Poin Kedua: Penjelasan dalil-dalil yang digunakan oleh orang yang menganggap adanya bid’ah hasanah, khususnya dalil-dalil yang digunakan oleh pendebat.
DALIL YANG PERTAMA:
Pendebat menetapkan dua macam bid’ah; bid’ah yang memberikan petunjuk dan bid’ah kesesatan, pendebat berdalilkan dengan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
Dalil ini tidak bisa digunakan sebagai penetapan adanya bid’ah hasanah dikarenakan beberapa alasan:
ALASAN PERTAMA:
Bahwasanya makna مَنْ سَنَّ (Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah) pada hadits diatas ialah: Mengerjakan amal dalam rangka melaksanakan atau mengikuti, bukan dengan membuat syariat yang baru. Adapun maksud hadits tersebut adalah; beramal dengan apa-apa yang telah ditetapkan dalam sunnah nabawi, hal ini sebagaimana yang ditunjukkan oleh Asbabul wurud hadits ini, yaitu tentang shodaqoh yang telah disyariatkan.
Sababul wurud (sebab terjadinya) hadits ini sudah dikenal, yaitu ketika orang-orang Arab yang miskin datang menemui Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam. Beliau trenyuh melihat keadaan mereka dan merasa sangat sedih karenanya. Maka beliau pun memerintahkan dan mendorong para shahabatnya untuk bersedekah. Lalu berdirilah seseorang dari kalangan shahabat untuk memberikan sedekahnya berupa makanan sepenuh telapak tangannya. Kemudian manusia pun berturut-turut memberikan sedekah karena mencontoh orang ini, karena memang dialah yang pertama kali membuka jalan bagi mereka. Saat itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Orang ini telah melakukan amalan sunnah, yaitu bersedekah dan membantu orang yang membutuhkan. Sedangkan sedekah diperintahkan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, maka sedekah merupakan sunnah hasanah, bukan bid’ah. Siapa yang menghidupkan, mengamalkan, dan menerangkannya pada manusia hingga mereka pun mengamalkan dan mencontohnya dalam melakukan amalan/sunnah tersebut, orang itu mendapatkan pahala semisal pahala mereka.” (Dhahiratut Tabdi’ wat Tafsiq wat Takfir wa Dhawabithuha, hal. 42, 47-48)
Al-Imam Abu Ishaq Asy-Syathibi rahimahullah dalam kitabnya yang masyhur Al-I’tisham (1/233 dan 235) menyatakan bahwa dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas tidaklah sama sekali menunjukkan bolehnya mengada-adakan perkara baru, tapi justru menunjukkan pengamalan suatu sunnah yang tsabit (pasti) keberadaannya, sehingga sunnah hasanah bukanlah perkara mubtada’ah (yang diada-adakan/ bid’ah).
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata ketika mensyarah (menjelaskan) hadits yang agung ini: “Dalam hadits ini ada dorongan untuk mengawali melakukan amalan-amalan kebaikan dan mengerjakan sunnah-sunnah hasanah (menghidupkan perkara kebaikan yang telah ditinggalkan oleh orang-orang dan menghidupkan sunnah yang telah mati, –ag.). Dan (dalam hadits ini juga) terdapat peringatan untuk tidak melakukan perkara kebatilan dan kejelekan.”
Beliau rahimahullah juga menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan keutamaan yang besar bagi orang yang memulai melakukan satu amalan kebaikan dan menjadi pembuka pintu amalan ihsan/ kebaikan bagi lainnya. Dan barangsiapa yang melakukan sunnah hasanah, ia akan mendapatkan pahala semisal dengan pahala-pahala yang didapatkan oleh orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut (karena mencontohnya) semasa hidupnya ataupun setelah matinya sampai hari kiamat. Dan sebaliknya, barangsiapa membuat sunnah sayyiah, niscaya ia akan mendapatkan dosa semisal dosa orang-orang yang menirunya dalam melakukan sunnah tersebut semasa hidupnya atau sepeninggalnya sampai hari kiamat. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 7/105-106, 16/443-444)
ALASAN KEDUA:
Bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً (barangsiapa yang mengerjakan dalam islam sunnah yang baik), sementara beliau juga bersabda كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (semua bid’ah adalah sesat).
Sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam saling mendukung antara satu dengan yang lainnya, dan tidak mungkin muncul dari Ash-Shadiqul Mashduq (Rasul yang benar dan dibenarkan) Shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu perkataan yang mendustakan ucapannya yang lain. Tidak mungkin pula perkataan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam saling bertentangan. Maka dari semua sabda beliau dapat diketahui bahwa maksud hadits diatas adalah menghidupkan kembali sunnah dan memunculkannya ke permukaan.
Dengan alasan ini, maka tidak boleh kita mengambil satu hadits dan mempertentangkannya dengan hadits yang lain. Karena sesungguhnya ini adalah seperti perbuatan orang yang beriman kepada sebagian Al-Kitab tetapi kafir kepada sebagian yang lain.
ALASAN KETIGA:
Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan مَنْ سَنَّ (barangsiapa membuat sunnah), beliau tidak mengatakan مَنِ ابْتَدَعَ (barangsiapa yang membuat bid’ah).
Juga mengatakan فِي اْلإِسْلاَمِ (dalam Islam). Sedangkan bid’ah bukan dari ajaran Islam.
Beliau juga mengatakan حَسَنَةً (yang baik). Dan perbuatan bid’ah itu bukanlah sesuatu yang hasanah (baik).
Tidak ada persamaan antara As Sunnah dengan bid’ah, karena sunnah itu adalah jalan yang diikuti, sedangkan bid’ah adalah perkara baru yang diada-adakan di dalam agama.
ALASAN KEEMPAT:
Tidak satupun kita dapatkan keterangan yang dinukil dari salafush shalih menyatakan bahwa mereka menafsirkan Sunnah Hasanah itu sebagai bid’ah yang dibuat-buat sendiri oleh manusia.
Pendebat menetapkan dua macam bid’ah; bid’ah yang memberikan petunjuk dan bid’ah kesesatan, pendebat berdalilkan dengan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
مَنْ سَنَّ فِي
اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ
بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ .
ومَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ
وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ
يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Siapa yang melakukan satu
sunnah hasanah (sunnah yang baik) dalam Islam, maka ia mendapatkan
pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut
setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa
yang melakukan satu sunnah sayyiah (sunnah yang jelek) dalam Islam,
maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan
sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka
sedikitpun.” (HR. Muslim)Dalil ini tidak bisa digunakan sebagai penetapan adanya bid’ah hasanah dikarenakan beberapa alasan:
ALASAN PERTAMA:
Bahwasanya makna مَنْ سَنَّ (Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah) pada hadits diatas ialah: Mengerjakan amal dalam rangka melaksanakan atau mengikuti, bukan dengan membuat syariat yang baru. Adapun maksud hadits tersebut adalah; beramal dengan apa-apa yang telah ditetapkan dalam sunnah nabawi, hal ini sebagaimana yang ditunjukkan oleh Asbabul wurud hadits ini, yaitu tentang shodaqoh yang telah disyariatkan.
Sababul wurud (sebab terjadinya) hadits ini sudah dikenal, yaitu ketika orang-orang Arab yang miskin datang menemui Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam. Beliau trenyuh melihat keadaan mereka dan merasa sangat sedih karenanya. Maka beliau pun memerintahkan dan mendorong para shahabatnya untuk bersedekah. Lalu berdirilah seseorang dari kalangan shahabat untuk memberikan sedekahnya berupa makanan sepenuh telapak tangannya. Kemudian manusia pun berturut-turut memberikan sedekah karena mencontoh orang ini, karena memang dialah yang pertama kali membuka jalan bagi mereka. Saat itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً
“Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam…”Orang ini telah melakukan amalan sunnah, yaitu bersedekah dan membantu orang yang membutuhkan. Sedangkan sedekah diperintahkan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, maka sedekah merupakan sunnah hasanah, bukan bid’ah. Siapa yang menghidupkan, mengamalkan, dan menerangkannya pada manusia hingga mereka pun mengamalkan dan mencontohnya dalam melakukan amalan/sunnah tersebut, orang itu mendapatkan pahala semisal pahala mereka.” (Dhahiratut Tabdi’ wat Tafsiq wat Takfir wa Dhawabithuha, hal. 42, 47-48)
Al-Imam Abu Ishaq Asy-Syathibi rahimahullah dalam kitabnya yang masyhur Al-I’tisham (1/233 dan 235) menyatakan bahwa dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas tidaklah sama sekali menunjukkan bolehnya mengada-adakan perkara baru, tapi justru menunjukkan pengamalan suatu sunnah yang tsabit (pasti) keberadaannya, sehingga sunnah hasanah bukanlah perkara mubtada’ah (yang diada-adakan/ bid’ah).
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata ketika mensyarah (menjelaskan) hadits yang agung ini: “Dalam hadits ini ada dorongan untuk mengawali melakukan amalan-amalan kebaikan dan mengerjakan sunnah-sunnah hasanah (menghidupkan perkara kebaikan yang telah ditinggalkan oleh orang-orang dan menghidupkan sunnah yang telah mati, –ag.). Dan (dalam hadits ini juga) terdapat peringatan untuk tidak melakukan perkara kebatilan dan kejelekan.”
Beliau rahimahullah juga menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan keutamaan yang besar bagi orang yang memulai melakukan satu amalan kebaikan dan menjadi pembuka pintu amalan ihsan/ kebaikan bagi lainnya. Dan barangsiapa yang melakukan sunnah hasanah, ia akan mendapatkan pahala semisal dengan pahala-pahala yang didapatkan oleh orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut (karena mencontohnya) semasa hidupnya ataupun setelah matinya sampai hari kiamat. Dan sebaliknya, barangsiapa membuat sunnah sayyiah, niscaya ia akan mendapatkan dosa semisal dosa orang-orang yang menirunya dalam melakukan sunnah tersebut semasa hidupnya atau sepeninggalnya sampai hari kiamat. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 7/105-106, 16/443-444)
ALASAN KEDUA:
Bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً (barangsiapa yang mengerjakan dalam islam sunnah yang baik), sementara beliau juga bersabda كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (semua bid’ah adalah sesat).
Sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam saling mendukung antara satu dengan yang lainnya, dan tidak mungkin muncul dari Ash-Shadiqul Mashduq (Rasul yang benar dan dibenarkan) Shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu perkataan yang mendustakan ucapannya yang lain. Tidak mungkin pula perkataan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam saling bertentangan. Maka dari semua sabda beliau dapat diketahui bahwa maksud hadits diatas adalah menghidupkan kembali sunnah dan memunculkannya ke permukaan.
Dengan alasan ini, maka tidak boleh kita mengambil satu hadits dan mempertentangkannya dengan hadits yang lain. Karena sesungguhnya ini adalah seperti perbuatan orang yang beriman kepada sebagian Al-Kitab tetapi kafir kepada sebagian yang lain.
ALASAN KETIGA:
Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan مَنْ سَنَّ (barangsiapa membuat sunnah), beliau tidak mengatakan مَنِ ابْتَدَعَ (barangsiapa yang membuat bid’ah).
Juga mengatakan فِي اْلإِسْلاَمِ (dalam Islam). Sedangkan bid’ah bukan dari ajaran Islam.
Beliau juga mengatakan حَسَنَةً (yang baik). Dan perbuatan bid’ah itu bukanlah sesuatu yang hasanah (baik).
Tidak ada persamaan antara As Sunnah dengan bid’ah, karena sunnah itu adalah jalan yang diikuti, sedangkan bid’ah adalah perkara baru yang diada-adakan di dalam agama.
ALASAN KEEMPAT:
Tidak satupun kita dapatkan keterangan yang dinukil dari salafush shalih menyatakan bahwa mereka menafsirkan Sunnah Hasanah itu sebagai bid’ah yang dibuat-buat sendiri oleh manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar