oleh
Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA
KEUTAMAAN MEMBACA SHALAWAT
Salah satu amalan istimewa dalam ajaran Islam yang dijanjikan pahala
berlipat ganda adalah membaca shalawat kepada Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam . Banyak nash (dalil) dari al-Qur'ân maupun hadits
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memotivasi untuk memperbanyak
amalan mulia ini. Di antaranya :
Firman Allâh Azza wa Jalla :
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Sesungguhnya Allâh dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai
orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk nabi dan
ucapkanlah salam penghormatan kepadanya [al-Ahzâb/33: 56]
Imam Ibnu Katsir mengatakan dalam Tafsirnya[1] , "Allâh Azza wa Jalla
memberitahukan kepada para hamba-Nya kedudukan Rasûlullâh di sisi-Nya di
hadapan para malaikat. Allâh Azza wa Jalla memuji beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam di hadapan mereka, begitu pula mereka bershalawat
kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Lalu Allâh Azza wa Jalla
memerintahkan para penghuni bumi untuk bershalawat dan mengucapkan salam
bagi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar berpadu pujian para
penghuni langit dengan para penghuni bumi semuanya untuk beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ."
Dalam hadits, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
صَلُّوا عَلَيَّ؛ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا
Bershalawatlah kalian untukku. Sesungguhnya barang siapa bershalawat
untukku satu kali, niscaya Allâh akan bershalawat untuknya sepuluh kali
[HR. Muslim 1/288-289 no. 384]
Dalam Tuhfah al-Ahwadzi, al-Mubârakfûri rahimahullah menjelaskan bahwa
maksud dari shalawat Allâh Azza wa Jalla untuk para hamba-Nya adalah
Allâh merahmati mereka dan melipatgandakan pahalanya.
Dan masih banyak dalil lain yang menunjukkan keutamaan membaca shalawat
untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Karena itulah, tidak
mengherankan jika dari dulu, para ulama Islam berlomba-lomba menulis
buku khusus guna memaparkan keutamaan membaca shalawat. Contohnya,
Fadhlush Shalât 'alâ an-Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karya Imam
Ismâ'il bin Ishâq al-Qâdhi (199-282 H), Jalâ'ul Afhâm fî Fadhlish Shalât
wa as-Salâm 'alâ Muhammadin Khairil Anâm karya Imam Ibn Qayyim
al-Jauziyyah (691-751 H) dan lain-lain.[2]
IKHLAS DAN MENELADANI RASUL SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM DALAM BERSHALAWAT
Dari keterangan di atas, nampak begitu jelas bahwa membaca shalawat
merupakan ibadah yang disyariatkan dalam Islam. Dan sebagaimana telah
diketahui bersama, berdasarkan dalil al-Qur'ân dan Sunnah serta
keterangan para Ulama, bahwa setiap ibadah akan diterima di sisi Allâh
Azza wa Jalla kalau memenuhi dua syarat. Yakni dijalankan secara ikhlas
karena Allâh dan sesuai dengan tuntunan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam .
Fakhruddîn ar-Râzy (544-606 H) menyimpulkan dua syarat sah ibadah tersebut dari firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ وَسَعَىٰ لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا
Barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha melakukan amalan
yang mengantarkan kepadanya, sementara ia juga seorang mukmin; maka
mereka itu adalah orang-orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.
[al-Isrâ'/17:19]
Kata beliau rahimahullah, "Syarat pertama, mengharapkan pahala akhirat
dari amalannya. Jika niat ini tidak ada maka dia tidak akan memetik
manfaat dari amalannya … Sebab Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya. [HR. Bukhari, 1/9 no. 1 – al-Fath]
Juga karena tujuan beramal adalah untuk menerangi hati dengan mengenal
Allâh serta mencintai-Nya. Ini tidak akan tercapai kecuali jika
seseorang meniatkan amalannya guna beribadah kepada Allâh dan meraih
ketaatan pada-Nya.
Syarat kedua, ada dalam firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya,
"berusaha melakukan amalan yang mengantarkan kepadanya" maksudnya adalah
hendaknya amalan yang diharapkan bisa mengantarkan pada akhirat itu
adalah amalan yang memang bisa mewujudkan tujuan tersebut. Dan suatu
amalan tidak akan dianggap demikian, kecuali jika termasuk amal ibadah
dan ketaatan. Banyak orang yang mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa
Jalla dengan melakukan amalan-amalan yang batil!"[3].
Imam Ibn Katsîr (700-774 H) mempertegas, "Agar amalan diterima, maka
harus memenuhi dua syarat. Pertama, ikhlas karena Allâh semata dan
kedua, benar sesuai syariat. Manakala suatu amalan dikerjakan secara
ikhlas, namun tidak benar (sesuai syariat), maka amalan tersebut tidak
diterima. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya
dari kami maka amalan itu akan tertolak [HR. Muslim 3/1343 no. 1718 dari
Aisyah Radhiyallahu anhuma]
Begitu pula jika suatu amalan sesuai dengan syariat secara lahiriyah,
namun pelakunya tidak mengikhlaskan niat untuk Allâh; amalannya pun juga
akan tertolak."[4]
Karena membaca shalawat merupakan ibadah dan amal shalih, maka supaya
amalan tersebut diterima oleh Allâh Azza wa Jalla harus pula terpenuhi
dua syarat tersebut di atas, yakni ikhlas dan sesuai dengan tuntunan
Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ikhlas dalam bershalawat berarti:
1. Hanya mengharapkan ridha Allâh Azza wa Jalla dan pahala dari-Nya.
2. Teks shalawat yang dibaca tidak mengandung unsur-unsur yang
bertentangan dengan prinsip ikhlas. Atau dengan kata lain, tidak
bermuatan syirik dan kekufuran, semisal istighâtsah kepada selain Allâh
Azza wa Jalla , menisbatkan sesuatu yang merupakan hak khusus Allâh
kepada selain-Nya dan yang semisal. Aturan kedua ini tentunya diterapkan
pada teks-teks shalawat produk manusia, bukan berasal dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, jika teks shalawat itu bersumber
dari sosok yang ma'shûm , Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ini
di luar konteks pembicaraan kita, lantaran tidak mungkin Rasûlullâh
Shallallahu “alaihi wa sallam mengajarkan sesuatu yang berisi kesyirikan
dan kekufuran.
Meneladani Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bershalawat, maksdunya:
1. Mencontoh shalawat yang diajarkan beliau dan tidak melampaui batas
sehingga memasuki ranah ghuluw (sikap berlebihan) dan lafaz syirik.
2. Bershalawat untuk beliau pada momen-momen yang beliau syariatkan.[5]
3. Memperbanyak membaca shalawat semampunya, dalam rangka mengamalkan
firman Allâh Azza wa Jalla dalam QS. al-Ahzâb/33:56 dan sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut di atas.
Setelah pemaparan mukadimah yang berisi beberapa kaidah penting, saatnya kita memasuki inti pembahasan.
SHALAWAT NARIYAH DALAM TIMBANGAN
Di kalangan kaum Muslimin Indonesia, amat banyak teks shalawat yang
tersebar. Seperti, shalawat Fâtih, shalawat Munjiyât, shalawat Thibbul
Qulûb, shalawat Wahidiyyah, dan -tidak lupa sorotan kita- shalawat
Nâriyyah. Tidak hanya mencukupkan diri dengan teks shalawat yang
dikarang kalangan klasik, mereka juga mengandalkan redaksi-redaksi yang
diciptakan kalangan kontemporer. Contohnya, shalawat Wahidiyyah yang
dibuat pada tahun 1963 oleh salah satu penduduk Kedunglo Bandar Lor
Kediri, KH. Abdul Majid Ma'rûf.[6]
Selain itu, mereka juga sangat 'kreatif' dalam membuat aturan-aturan
baca berbagai jenis shalawat tersebut, dari sisi jumlah bacaan, waktu
pembacaan, hingga fadhilah (keutamaan) yang akan diraih oleh pembacanya.
Seakan-akan itu semua ada landasannya dari syariat.
Shalawat Nâriyyah merupakan salah satu shalawat yang paling masyhur di
antara shalawat-shalawat bentukan manusia. Orang-orang berlomba untuk
mengamalkannya, baik dengan mengetahui maknanya, maupun tidak memahami
kandungannya. Bahkan justru barangkali orang jenis kedua ini yang lebih
dominan. Banyak orang serta merta mengamalkannya hanya karena diperintah
tokoh panutannya, kerabat dan teman, atau tergiur dengan "fadhilah"
tanpa merasa perlu untuk meneliti keabsahan shalawat tersebut, juga
kandungan makna yang terkandung di dalamnya.
Sebelum mengupas lebih jauh tentang shalawat ini, yang juga terkadang
dinamakan dengan Shalawat Tafrîjiyah Qurthubiyah, ada baiknya dibawakan
dahulu teks lengkapnya : [7]
اللَّهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلاَماً تَامّاً عَلَى
سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الَّذِيْ تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ، وَتَنْفَرِجُ
بِهِ الْكُرَبُ، وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ، وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ
وَحُسْنُ الْخَوَاتِمِ، وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ،
وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ، فِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ بِعَدَدِ كُلِّ
مَعْلُوْمٍ لَكَ
Ya Allâh, limpahkanlah shalawat yang sempurna dan curahkanlah salam
kesejahteraan yang penuh kepada junjungan kami Nabi Muhammad, yang
dengan sebab beliau semua kesulitan dapat terpecahkan, semua kesusahan
dapat dilenyapkan, semua keperluan dapat terpenuhi, dan semua yang
didambakan serta husnul khatimah dapat diraih, serta berkat dirinya yang
mulia hujan pun turun. Semoga terlimpahkan kepada keluarganya serta
para sahabatnya, di setiap detik dan hembusan nafas sebanyak bilangan
semua yang diketahui oleh Engkau
SIAPAKAH PENCIPTA SHALAWAT NARIYAH?
Berdasarkan referensi yang ada, kami baru bisa menemukan isyarat yang
menunjukkan bahwa pencipta shalawat ini adalah seorang yang bernama
as-Sanusy.[8] Namun hingga saat ini kami belum bisa memastikan siapakah
nama lengkapnya, sebab yang menggunakan julukan ini amat banyak dan kami
belum mendapatkan keterangan yang menunjukkan as-Sanusi manakah yang
menciptakan shalawat tersebut. Hanya saja, yang pasti sebutan as-Sanusi
ini merupakan bentuk penisbattan kepada tarekat sufi yang banyak
tersebar di daerah Maroko, tarekat as-Sanusiyyah.
BENARKAH PENGARANGNYA ADALAH SHABAT NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM?
Di sebuah situs internet tertulis: "Sholawat Nariyah adalah sebuah
sholawat yang disusun oleh Syeikh Nariyah. Syekh yang satu ini hidup
pada jaman Nabi Muhammad sehingga termasuk salah satu sahabat nabi.
Beliau lebih menekuni bidang ketauhidan. Syekh Nariyah selalu melihat
kerja keras Nabi dalam menyampaikan wahyu Allâh, mengajarkan tentang
Islam, amal saleh dan akhlaqul karimah sehingga Syekh selalu berdoa
kepada Allâh memohon keselamatan dan kesejahteraan untuk Nabi. Doa-doa
yang menyertakan nabi biasa disebut sholawat dan Syekh Nariyah adalah
salah satu penyusun sholawat nabi yang disebut Sholawat Nariyah.
Suatu malam, Syekh Nariyah membaca sholawatnya sebanyak 4444 kali.
Setelah membacanya, beliau mendapat karomah dari Allâh. Maka dalam suatu
majelis beliau mendekati Nabi Muhammad dan minta dimasukan surga
pertama kali bersama Nabi. Dan Nabi pun mengiyakan. Ada seseorang
sahabat yang cemburu dan lantas minta didoakan yang sama seperti Syekh
Nariyah. Namun Nabi mengatakan tidak bisa karena Syekh Nariyah sudah
minta terlebih dahulu.
Mengapa sahabat itu ditolak Nabi? Dan justru Syekh Nariyah yang bisa?
Para sahabat itu tidak mengetahui mengenai amalan yang setiap malam
diamalkan oleh Syekh Nariyah yaitu mendoakan keselamatan dan
kesejahteraan Nabinya. Orang yang mendoakan Nabi Muhammad pada
hakekatnya adalah mendoakan untuk dirinya sendiri karena Allâh sudah
menjamin nabi-nabiNya sehingga doa itu akan berbalik kepada si
pengamalnya dengan keberkahan yang sangat kuat".[9]
Kesimpulan, pengarang Shalawat Nariyah konon seorang bernama Syekh
Nariyah, dan dia termasuk Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang telah dijamin masuk surga oleh beliau.
Sebagai seorang Muslim mestinya tidak begitu saja menerima apa yang
disampaikan padanya, tanpa klarifikasi dan penelitian, apalagi jika
berkenaan dengan permasalahan agama.
Sekurang-kurangnya ada dua poin yang perlu dicermati dari cerita di atas :
1. Benarkah ada Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Syekh Nâriyah ?
2. Dimanakah sumber kisah tentang Sahabat' tersebut? Dan adakah sanad (mata rantai periwayatan) nya?
Adapun berkenaan dengan poin pertama, perlu diketahui bahwa biografi
para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendapatkan
perhatian ekstra dari para Ulama Islam. Begitu banyak kitab yang mereka
tulis untuk mengupas biografi para sahabat. Ada referensi yang ditulis
untuk memaparkan biografi para shahabat beserta para Ulama sesudah
mereka hingga zaman penulis, adapula referensi yang ditulis khusus untuk
menceritakan biografi para sahabat saja. Diantara contoh model pertama:
Hilyatul Auliyâ' karya al-Hâfizh Abu Nu'aim al-Asfahâni (336-430 H) dan
Tahdzîbul Kamâl karya al-Hâfizh Abul Hajjâj al-Mizzi (654-742 H).
Adapun contoh model kedua, seperti: al-Istî'âb fî Ma'rifatil Ash-hâb
karya al-Hâfizh Ibn 'Abdil Bar (368-463 H) dan al-Ishâbatu fî Tamyîzish
Shahâbah karya al-Hâfizh Ibn Hajar al-'Asqalâni (773-852 H).
Setelah meneliti berbagai kitab di atas dan juga referensi biografi
lainnya, yang biasa diistilahkan para Ulama dengan kutubut tarâjim wa
ath-thabaqât, ternyata tidak dijumpai seorang pun di antara Sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Nâriyah. Bahkan
sepengetahuan kami, tidak ada seorang pun Ulama klasik yang memiliki
nama tersebut. Lalu, dari manakah orang tersebut berasal??
Sebenarnya, orang yang sedikit terbiasa membaca kitab Ulama, hanya
dengan melihat nama tersebut beserta 'gelar' syaikh di depannya, akan
langsung ragu bahwa orang tersebut benar-benar Sahabat Nabi. Karena
penyematan 'gelar' syaikh di depan nama Sahabat -sepengetahuan kami-
bukanlah kebiasaan para Ulama dan juga bukan istilah yang lazim mereka
pakai, sehingga terasa begitu janggal di telinga.
Kesimpulannya: berdasarkan penelaahan kami, tidak ada sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Syekh Nariyah. Jadi
penisbatan shalawat tersebut terhadap Sahabat sangat perlu untuk
dipertanyakan dan amat diragukan keabsahannya.
Adapun poin kedua, amat disayangkan penulis makalah di internet tersebut
tidak menyebutkan sanad (mata rantai periwayatan) kisah yang ia
bawakan, atau minimal mengisyaratkan rujukannya dalam menukil kisah
tersebut. Andaikan ia mau menyebutkan salah satu dari dua hal di atas
niscaya kita akan berusaha melacak keabsahan kisah tersebut, dengan
meneliti para perawinya, atau merujuk kepada kitab aslinya. Atau
barangkali kisah di atas merupakan dongeng buah pena penulis tersebut ?
Jika, ya, maka kisah tersebut tidak ada nilainya; karena kisah fiksi,
alias kisah yang tidak pernah terjadi !
Amat disayangkan, dalam hal yang berkaitan dengan agama, tidak sedikit
kaum Muslimin sering menelan mentah-mentah suatu kisah yang ia temukan
di sembarang buku dan internet, atau kisah yang diceritakan oleh
tetangga, teman, guru dan kenalan, tanpa merasa perlu untuk mengcrosscek
keabsahannya. Seakan-akan kisah itu mutlak benar terjadi! Padahal
kenyataannya seringkali tidak demikian.
Untuk memfilter kisah-kisah palsu dan yang lainnya, Islam memiliki
sebuah keistimewaan yang tidak dimiliki agama lain, yaitu: Islam
memiliki sanad (mata rantai periwayatan). Demikian keterangan yang
disampaikan Ibn Hazm (384-456 H)[10] dalam al-Fishâl dan Ibnu Taimiyyah
(661-728 H).[11]
Imam 'Abdullâh bin al-Mubârak (118-181 H) pernah berkata, "Isnâd adalah
bagian dari agama. Jika tidak ada isnâd, seseorang akan bebas mengatakan
apa yang dikehendakinya."[12]
KANDUNGAN MAKNA SHALAWAT NARIYAH
"Ya Allâh, limpahkanlah shalawat yang sempurna dan curahkanlah salam
kesejahteraan yang penuh kepada junjungan kami Nabi Muhammad, yang
dengan sebab beliau semua kesulitan dapat terpecahkan, semua kesusahan
dapat dilenyapkan, semua keperluan dapat terpenuhi, dan semua hajat yang
didambakan serta husnul khatimah dapat diraih, serta berkat dirinya
yang mulia hujanpun turun. Semoga terlimpahkan kepada keluarganya serta
para Sahabatnya, di setiap detik dan hembusan nafas sebanyak bilangan
semua yang diketahui oleh Engkau."
Bagian dari Shalawat Nâriyyah yang kami cetak tebal itulah yang akan
dicermati dalam tulisan singkat ini. Kalimat-kalimat tersebut mengandung
penisbatan terpecahkannya semua kesulitan, dilenyapkannya segala
kesusahan, ditunaikannya segala macam hajat, tercapainya segala
keinginan dan husnul khatimah, kepada selain Allâh Azza wa Jalla . Dalam
hal ini yang mereka maksudkan yang melakukan itu semua adalah
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Penisbatan ini merupakan
sebuah kekeliruan fatal, sebab bertolak-belakang dengan al-Qur'ân dan
Sunnah, serta bisa mengantarkan pelakunya kepada kekufuran. Pasalnya,
semua perbuatan tersebut, hanya Allâh Azza wa Jalla yang berkuasa
melakukannya.
Mari kita cermati nash-nash berikut :
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ
وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ ۗ أَإِلَٰهٌ مَعَ اللَّهِ ۚ قَلِيلًا
مَا تَذَكَّرُونَ
Siapakah yang mengabulkan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia
berdoa kepada-Nya, dan yang melenyapkan kesusahan serta yang menjadikan
kalian (manusia) sebagai khalifah di bumi? Adakah tuhan selain Allâh ?
Amat sedikit kalian mengingat-Nya ! [an-Naml/27:62]
Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla mengingatkan bahwa hanya Dia-lah
yang diseru saat terjadi kesusahan, dan Dia pula yang diharapkan
pertolongan-Nya saat musibah melanda. Demikian keterangan yang
disampaikan Imam Ibnu Katsir. [13]
Karena itulah, setelahnya Allâh Azza wa Jalla melontarkan pertanyaan
dalam konteks pengingkaran, "Adakah tuhan selain Allâh ?". Hal ini
mengisyaratkan, wallahu a'lam, bahwa orang yang tertimpa kesulitan dan
kesusahan lalu memohon pertolongan kepada selain Allâh Azza wa Jalla ,
seakan ia telah menjadikan dzat yang diserunya itu sebagai tuhan
'saingan' Allâh Azza wa Jalla . Sebab tidak ada yang sanggup mengabulkan
permohonan tersebut melainkan hanya Allâh Azza wa Jalla .
Senada dengan ayat di atas, firman Allâh Azza wa Jalla berikut :
قُلْ مَنْ يُنَجِّيكُمْ مِنْ ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ تَدْعُونَهُ
تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً لَئِنْ أَنْجَانَا مِنْ هَٰذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ
الشَّاكِرِينَ ﴿٦٣﴾ قُلِ اللَّهُ يُنَجِّيكُمْ مِنْهَا وَمِنْ كُلِّ كَرْبٍ
ثُمَّ أَنْتُمْ تُشْرِكُونَ
Katakanlah, "Siapakah yang dapat menyelamatkan kalian dari bencana di
darat dan di laut, yang kalian berdoa kepada-Nya dengan berendah diri
dan suara yang lembut (dengan mengatakan), 'Sesungguhnya jika Dia
menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami akan menjadi
orang-orang yang bersyukur'. Katakan, "Allâhlah yang menyelamatkan
kalian dari bencana itu dan dari segala macam kesusahan. Lantas mengapa
kalian kembali mempersekutukan-Nya?!". [al-An'âm/6: 63-64]
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ
Apapun nikmat yang ada dalam diri kalian, maka dari Allâh-lah
(datangnya). Dan bila kalian ditimpa marabahaya, maka hanya
kepada-Nya-lah (seharusnya) kalian meminta pertolongan [an-Nahl/16:53]
Dan masih banyak lagi firman Allâh yang semakna dengan ayat-ayat di
atas, yang menegaskan bahwa segala bentuk kebaikan di dunia maupun
akhirat, hanya Allâh Azza wa Jalla sajalah yang mendatangkannya.
Sebagaimana pula segala bentuk keburukan di dunia ataupun akhirat,
hanyalah Allâh Azza wa Jalla yang menghindarkannya dari diri kita.
Karena itulah, kita dapatkan qudwah kita, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam pun mencontohkan untuk selalu kembali kepada Allâh Azza wa
Jalla dalam segala urusan.
Mari kita cermati sebagian dari doa yang beliau baca :
اللَّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا، وَأَجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الْآخِرَةِ
Ya Allâh, jadikanlah akhir dari seluruh urusan kami baik, dan
selamatkanlah kami dari kehinaan dunia dan siksaan akhirat [HR. Ibnu
Hibbân 3/230 no. 949]
يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، أَصْلِحْ لِيْ
شَأْنِيْ كُلَّهُ، وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ
Wahai Yang Maha hidup dan Yang terus menerus mengurus makhluk-Nya,
dengan rahmat-Mu-lah aku memohon pertolongan. Perbaikilah seluruh
keadaanku, dan janganlah Engkau jadikanku bergantung kepada diriku
sendiri, walaupun itu hanya sekejap mata [HR. al-Hâkim 1/739 no. 2051]
اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو فَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ
عَيْنٍ وَأَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ
Ya Allâh, rahmat-Mu-lah yang kuharapkan. Maka janganlah Engkau jadikan
aku bergantung kepada diriku sendiri, walaupun itu hanya sekejap mata.
Dan perbaikilah seluruh keadaanku. Tidak ada yang berhak diibadahi
melainkan Engkau. [HR. Abu Dâwud, 5/204 no. 5090 dari Abu Bakrah
Radhiyallahu anhu , dan dinilai sahîh oleh Ibn Hibbân (III/250 no. 970].
Lihatlah bagaimana Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menisbatkan
seluruh urusan kepada Allâh Azza wa Jalla , dan memberi kita teladan
agar senantiasa mengembalikan segala sesuatu hanya kepada Allâh Azza wa
Jalla !. Pernahkah beliau -walaupun hanya sekali- mengajarkan kepada
umatnya agar bergantung kepada beliau?! Mustahil beliau mengarahkan
demikian, sebab beliau sendirilah yang berkata, "Janganlah Engkau (Ya
Allâh) jadikan aku bergantung kepada diriku sendiri, walaupun itu hanya
sekejap mata". Beliau mencontohkan praktek tawakkal yang begitu tinggi,
dimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ingin bergantung pada
diri sendiri, walaupun itu hanya sesaat, sekedipan mata! Mengapa kita
tidak meneladaninya dalam hal ini dan yang lainnya?
Cermati pula doa terakhir!. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutup
doanya dengan kalimat thayyibah LA ILÂHA ILLALLÂH, yang menunjukkan
-wallahua'lam- bahwa seluruh permintaan di atas adalah bentuk ibadah
yang hanya boleh dipersembahkan kepada Allâh Azza wa Jalla .
MEMBACA SHALAWAT NARIYAH BERARTI MENGAGUNGKAN RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM?
Barangkali inilah argumen terakhir mereka untuk melegalkan pembacaan
shalawat Nâriyah dan shalawat semisal lainnya. Dengan dalih pengagungan
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mereka mempertahankan
shalawat yang menyimpang dari ajaran Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tersebut. Bahkan yang lebih parah, ada sebagian mereka yang
berusaha mengesankan pada orang awam, bahwa pihak yang mengkritisi
shalawat Nâriyah tidak mengagungkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ! Ini merupakan tindak pemutarbalikan fakta dan harus diluruskan.
Masalah pokok yang perlu diketahui pertama kali yaitu mengagungkan
Rasûlullâh Shallallahu “alaihi wa sallam hukumnya wajib. Dan ini
merupakan salah satu cabang keimanan yang besar. Cabang keimanan ini
berbeda dengan cabang keimanan cinta kepada beliau[14] , bahkan
pengagungan lebih tinggi derajatnya dibanding cinta. Sebab tidak setiap
yang mencintai sesuatu ia pasti mengagungkannya. Contohnya, orang tua
mencintai anaknya, namun kecintaannya hanya akan mengantarkan untuk
memuliakannya dan tidak mengantarkan untuk mengagungkannya. Beda dengan
kecintaan anak kepada orang tuanya, yang akan mengantarkan untuk
memuliakan dan mengagungkan mereka berdua.[15]
Di antara hak Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang harus
ditunaikan oleh umatnya adalah pemuliaan, pengagungan dan penghormatan
terhadap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Pengagungan, pemuliaan
dan penghormatan harus melebihi pemuliaan, pengagungan dan penghormatan
seorang anak terhadap orang tuanya atau budak terhadap majikannya. Allâh
Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ
الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ ۙ أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan
mengikuti cahaya terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur'an); mereka
itulah orang-orang yang beruntung. [al-A'râf/7:157]
Tidak ada perbedaan pendapat di antara para Ulama, bahwa yang dimaksud
dengan "pemuliaan" dalam ayat di atas adalah pengagungan.[16]
PENGAGUNGAN TERHADAP RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM BERTEMPAT DI HATI, LISAN DAN ANGGOTA TUBUH [17]
Pengagungan terhadap beliau dengan hati maksudnya adalah meyakini bahwa
beliau adalah hamba dan utusan Allâh. Keyakinan ini menyebabkan
seseorang mengedepanan kecintaannya kepada Rasulullah n dariapda
kecintaannya terhadap diri sendiri, anak, orang tua dan seluruh manusia.
Keyakinan ini juga menumbuhkan rasa betapa agung dan wibawa beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta meresapi kemuliaannya,
kedudukannya dan derajatnya yang tinggi.
Hati merupakan raja dari tubuh, manakala pengagungan Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghujam kuat dalam hati, niscaya
dampaknya secara lahiriah akan nampak jelas. Lisan akan senantiasa basah
dengan pujian kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
menyebutkan kemuliaan-kemuliaannya. Begitu pula anggota tubuh akan
tunduk menjalankan segala tuntunan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
taat kepada syariat dan ajaran beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
serta menunaikan segala haknya.
Adapun pengagungan terhadap beliau dengan lisan, maksudnya adalah memuji
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pujian yang berhak untuk
dimilikinya, yaitu pujian yang Allâh dan Rasul-Nya n lantunkan untuk
beliau, tanpa mengandung unsur berlebihan atau sebaliknya. Dan di antara
pujian yang paling agung adalah membaca shalawat untuk beliau.[18]
Kata al-Halîmy (338-403 H), shalawat kepada Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam berarti pengagungan terhadap beliau di dunia, dengan
mengangkat namanya, menampakkan agamanya dan mengabadikan syariatnya.
Sedangkan di akhirat, maksudnya adalah permohonan agar limpahan pahala
mengalir padanya, syafaat beliau tercurah untuk umatnya dan kemuliaan
beliau dengan al-maqâm al-mahmûd terlihat jelas[19].
Termasuk bentuk pengagungan dengan lisan yaitu beradab saat menyebut
beliau dengan lisan kita. Caranya adalah dengan menggandengkan nama
beliau dengan sebutan Nabi atau Rasûlullâh, lalu diakhiri dengan
shalawat kepada beliau. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا
Janganlah engkau jadikan panggilan Rasûlullâh di antara kalian seperti
panggilan sebagian kalian kepada sebagian yang lain. [an-Nûr/24:63]
Karena itulah para sahabat selalu memanggil Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan panggilan, "Wahai Rasûlullâh!" atau "Wahai Nabiyullâh!".
Juga hendaknya penyebutan nama beliau ditutup dengan shalawat;
"shallallahu'alaihi wa sallam" bukan hanya dengan singkatan SAW atau
yang semisal. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الْبَخِيلُ الَّذِي مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ
Orang yang pelit adalah orang yang tatkala namaku disebut di hadapannya,
ia tidak bershalawat padaku. [HR. Tirmidzi, no. 3546 dari Ali bin Abi
Thâlib Radhiyallahu anhu. At-Tirmidzi rahimahullah menyatakan hadits ini
"Hasan sahih gharib"].
Termasuk bentuk pengagungan dengan lisan pula yaitu menyebutkan
keutamaan-keutamaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , keistimewaan
dan mukjizatnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengenalkan sunnah beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada masyarakat, mengingatkan mereka
terhadap kedudukan serta hak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
mengajarkan pada mereka akhlak dan sifat mulia beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam . Menceritakan sejarah hidup beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam , serta menjadikannya sebagai pujian, baik dengan
bait-bait syair maupun bukan, namun dengan syarat tidak melampaui batas
ketentuan syariat, semisal pengagungan yang berlebihan dan yang semisal.
Sedangkan pengagungan dengan anggota tubuh, berarti mengamalkan syariat
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , meneladani sunnahnya, mengikuti
perintahnya secara lahir maupun batin dan berpegang kuat dengannya.
Ridha dan ikhlas dengan aturan yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bawa, berusaha menebarkan tuntunannya, membela sunnahnya, melawan
mereka yang menentangnya serta membangun kecintaan dan kebencian di
atasnya.
Menjauhi segala yang dilarang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
tidak menyelisihi perintahnya dan bertaubat serta beristighfar manakala
terjerumus ke dalam penyimpangan.
"Taat kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan
konsekwensi keimanan kepada beliau dan keyakinan akan kebenaran yang
dibawanya dari Allâh. Sebab beliau tidaklah memerintahkan atau melarang
dari sesuatu, melainkan dengan seizin dari Allâh. Sebagaimana dalam
firman-Nya :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ
Kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allâh. [an-Nisâ'/4:64]
Dan makna ketaatan kepada Rasûlullâh adalah menjalankan perintah-perintahnya serta menjauhi larangan-larangannya."[20]
Kesimpulannya adalah pengagungan yang hakiki terhadap Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersimpulkan dalam empat kalimat yaitu
mempercayai berita yang bersumber dari beliau, mentaati perintahnya,
menjauhi larangannya dan beribadah dengan tata cara yang
disyariatkannya.[21]
RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM MELARANG KITA UNTUK BERLEBIHAN DALAM MENGAGUNGKANNYA
Secara garis besar, Allâh Azza wa Jalla telah melarang kita dari sikap
berlebihan dalam beragama, baik itu dalam keyakinan, ucapan maupun
amalan. Sebagaimana dalam Qur’an surat an-Nisâ'/4:171.
Dan Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang secara khusus
dari sikap berlebihan dalam memujinya. Sebagaimana dalam sabdanya,
لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
Janganlah kalian berlebihan dalam memujiku sebagaimana kaum Nasrani
berlebihan dalam memuji Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah
hamba-Nya, maka ucapkanlah, "(Muhammad adalah) hamba Allâh dan
Rasul-Nya" [HR. Bukhâri (6/478 no. 3445 –al-Fath) dari Umar bin Khatthab
Radhiyallahu anhu]
Dan Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengingkari para
sahabatnya yang berlebihan dalam memuji beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , karena khawatir mereka akan melampaui batas, sehingga
terjerumus dalam hal yang terlarang. Juga demi menjaga kemurnian tauhid,
agar tidak ternodai dengan kotoran syirik dan bid'ah. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat berhati-hati dalam mengantisipasi
hal tersebut, bahkan sampaipun dari hal-hal yang barangkali tidak
dikategorikan syirik atau bid'ah.
Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu bercerita,
أَنَّ رَجُلًا قَالَ: "يَا مُحَمَّدُ، يَا سَيِّدَنَا، وَابْنَ سَيِّدِنَا،
وَخَيْرَنَا، وَابْنَ خَيْرِنَا!" فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ بِتَقْوَاكُمْ،
وَلَا يَسْتَهْوِيَنَّكُمْ الشَّيْطَانُ، أَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ
اللَّهِ عَبْدُاللَّهِ وَرَسُولُهُ، وَاللَّهِ مَا أُحِبُّ أَنْ
تَرْفَعُونِي فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِي أَنْزَلَنِي اللَّهُ عَزَّ
وَجَلَّ".
(Suatu hari) ada seseorang yang berkata, "Wahai Muhammad, wahai
sayyiduna (pemimpin kami), putra sayyidina, wahai orang yang terbaik di
antara kami, putra orang terbaik di antara kami!". Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, "Wahai para manusia,
bertakwalah kalian! Jangan biarkan setan menyesatkan kalian. Aku adalah
Muhammad bin Abdullah; hamba Allâh dan Rasul-Nya. Demi Allâh, aku tidak
suka kalian mengangkatku melebihi kedudukan yang telah Allâh tentukan
untukku". [HR. Ahmad (20/23 no. 12551) dan dinilai sahih oleh adh-Dhiyâ'
al-Maqdisy (5/25 no. 1627) dan Ibn Hibbân (14/133 no. 6240].
Dengan keterangan di atas, insyaAllâh telah terlihat jelas, mana bentuk
pengagungan yang terpuji dan mana bentuk pengagungan yang tercela.
Penulis tutup makalah ini dengan nasehat yang disampaikan Ibn Hajar
al-Haitamy (909-974 H), manakala beliau menjelaskan bahwa pengagungan
terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendaknya dengan sesuatu
yang ada dalilnya dan yang diperbolehkan, jangan sampai melampaui batas
tersebut.
Beliau berkata, "Wajib bagi setiap orang untuk tidak mengagungkan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali dengan sesuatu yang Allâh izinkan
bagi umatnya, yaitu sesuatu yang layak untuk jenis manusia. Sesungguhnya
melampaui batas tersebut akan menjerumuskan kepada kekafiran,
na'udzubillahi min dzalik. Bahkan melampaui batas sesuatu yang telah
disyariatkan, pada asalnya akan mengakibatkan penyimpangan. Maka
hendaknya kita mencukupkan diri dengan sesuatu yang ada dalilnya."[22]
Beliau rahimahullah menambahkan, "Ada dua kewajiban yang harus dipenuhi:
Pertama, kewajiban untuk mengagungkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengangkat derajatnya di atas seluruh makhluk.
Kedua, mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dan meyakini bahwa Allâh Maha
Esa dalam dzat dan perbuatan-Nya atas seluruh makhluk-Nya. Barang siapa
meyakini bahwa sesosok makhluk menyertai Allâh dalam hal tersebut; maka
ia telah berbuat syirik. Dan barang siapa merendahkan Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah derajat (yang seharus)nya maka ia
telah berbuat maksiat atau kafir.
Namun barang siapa yang mengagungkan beliau dengan berbagai jenis
pengagungan dan tidak sampai menyamai sesuatu yang merupakan kekhususan
Allâh, maka ia telah menggapai kebenaran, dan berhasil menjaga dimensi
ketuhanan serta kerasulan. Inilah ideologi yang tidak mengandung unsur
ekstrim atau sebaliknya".[23] Wallahu a'lam
Makkah al-Mukarramah, 25 Sya'ban 1431 H / 6 Agustus 2010
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1431H/2010M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Tafsir al-Qur'ânil 'Azhîm, 6/457).
[2]. Judul buku-buku lainnya bisa dilihat, antara lain, di mukadimah
Syaikh Masyhûr bin Hasan Salmân hafzhahullah dalam tahqîq Jalâ'ul Afhâm
hlm. 8-29.
[3]. Tafsîr ar-Râzy (20/180). Setelah menyebutkan dua syarat di atas,
ar-Râzy rahimahullah menyebutkan syarat ketiga, yaitu iman. Sebab iman
merupakan syarat utama agar amalan membuahkan pahala. Selain Mukmin
tidak akan diterima amalannya, baik dia ikhlas maupun tidak, entah
sesuai syariat maupun tidak. Karena ia belum mau memeluk agama, yang
segala amalan tidak akan diterima melainkan dari pemeluk agama tersebut.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala yang artinya, "Barangsiapa
mencari agama selain Islam; maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi".
(Ali Imrân/3:85). Karena begitu gamblangnya permasalahan ini, banyak di
antara para ulama yang tidak menyebutkan syarat iman ini, sebab hal itu
sudah sangat jelas dan tidak samar.
[4]. Tafsîr Ibn Katsîr (1/385).
[5]. Dalam kitabnya Jalâ'ul Afhâm (hlm. 380-520), Ibnul Qayyim t
menyebutkan ada empat puluh satu momen disyariatkannya membaca shalawat
kepada Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam.
[6]. Lihat: Âtsâr ash-Shalawât al-Wâhidiyyah fî Akhlâq Thullâb Ma'had
at-Tahdîb Ngoro Jombang 'Âm: 2004, skripsi Institut Studi Islam
Darussalam Gontor, yang disusun oleh Ahmad Luthfi Ridha (hlm. a).
[7]. Tuntunan Ziarah Wali Songo karya Abdul Muhaimin (hlm. 144).
[8]. Rahasia Keutamaan dan Keistimewaan Sholawat karya Nur Muhammad
Khadafi, dinukil dari Âtsâr ash-Shalawât al-Wâhidiyyah hlm. 21
[9]. www.indospritual.com.
[10]. Lihat, al-Fishâl fî al-Milal wa al-Ahwâ' wa an-Nihal (2/221).
[11]. Lihat, Majmû' al-Fatâwâ (1/9).
[12]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam mukadimah Shahihnya (1/15).
[13]. Lihat Tafsîr Ibn Katsîr (6/203)
[14]. Lihat, al-Minhâj fî Syu'ab al-Îmân karya al-Halîmy (II/124) dan al-Jâmi' li Syu'ab al-Îmân karya al-Baihaqy (III/95).
[15]. Lihat, al-Minhâj fî Syu'ab al-Îmân (II/124).
[16]. Lihat, Ibid (II/125).
[17]. Diringkas dari Huqûqun Nabi shallallahu'alaihiwasallam 'alâ
Ummatih fî Dhau'i al-Kitâb wa as-Sunnah, karya Dr. Muhammad bin Khalifah
at-Tamimy (II/466-478).
[18]. Di awal tulisan ini, kami telah bawakan beberapa dalil dari al-Qur'an dan Sunnah tentang disyariatkannya membaca shalawat.
[19]. Lihat, al-Minhâj fî Syu'ab al-Îmân (2/134).
[20]. An-Nûr al-Mubîn fî Mahabbah Sayyid al-Mursalîn karya KH. Muhammad Hasyim Asy'ari (hlm. 5-6).
[21]. Lihat: Ar-Radd 'alâ al-Akhnâ'iy karya Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah
(hlm. 18) dan al-Ushûl ats-Tsalâtsah wa Adillatuhâ karya Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab (hlm. 23).
[22]. Al-Jauhar al-Munazham fî Ziarah Qabr an-Nabi
shallallahu'alaihiwasallam wa Karram (hlm. 64) dinukil dari Ârâ' Ibn
Hajar al-Haitamy al-I'tiqâdiyyah 'Ardh wa Taqwîm fî Dhau'I 'Aqîdah
as-Salaf karya Muhammad bin Abdul Aziz asy-Syayi' (hlm. 450).
[23]. Al-Jauhar al-Munazham (hlm. 13) dinukil dari Ârâ' Ibn Hajar al-Haitamy al-I'tiqâdiyyah.