibolehkan mengucapkan selamat pada perayaan non muslim. Baru belakangan ini dimunculkan pendapat yang aneh dari Yusuf Qardhawi, cs. Siapakah ulama salaf yang sependapat dengan beliau dalam masalah ini? Padahal sudah dinukil ijma’ (kata sepakat) dari para ulama tentang haramnya hal ini.
Hujjah terakhir yang kami sampaikan, adakah ulama salaf di masa silam yang menganggap bahwa mengucapkan selamat pada perayaan non muslim termasuk bentuk berbuat baik (ihsan) dan dibolehkan, padahal acara-acara semacam natalan dan perayaan non muslim sudah ada sejak masa silam?! Di antara latar belakangnya karena tidak memahami surat Mumtahanah ayat 8 dengan benar. Tidak memahami manakah bentuk ihsan (berbuat baik) dan bentuk wala’ (loyal). Dan sudah kami utarakan bahwa mengucapkan selamat pada perayaan non muslim termasuk bentuk wala’ dan diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma’). Dan namanya ijma’ tidak pernah lepas dari dari Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana seringkali diutarakan oleh para ulama. Hanya Allah yang memberi taufik.

Mengucapkan Selamat Natal Dianggap Amalan Baik

AddThis Social Bookmark Button
Cetak PDF
melegalkan ucapan selamat_natal Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat. Sebagian orang beralasan bolehnya mengucapkan selamat natal pada orang nashrani karena dianggap sebagai bentuk ihsan (berbuat baik). Dalil yang mereka bawakan adalah firman Allah Ta’ala,
لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ [سورة الممتحنة:8].
Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah: 8). Inilah di antara alasan untuk melegalkan mengucapkan selamat natal pada orang nashrani. Mereka memang membawakan dalil, namun apakah pemahaman yang mereka utarakan itu membenarkan mengucapkan selamat natal?
Semoga Allah menolong kami untuk menyingkap tabir manakah yang benar dan manakah yang keliru. Hanya Allah yang beri pertolongan.
Sebab Turun Ayat
Untuk siapa sebab diturunkannya ayat di atas? Dalam hal ini ada beberapa pendapat di kalangan ahli tafsir[1]. Di antara pendapat tersebut adalah yang menyatakan bahwa ayat ini turun pada Asma’ binti Abi Bakr –radhiyallahu ‘anhuma-, di mana ibundanya –Qotilah binti ‘Abdil ‘Uzza- yang musyrik[2] dan ia diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tetap menjalin hubungan dengan ibunya. Ini adalah pendapat dari ‘Abdullah bin Az Zubair.[3]
Imam Bukhari membawakan Bab dalam kitab Shahihnya “Menjalin hubungan dengan orang tua yang musyrik”. Kemudian beliau membawakan riwayat berikut, Asma’ mengatakan,
أَتَتْنِى أُمِّى رَاغِبَةً فِى عَهْدِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - فَسَأَلْتُ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - آصِلُهَا قَالَ « نَعَمْ »
“Ibuku mendatangiku dan ia sangat ingin aku menyambung hubungan dengannya[4]. Kemudian aku menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bolehkah aku tetap menjalin hubungan dengannya? Beliau pun menjawab, “Iya boleh”.” Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan bahwa setelah itu Allah menurunkan firman-Nya (yang artinya), “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama” (QS. Al Mumtahanah: 8)”[5]
Makna Ayat
Ibnu Jarir Ath Thobari -rahimahullah- mengatakan, “Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik, menjalin hubungan dan berbuat adil dengan setiap orang dari agama lain yang tidak memerangi kalian dalam agama. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu”. Setiap orang yang mempunyai sifat dalam ayat ini patut bagi kita berlaku ihsan (baik) padanya. Tidak ada yang dispesialkan dari yang lainnya.”[6]
Ibnu Katsir -rahimahullah- menjelaskan, “Allah tidak melarang kalian berbuat ihsan (baik) terhadap orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin dalam agama dan juga tidak menolong mengeluarkan wanita dan orang-orang lemah, yaitu Allah tidak larang untuk berbuat baik dan berbuat adil kepada mereka. Karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil.”[7]
Loyal (Wala’) pada Orang Kafir itu Terlarang
Wala’ (loyal) tidaklah sama dengan berlaku ihsan (baik). Wala’ secara istilah bermakna menolong, memuliakan dan loyal dengan orang yang dicintai.[8] Sehingga wala’ (loyal) pada orang kafir akan menimbulkan rasa cinta dan kasih sayang dengan mereka dan agama yang mereka anut. Larangan loyal terhadap orang kafir ini sudah diajarkan oleh kekasih Allah –Nabi Ibrahim ‘alaihis salam- dan kita pun selaku umat Islam diperintahkan untuk mengikuti jalan beliau. Allah Ta’ala berfirman,
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَاء مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاء أَبَداً حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka : "Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja." (QS. Al Mumtahanah: 4)
Di samping ini adalah ajaran Nabi Ibrahim, larangan loyal (wala’) pada orang kafir juga termasuk ajaran Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah: 51)
Bahkan Ibnu Hazm telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa loyal (wala’) pada orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan.[9]
Perlu Dibedakan antara Ihsan (Berbuat Baik) dan Wala’ (Loyal)
Perlu kiranya dipahami bahwa birr atau ihsan (berbuat baik) itu jauh berbeda dengan wala’ (bersikap loyal). Ihsan adalah sesuatu yang dituntunkan. Ihsan itu diperbolehkan baik pada muslim maupun orang kafir. Sedangkan bersikap wala’ pada orang kafir tidak diperkenankan sama sekali.
Fakhruddin Ar Rozi -rahimahullah- mengatakan, “Allah tidak melarang kalian berbuat baik (birr) kepada mereka (orang kafir). Namun yang Allah larang bagi kalian adalah loyal (wala’) pada mereka. Inilah bentuk rahmat pada mereka, padahal ada permusuhan sengit dengan kaum muslimin. Para pakar tafsir menjelaskan bahwa boleh kaum muslimin berbuat baik (birr) dengan orang musyrik. Namun dalam hal loyal (wala’) pada mereka itu tidak dibolehkan.”[10]
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Berbuat baik, menyambung hubungan kerabat dan berbuat ihsan (terhadap non muslim) tidaklah melazimkan rasa cinta dan rasa sayang (yang terlarang) padanya. Sebagaiman rasa cinta yang terlarang ini disebutkan dalam firman Allah,
لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya” (QS. Al Mujadilah: 22). Ayat ini umum berlaku pada orang yang sedang memerangi dan orang yang tidak memerangi kaum muslimin. Wallahu a’lam.”[11]
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi menjelaskan dalam kitab tafsirnya, “Berbuat baik dan berlaku adil tidaklah melazimkan rasa cinta dan kasih sayang pada orang kafir. Seperti contohnya adalah seorang anak tetap berbakti dan berbuat baik pada orang tuanya yang kafir, namun ia tetap membenci agama yang orang tuanya anut. ”[12]
Contoh Berbuat Ihsan pada Non Muslim
Pertama: Memberi hadiah kepada saudara non muslim agar membuat ia tertarik pada Islam.
Dari Ibnu ‘Umar –radhiyallahu ‘anhuma-, beliau berkata, “’Umar pernah melihat pakaian yang dibeli seseorang lalu ia pun berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Belilah pakaian seperti ini, kenakanlah ia pada hari Jum’at dan ketika ada tamu yang mendatangimu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Sesungguhnya yang mengenakan pakaian semacam ini tidak akan mendapatkan bagian sedikit pun di akhirat.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan beberapa pakaian dan beliau pun memberikan sebagiannya pada ‘Umar. ‘Umar pun berkata, “Mengapa aku diperbolehkan memakainya sedangkan engkau tadi mengatakan bahwa mengenakan pakaian seperti ini tidak akan dapat bagian di akhirat?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku tidak mau mengenakan pakaian ini agar engkau bisa mengenakannya. Jika engkau tidak mau, maka engkau jual saja atau tetap mengenakannya.” Kemudian ‘Umar menyerahkan pakaian tersebut kepada saudaranya[13] di Makkah sebelum saudaranya tersebut masuk Islam.[14]
Kedua: Menjalin hubungan dan berbuat baik dengan orang tua dan kerabat non muslim.
Dari Asma’ binti Abu Bakr –radhiyallahu ‘anhuma-, ia berkata, “Ibuku mendatangiku, padahal ia seorang musyrik di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian aku ingin meminta nasehat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata, “Sesungguhnya ibuku mendatangiku, padahal ia sangat benci Islam. Apakah aku boleh tetap menyambung hubungan kerabat dengan ibuku?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya boleh. Silakan engkau tetap menjalin hubungan dengannya.”[15]
Allah melarang memutuskan silaturahmi dengan orang tua atau kerabat yang non muslim dan Allah tetap menuntunkan agar hak mereka sebagai kerabat dipenuhi walaupun mereka kafir. Jadi, kekafiran tidaklah memutuskan hak mereka sebagai kerabat. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15)
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ
Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi.” (QS. An Nisa: 1)
Jubair bin Muth’im berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ
Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan tali silaturahmi (dengan kerabat).[16]
Oleh karenanya, silaturahmi dengan kerabat tetaplah wajib, walaupun kerabat tersebut kafir. Jadi, orang yang mempunyai kewajiban memberi nafkah tetap memberi nafkah pada orang yang ditanggung walaupun itu non muslim. Karena memberi nafkah adalah bagian dari bentuk menjalin silaturahmi. Sedangkan dalam masalah waris tidak diperkenankan sama sekali. Karena seorang muslim tidaklah mewariskan hartanya pada orang kafir. Begitu pula sebaliknya. Karena warisan dibangun di atas sikap ingin menolong (nushroh) dan loyal (wala’).[17]
Ketiga: Berbuat baik kepada tetangga walaupun non muslim.
Al Bukhari membawakan sebuah bab dalam Adabul Mufrod dengan ”Bab Tetangga Yahudi”dan beliau membawakan riwayat berikut.
Mujahid berkata, "Saya pernah berada di sisi Abdullah ibnu 'Amru sedangkan pembantunya sedang memotong kambing. Dia lalu berkata,
ياَ غُلاَمُ! إِذَا فَرَغْتَ فَابْدَأْ بِجَارِنَا الْيَهُوْدِي
”Wahai pembantu! Jika anda telah selesai (menyembelihnya), maka bagilah dengan memulai dari tetangga Yahudi kita terlebih dahulu.” Lalu ada salah seorang yang berkata,
آليَهُوْدِي أَصْلَحَكَ اللهُ؟!
"(Anda memberikan sesuatu) kepada Yahudi? Semoga Allah memperbaiki kondisi anda.”
”Abdullah bin ’Amru lalu berkata,
إِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوْصِي بِالْجَارِ، حَتَّى خَشَيْنَا أَوْ رُؤِيْنَا أَنَّهُ سَيُوّرِّثُهُ
'Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwasiat terhadap tetangga sampai kami khawatir kalau beliau akan menetapkan hak waris kepadanya.”[18]
Perkara yang Termasuk Loyal pada Orang Kafir dan Dinilai Haram[19]
Pertama: Mencintai orang kafir dan menjadikan mereka teman dekat. Allah Ta’ala berfirman,
لَا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (QS. Al Mujadilah: 22). Wajib bagi setiap muslim memiliki rasa benci pada setiap orang kafir dan musyrik karena mereka adalah orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya. Dikecualikan di sini adalah cinta yang bersifat tabi’at seperti kecintaan seorang anak kepada orang tuanya yang musyrik. Cinta seperti ini dibolehkan.
Kedua: Menetap di negeri kafir. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلآئِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُواْ فِيمَ كُنتُمْ قَالُواْ كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأَرْضِ قَالْوَاْ أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُواْ فِيهَا فَأُوْلَـئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءتْ مَصِيراً,إِلاَّ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاء وَالْوِلْدَانِ لاَ يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلاَ يَهْتَدُونَ سَبِيلاً,فَأُوْلَـئِكَ عَسَى اللّهُ أَن يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ اللّهُ عَفُوّاً غَفُوراً
Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri , (kepada mereka) malaikat bertanya : "Dalam keadaan bagaimana kamu ini ?". Mereka menjawab : "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". Para malaikat berkata : "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu ?". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allah mema'afkannya. Dan adalah Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.” (QS. An Nisa’: 97-98)
Ada dua rincian yang mesti diperhatikan:
  1. Jika orang kafir yang baru masuk Islam, lalu tinggal di negeri kafir dan tidak mampu menampakkan keislaman (seperti mentauhidkan Allah, melaksanakan shalat, dan berjilbab –bagi wanita-) dan ia mampu berhijrah, maka saat itu ia wajib berhijrah ke negeri kaum muslimin. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Dan tidak boleh muslim tersebut menetap di negeri kafir kecuali dalam keadaan darurat.
  2. Jika muslim yang tinggal di negeri kafir masih mampu menampakkan keislamannya, maka berhijrah ke negeri kaum muslimin pada saat ini menjadi mustahab (dianjurkan). Begitu pula dianjurkan ia menetap di negeri kafir tersebut karena ada maslahat untuk mendakwahi orang lain kepada Islam yang benar.
Ketiga: Diharamkan bepergian ke negeri kafir tanpa ada hajat. Namun jika ada maslahat (seperti untuk berobat, berdakwah, dan berdagang), maka ini dibolehkan asalkan memenuhi tiga syarat berikut:
  1. Memiliki bekal ilmu agama yang kuat sehingga dapat menjaga dirinya.
  2. Merasa dirinya aman dari hal-hal yang dapat merusak agama dan akhlaqnya.
  3. Mampu menampakkan syi’ar-syi’ar Islam pada dirinya.
Keempat: Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) dalam hal pakaian, penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’).[20] Di antara dalilnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”[21]
Oleh karena itu, perilaku tasyabuh (menyerupai orang kafir) dalam perkara yang menjadi ciri khas mereka adalah diharamkan. Contohnya adalah mencukur jenggot dan mengikuti model pakaian yang menjadi ciri khas mereka.
Kelima: Bekerjasama atau membantu merayakan perayaan orang kafir, seperti membantu dalam acara natal. Hal ini diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama. Dan Allah Ta’ala pun berfirman,
وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al Maidah: 2)
Begitu pula diharamkan menghadiri perayaan agama mereka. Allah Ta’ala menceritakan mengenai sifat orang beriman,
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
Dan orang-orang yang beriman adalah yang tidak menyaksikan perbuatan zur, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqon: 72). Di antara makna “tidak menyaksikan perbuatan zur” adalah tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Inilah yang dikatakan oleh Ar Robi’ bin Anas.[22] Jadi, ayat di atas adalah pujian untuk orang yang tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Jika tidak menghadiri perayaan tersebut adalah suatu hal yang terpuji, berarti melakukan perayaan tersebut adalah perbuatan yang sangat tercela dan termasuk ‘aib[23].
Begitu pula diharamkan mengucapkan selamat pada hari raya orang kafir. Bahkan diharamkannya hal ini berdasarkan ijma’ atau kesepakatan para ulama.
Ulama Sepakat: Haram Mengucapkan Selamat Natal
Perkataan Ibnul Qayyim  dalam Ahkam Ahlu Dzimmah:
Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.
Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.”[24]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ’Utsaimin mengatakan, ”Ucapan selamat hari natal atau ucapan selamat lainnya yang berkaitan dengan agama kepada orang kafir adalah haram berdasarkan kesepakatan para ulama.”[25]
Herannya ulama-ulama kontemporer saat ini[26] malah membolehkan mengucapkan selamat Natal. Alasan mereka berdasar pada surat Al Mumtahanah ayat 8. Sungguh, pendapat ini adalah pendapat yang ’nyleneh’ dan telah menyelisihi kesepakatan para ulama. Pendapat ini muncul karena tidak bisa membedakan antara berbuat ihsan (berlaku baik) dan wala’ (loyal). Padahal para ulama katakan bahwa kedua hal tersebut adalah berbeda sebagaimana telah kami utarakan sebelumnya.
Pendapat ini juga sungguh aneh karena telah menyelisihi kesepakatan para ulama (ijma’). Sungguh celaka jika kesepakatan para ulama itu diselisihi. Padahal Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”(QS. An Nisa’: 115). Jalan orang-orang mukmin inilah ijma’ (kesepakatan) mereka.
Dari sini, kami merasa aneh jika dikatakan bahwa mengucapkan selamat natal pada orang nashrani dianggap sebagai masalah khilafiyah (beda pendapat). Padahal sejak masa silam, para ulama telah sepakat (berijma’) tidak dibolehkan mengucapkan selamat pada perayaan non muslim. Baru belakangan ini dimunculkan pendapat yang aneh dari Yusuf Qardhawi, cs. Siapakah ulama salaf yang sependapat dengan beliau dalam masalah ini? Padahal sudah dinukil ijma’ (kata sepakat) dari para ulama tentang haramnya hal ini.
Hujjah terakhir yang kami sampaikan, adakah ulama salaf di masa silam yang menganggap bahwa mengucapkan selamat pada perayaan non muslim termasuk bentuk berbuat baik (ihsan) dan dibolehkan, padahal acara-acara semacam natalan dan perayaan non muslim sudah ada sejak masa silam?! Di antara latar belakangnya karena tidak memahami surat Mumtahanah ayat 8 dengan benar. Tidak memahami manakah bentuk ihsan (berbuat baik) dan bentuk wala’ (loyal). Dan sudah kami utarakan bahwa mengucapkan selamat pada perayaan non muslim termasuk bentuk wala’ dan diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma’). Dan namanya ijma’ tidak pernah lepas dari dari Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana seringkali diutarakan oleh para ulama. Hanya Allah yang memberi taufik.

sumber :
http://rumaysho.com/belajar-islam/aqidah/2824-mengucapkan-selamat-natal-dianggap-amalan-baik.html


[1] Sebagian ulama pakar tafsir (seperti Qotadah) menyatakan bahwa surat Al Mumtahanah ayat 8 berlaku untuk semua orang kafir. Jadi kita diperintahkan untuk berlaku baik dengan orang kafir. Namun menurut pendapat ini, ayat tersebut telah mansukh (dihapus) dengan surat At Taubah ayat 5 yang memerintahkan untuk memerangi orang kafir (Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, 6/19,Mawqi’ Al Islam). Akan tetapi, pakar tafsir lainnya tetap menyatakan bahwa surat Al Mumtahanah ayat 8 adalah ayat yang tidak mansukh dan mereka berdalil dengan kisah Asma’ binti Abu Bakr (Lihat Tafsir Juz Qod Sami’a , Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, hal. 170, Maktabah Makkah, cetakan pertama, tahun 2003 ).
[2] Kebanyakan ulama mengatakan bahwa ibu Asma’ mati dalam keadaan musyrik. Sebagian ulama mengatakan bahwa ibunya mati dalam keadaan Islam. Nama ibu Asma’ ada yang menyebut Qoylah dan ada pula yang menyebut Qotilah. (Lihat Syarh Muslim, An Nawawi, 7/89, Dar Ihya’ At Turots Al Arobi, Beirut, cetakan kedua, 1392). Qotilah adalah istri Abu Bakr yang sudah dicerai di masa Jahiliyah. (Lihat ‘Umdatul Qori Syarh Shahih Al Bukhari, Badaruddin Al ‘Aini Al Hanafi, 20/169, Asy Syamilah)
[3] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, 8/236-237, Al Maktab Al Islami Beirut, cetakan ketiga, tahun 1404 H.
[4] Makna ini berdasarkan riwayat Abu Daud. Al Qodhi mengatakan bahwa makna lain dari roghibah adalah benci dengan Islam. Jadi, ibunda Asma’ sangat benci dengan Islam, sehingga ia pun bertanya pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah masih boleh ia menjalin hubungan dengan ibunya. Lihat Syarh Muslim, An Nawawi, 7/89.
[5] HR. Bukhari no. 5798.
[6] Jaami’ul Bayan fii Ta’wilil Qur’an, Ibnu Jarir Ath Thobari, Muhaqqiq: Ahmad Muhammad Syakir, 23/323, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama tahun 1420 H.
[7] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muhaqqiq: Sami bin Muhammad Salamah, 8/90, terbitan Dar At Thoyibah, cetakan kedua, 1420 H.
[8] Lihat Al Wala’ wal Baro’, Syaikh Sa’id bin Wahf Al Qahthani, hal. 307, Asy Syamilah.
[9] Lihat Al Muhalla, Ibnu Hazm, 11/138, Mawqi’ Ya’sub.
[10] Mafatihul Ghoib, Fakhruddin Ar Rozi, 15/325, Mawqi’ At Tafasir.
[11] Fathul Bari Syarh Shohih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al ‘Asqolani Asy Syafi’i, 5/233, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379.
[12] Tafsir Juz Qod Sami’a , Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, hal. 166, Maktabah Makkah, cetakan pertama, tahun 2003.
[13] Saudara ‘Umar ini bernama ‘Utsman bin Hakim, dia adalah saudara seibu dengan ‘Umar. Ibu ‘Umar bernama Khoitsamah binti Hisyam bin Al Mughiroh. Lihat Fathul Bari, 5/233.
[14] HR. Bukhari no. 2619.
[15] HR. Bukhari no. 2620.
[16] HR. Muslim no. 2556.
[17] Lihat pembahasan Syaikh Sa’id bin Wahf Al Qahthani dalam Al Wala’ wal Baro’, hal. 303, Asy Syamilah.
[18] Adabul Mufrod no. 95/128. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih. Lihat Al Irwa’ (891): [Abu Dawud: 40-Kitab Al Adab, 123-Fii Haqqil Jiwar. At Tirmidzi: 25-Kitab Al Birr wash Shilah, 28-Bab Maa Jaa-a fii Haqqil Jiwaar]
[19] Kami olah dari Tahdzib Tashil Al ‘Aqidah Al Islamiyah, Prof. ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al Jibrin, hal. 224-229, Maktabah Al Mulk Fahd Al Wathoniyah, cetakan pertama, 1425 H.
[20] Lihat penukilan ijma’ (kesepakatan ulama) yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, 1/363, Wazarotu Asy Syu-un Al Islamiyah, cetakan ketujuh, tahun 1417 H.
[21] HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ (1/269) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269
[22] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 4/484, Mawqi’ Al Islam.
[23] Lihat Iqtidho’ Ash Shiroth Al Mustaqim, 1/483.
[24] Ahkam Ahli Dzimmah, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/441, Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1418 H.
[25] Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin, 3/28-29, no. 404, Asy Syamilah.
[26] Semacam Yusuf Qardhawi, begitu  pula Lembaga Riset dan Fatwa Eropa.