Jumat, 20 September 2013

Adab Imam & Makmum
dalam
Shalat Berjama'ah

(Oleh: Armen Halim Naro)
Seorang muslim yang baik, senantiasa berupaya untuk menyempurnakan setiap amalnya, karena hal itu merupakan bukti keimanannya. Kesempurnaan pelaksanaan shalat berjama'ah merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Persatuan dan kesatuan umat Islam terlihat dari lurus dan rapatnya suatu shaf (dalam shalat berjama'ah), sebagaimana yang disabdakan oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam:
hadits
Hendaklah kalian luruskan shaf kalian,
atau Allâh akan memecah belah persatuan kalian.[1]

Pembahasan ini terbagi menjadi dua bagian. Pertama, Adab-adab Imam dan kedua, Adab-adab Makmum.
Tidak diragukan lagi, bahwa tugas imam merupakan tugas keagamaan yang mulia, yang telah diemban sendiri oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dan juga Khulafa‘ Ar Rasyidin radhiyallâhu'anhum setelah beliau shallallâhu 'alaihi wasallam wafat.
Banyak hadits yang menerangkan tentang fadhilah imam. Diantaranya sabda Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam, “Tiga golongan di atas unggukan misik pada hari kiamat,” kemudian beliau menyebutkan, diantara mereka, (ialah) seseorang yang menjadi imam untuk satu kaum sedangkan mereka (kaum tersebut) suka kepadanya. Pada hadits yang lain disebutkan, bahwa dia memperoleh pahala seperti pahala orang-orang yang shalat di belakangnya.[2]
Akan tetapi –dalam hal ini– manusia berada di dua ujung pertentangan. Pertama, menjauhnya para penuntut ilmu dari tugas yang mulia ini, tatkala tidak ada penghalang yang menghalanginya menjadi imam. Dan yang kedua, –sangat disayangkan– masjid pada masa sekarang ini telah sepi dari para imam yang bersih dan berilmu dari kalangan penuntut ilmu dan ahli ilmu –kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allâh Ta'âla–.
Bahkan kebanyakan yang mengambil posisi ini dari golongan orang-orang awam dan orang-orang yang bodoh. Semisal, dalam hal membaca al-Fatihah saja tidak tepat, apalagi menjawab pertanyaan tentang sebuah hukum dalam agama. Mereka tidaklah maju ke depan, kecuali dalam rangka mencari penghasilan.
Secara tidak langsung, –para imam seperti ini– menjauhkan orang-orang yang semestinya layak menempati posisi yang penting ini. Hingga, –sebagaimana yang terjadi di sebagian daerah kaum muslimin– sering kita temui, seorang imam masjid tidak memenuhi kriteria kelayakan syarat-syarat menjadi imam.
Oleh karenanya, tidaklah aneh, kita melihat ada diantara mereka yang mencukur jenggot, memanjangkan kumis, menjulurkan pakaiannya (sampai ke lantai) dengan sombong, atau memakai emas, merokok, mendengarkan musik, atau bermu’amalah dengan riba, menipu dalam bermua`amalah, memberi saham dalam hal yang haram, atau istrinya ber-tabarruj, atau membiarkan anak-anaknya tidak shalat, bahkan kadang-kadang sampai kepada perkara yang lebih parah dari apa yang telah kita sebutkan di atas”. [3]
Berikut ini, akan dijelaskan tentang siapa yang berhak menjadi imam, dan beberapa adab berkaitan dengannya.

Pertama: Menimbang diri, apakah dirinya layak menjadi imam untuk jama’ah, atau ada yang lebih afdhal darinya?
Penilaian ini tentu berdasarkan sudut pandang syari’at. Diantara yang harus menjadi penilaiannya ialah: [4]
Jika seseorang sebagai tamu, maka yang berhak menjadi imam ialah tuan rumah, jika tuan rumah layak menjadi imam.
Penguasa lebih berhak menjadi imam, atau yang mewakilinya. Maka tidaklah boleh maju menjadi imam, kecuali atas izinnya. Begitu juga orang yang ditunjuk oleh penguasa sebagai imam, yang disebut dengan imam rawatib.
Kefasihan dan kealiman dirinya. Maksudnya, jika ada yang lebih fasih dalam membawakan bacaan Al Qur'an dan lebih ‘alim, sebaiknya dia mendahulukan orang tersebut. Hal ini ditegaskan oleh hadits yang diriwayatkan Abi Mas`ud Al Badri radhiyallâhu'anhu.
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:
hadits
Yang (berhak) menjadi imam (suatu) kaum,
ialah yang paling pandai membaca Kitabullah.
Jika mereka dalam bacaan sama,
maka yang lebih mengetahui tentang sunnah.
Jika mereka dalam sunnah sama,
maka yang lebih dahulu hijrah.
Jika mereka dalam hijrah sama,
maka yang lebih dahulu masuk Islam
(dalam riwayat lain: umur).
Dan janganlah seseorang menjadi imam terhadap yang lain
di tempat kekuasaannya (dalam riwayat lain: di rumahnya).
Dan janganlah duduk di tempat duduknya,
kecuali seizinnya.[5]

Seseorang tidak dianjurkan menjadi imam, apabila jama’ah tidak menyukainya. Dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu radhiyallâhu'anhu disebutkan:
hadits
Tiga golongan yang tidak terangkat shalat mereka
lebih satu jengkal dari kepala mereka:
(Yaitu) seseorang menjadi imam suatu kaum
yang membencinya... [6]

Berkata Shiddiq Hasan Khan rahimahullâh:
”Dhahir hadits yang menerangkan hal ini, bahwa tidak ada perbedaan antara orang-orang yang membenci dari orang-orang yang mulia (ahli ilmu, pent), atau yang lainnya. Maka, dengan adanya unsur kebencian, dapat menjadi udzur bagi yang layak menjadi imam untuk meninggalkannya.
Kebanyakan, kebencian yang timbul –terkhusus pada zaman sekarang ini– berasal dari permasalahan dunia. Jika ada di sana dalil yang mengkhususkan kebencian, karena kebencian (didasarkan, red.) karena Allâh, seperti seseorang membenci orang yang bergelimang maksiat, atau melalaikan kewajiban yang telah dibebankan kepadanya, maka kebencian ini bagaikan kibrit ahmar (ungkapan untuk menunjukkan sesuatu yang sangat langka, pen.). Tidak ada hakikatnya, kecuali pada bilangan tertentu dari hamba Allâh.
(Jika) tidak ada dalil yang mengkhususkan kebencian tersebut, maka yang lebih utama, bagi siapa yang mengetahui, bahwa sekelompok orang membencinya –tanpa sebab atau karena sebab agama– agar tidak menjadi imam untuk mereka, pahala meninggalkannya lebih besar dari pahala melakukannya.[7]

Berkata Ahmad dan Ishaq:
”Jika yang membencinya satu, dua atau tiga, maka tidak mengapa ia shalat bersama mereka, hingga dibenci oleh kebanyakan kaum.”[8]

Kedua: Seseorang yang menjadi imam harus mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan shalat, dari bacaan-bacaan shalat yang shahih, hukum-hukum sujud sahwi dan seterusnya.
Seringkali kita mendapatkan seorang imam memiliki bacaan yang salah, sehingga merubah makna ayat, sebagaimana yang pernah penulis dengar dari sebagian imam yang sedang membawakan surat Al Lumazah, dia mengucapkan ”Allazi jâma‘a mâlaw wa ‘addadah”, dengan memanjangkan “Ja”, sehingga artinya berubah dari arti ‘mengumpulkan’ harta, menjadi ‘menyetubuhi’nya.[9] Na‘uzubillah.

Ketiga: Mentakhfif shalat.
Yaitu mempersingkat shalat demi menjaga keadaan jama’ah dan untuk memudahkannya. Batasan dalam hal ini, ialah mencukupkan shalat dengan hal-hal yang wajib dan yang sunat-sunat saja, atau hanya mencukupkan hal-hal yang penting dan tidak mengejar semua hal-hal yang dianjurkan.[10]
Di antara nash yang menerangkan hal ini, ialah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu :
hadits
Jika salah seorang kalian shalat bersama manusia,
maka hendaklah (dia) mentakhfif,
karena pada mereka ada yang sakit, lemah dan orang tua.
(Akan tetapi), jika dia shalat sendiri, maka berlamalah sekehendaknya.[11]

Akan tetapi perlu diingat, bahwa takhfif merupakan suatu perkara yang relatif. Tidak ada batasannya menurut syari’at atau adat. Bisa saja menurut sebagian orang pelaksanaan shalatnya terasa panjang, sedangkan menurut yang lain terasa pendek, begitu juga sebaliknya.
Oleh karenanya, hendaklah bagi imam mencontoh yang dilakukan Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam, bahwa penambahan ataupun pengurangan yang dilakukan beliau shallallâhu 'alaihi wasallam dalam shalat, kembali kepada mashlahat. Semua itu, hendaklah dikembalikan kepada sunnah, bukan pada keinginan imam, dan tidak juga kepada keinginan makmum.[12]

Keempat: Kewajiban imam untuk meluruskan dan merapatkan shaf.
Ketika shaf dilihatnya telah lurus dan rapat, barulah seorang imam bertakbir, sebagaimana Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam mengerjakannya.
Dari Nu‘man bin Basyir radhiyallâhu'anhu berkata:
”Adalah Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam meluruskan shaf kami. Seakan-akan beliau meluruskan anak panah. Sampai beliau melihat, bahwa kami telah memenuhi panggilan beliau. Kemudian, suatu hari beliau keluar (untuk shalat). Beliau berdiri, dan ketika hendak bertakbir, nampak seseorang kelihatan dadanya maju dari shaf. Beliaupun berkata:
hadits
Hendaklah kalian luruskan shaf kalian,
atau Allâh akan memecah-belah persatuan kalian.[13]

Adalah Umar bin Khattab radhiyallâhu'anhu mewakilkan seseorang untuk meluruskan shaf. Beliau tidak akan bertakbir hingga dikabarkan, bahwa shaf telah lurus. Begitu juga Ali dan Utsman melakukannya juga. Ali sering berkata, ”Maju, wahai fulan! Ke belakang, wahai fulan!”[14]
Salah satu kesalahan yang sering terjadi, seorang imam menghadap kiblat dan dia mengucapkan dengan suara lantang, ”Rapat dan luruskan shaf,” kemudian dia langsung bertakbir. Kita tidak tahu, apakah imam tersebut tidak tahu arti rapat dan lurus. Atau rapat dan lurus yang dia maksud berbeda dengan rapat dan lurus yang dipahami oleh semua orang?!
Anas bin Malik radhiyallâhu'anhu berkata:
“Adalah salah seorang kami menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki kawannya.” Dalam satu riwayat disebutkan, ”Aku telah melihat salah seorang kami menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki temannya. Jika engkau lakukan pada zaman sekarang, niscaya mereka bagaikan keledai liar (tidak suka dengan hal itu, pen).”[15]
Oleh karenanya, Busyair bin Yasar Al Anshari berkata, dari Anas radhiyallâhu'anhu, ”Bahwa ketika beliau datang ke Madinah, dikatakan kepadanya, ’Apa yang engkau ingkari pada mereka semenjak engkau mengenal Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam?’ Beliau menjawab, ’Tidak ada yang aku ingkari dari mereka, kecuali mereka tidak merapatkan shaf’.” [16]
Berkata Syaikh Masyhur bin Hasan hafizhahullah:
”Jika para jama’ah tidak mengerjakan apa yang dikatakan oleh Anas dan Nu‘man radhiyallâhu'anhuma, maka celah-celah tetap ada di shaf. Kenyataanya, jika shaf dirapatkan, tentu shaf dapat diisi oleh dua atau tiga orang lagi. Akan tetapi, jika mereka tidak melakukannya, niscaya mereka akan jatuh ke dalam larangan syari’at. Diantaranya:
Membiarkan celah untuk syetan dan Allâh Ta'âla putuskan perkaranya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiyallâhu'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda, ”Luruskanlah shaf kalian, dan luruskanlah pundak-pundak kalian, dan tutuplah celah-celah. Jangan biarkan celah-celah tersebut untuk syetan. Barangsiapa yang menyambung shaf, niscaya Allâh akan menyambung (urusan)nya. Barangsiapa yang memutuskan shaf, niscaya Allâh akan memutus (urusan)nya.”[17].
Perpecahan hati dan banyaknya perselisihan diantara jama’ah.
Hilangnya pahala yang besar, sebagaimana diterangkan dalam hadits shahih, diantaranya
sabda Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam:
hadits
Sesungguhnya Allâh dan MalaikatNya mendo’akan
orang yang menyambung shaf.[18][19]

Kelima: Meletakkan orang-orang yang telah baligh dan berilmu di belakang imam.
Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam :
hadits
Hendaklah yang mengiringiku
orang-orang yang telah baligh dan berakal,
kemudian orang-orang setelah mereka,
kemudian orang-orang setelah mereka,
dan janganlah kalian berselisih,
niscaya berselisih juga hati kalian,
dan jauhilah oleh kalian suara riuh seperti di pasar.[20]

Keenam: Membuat sutrah (pembatas)[21] ketika hendak shalat.
Hadits yang menerangkan hal ini sangat mashur. Diantaranya hadits Ibnu Umar radhiyallâhu'anhu:
hadits
Janganlah shalat, kecuali dengan menggunakan sutrah (pembatas).
Dan jangan biarkan seseorang lewat di hadapanmu.
Jika dia tidak mau, maka bunuhlah dia,
sesungguhnya bersamanya jin.[22]

Sedangkan dalam shalat berjama’ah, maka kewajiban mengambil sutrah ditanggung oleh imam. Hal ini tidak perselisihan di kalangan para ulama.[23]
Nabi telah menerangkan, bahwa lewat di hadapan orang yang shalat merupakan perbuatan dosa. Beliau shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda,
”Jika orang yang lewat di hadapan orang shalat mengetahui apa yang dia peroleh (dari dosa, pen), niscaya (dia) berdiri selama empat puluh, (itu) lebih baik daripada melewati orang yang sedang shalat tersebut.”
Salah seorang rawi hadits bernama Abu Nadhar berkata:
”Aku tidak tahu, apakah (yang dimaksud itu, red.) empat puluh hari atau bulan atau tahun.[24]

Ketujuh: Menasihati jama’ah, agar tidak mendahului imam dalam ruku’ atau sujudnya, karena (seorang) imam dijadikan untuk diikuti.
Imam Ahmad berkata:
”Imam (adalah) orang yang paling layak dalam menasihati orang-orang yang shalat di belakangnya, dan melarang mereka dari mendahuluinya dalam ruku’ atau sujud. Janganlah mereka ruku’ dan sujud serentak (bersamaan) dengan imam. Akan tetapi, hendaklah memerintahkan mereka agar rukuk dan sujud mereka, bangkit dan turun mereka (dilakukan) setelah imam. Dan hendaklah dia berbaik dalam mengajar mereka, karena dia bertanggung jawab kepada mereka dan akan diminta pertanggungjawaban besok. Dan seharusnyalah imam meperbaiki shalatnya, menyempurnakan serta memperkokohnya. Dan hendaklah hal itu menjadi perhatiannya, karena, jika dia mendirikan shalat dengan baik, maka dia pun memperoleh ganjaran yang serupa dengan orang yang shalat di belakangnya. Sebaliknya, dia berdosa seperti dosa mereka, jika dia tidak menyempurnakan shalatnya.”[25]

Kedelapan. Dianjurkan bagi imam, ketika dia ruku’ agar memanjangkan sedikit ruku’nya, manakala merasa ada yang masuk, sehingga (yang masuk itu) dapat memperoleh satu raka’at, selagi tidak memberatkan makmum, karena kehormatan orang-orang yang makmum lebih mulia dari kehormatan orang yang masuk tersebut.
[26]

Demikianlah sebagian adab-adab imam yang dapat kami sampaikan. Insya Allâh, pada edisi mendatang akan kami terangkan adab-adab makmun. Wallahu ‘a‘lam.

[1] HR Muslim no. 436.
[2] Kitab Mulakhkhsul Fiqhi, Syaikh Shalih bin Fauzan, halaman 1/149.
[3] Kitab Akhtha-ul Mushallin, Syaikh Masyhur Hasan Al Salman, halaman 249.
[4] Ibid, halaman 1/151.
[5] HR Muslim 2/133. Lihat Irwa‘ Ghalil 2/256-257.
[6] HR Ibnu Majah no. 971. Berkata Syaikh Khalil Makmun Syikha,”Sanad ini shahih, dan rijalnya tsiqat.” Hadits ini juga diriwayatkan melalui jalan Thalhah, Abdullah bin Amr dan Abu Umamah c . Berkata Shiddiq Hasan Khan,”Dalam bab ini, banyak hadits dari kelompok sahabat saling menguatkan satu sama lain.” (Lihat Ta‘liqatur Radhiyah, halaman 1/336.
[7] Ta‘liqatur Radhiyah, halaman 1/337-338.
[8] Lihat Dha‘if Sunan Tirmizi, halaman 39.
[9] Sebagaimana yang dikisahkan kepada penulis, bahwa seorang imam berdiri setelah raka’at keempat pada shalat ruba‘iah (empat raka‘at). Ketika dia berdiri, maka bertasbihlah para makmun yang berada di belakangnya, sehingga membuat masjid menjadi riuh.
Tasbih makmum malah membuat imam bertambah bingung. Apakah berdiri atau bagaimana!? Setelah lama berdiri, hingga membuat salah seorang makmun menyeletuk,”Raka’atnya bertambaaah, Pak!!” Lihat, bagaimana imam dan makmum tersebut tidak mengetahui tata cara shalat yang benar.
[10] Shalatul Jama’ah, Syaikh Shalih Ghanim Al Sadlan, halaman 166, Darul Wathan 1414 H.
[11] HR Bukhari, Fathul Bari, 2/199, no. 703.
[12] Shalatul Jama’ah, halaman 166-167.
[13] HR Muslim no. 436.
[14] Lihat Jami‘ Tirmidzi, 1/439; Muwaththa‘, 1/173 dan Al Umm, 1/233.
[15] HR Abu Ya‘la dalam Musnad, no. 3720 dan lain-lain, sebagimana dalam Silsilah Shahihah, no. 31.
[16] HR Bukhari no. 724, sebagaimana dalam kitab Akhtha-ul Mushallin, Syaikh Masyhur Hasan, halaman 207.
[17] HR Abu Daud dalam Sunan, no. 666, dan lihat Shahih Targhib Wa Tarhib, no. 495.
[18] HR Ahmad dalam Musnad, 4/269, 285,304 dan yang lainnya. Hadistnya shahih.
[19] Lihat Akhtha-ul Mushallin, halaman 210-211.
[20] HR Muslim no. 432 dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih, no. 1572.
[21] Pembatas yang sah untuk dijadikan sutrah adalah setinggi beban unta, yaitu kira-kira satu hasta. Lihat Akhtha-ul Mushallin, halaman 83.
[22] HR Muslim no. 260 dan yang lain.
[23] Fathul Bari, 1/572.
[24] HR Bukhari 1/584 no. 510 dan Muslim 1/363 no. 507.
[25] Kitab Shalat, halaman 47-48, nukilan dari kitab Akhtha-ul Mushallin, halaman 254.
[26] “Al-Mulakhkhashul Fiqhi” Hal. (159)

(Majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VII)

Ketika Aurat Diumbar

Seorang gadis remaja tampak gelisah, setelah ia menyadari bahwa ia telah baligh. Karena, dalam pengajian anak-anak sepekan sekali di masjid, ustadz-nya selalu menekankan wajibnya mengenakan jilbab bagi wanita yang sudah dewasa. Kewajiban itu, sama hukumnya seperti shalat lima waktu. Berpahala jika dikerjakan, dan berdosa jika ditinggalkan. Keinginan untuk berjilbab pun sangat kuat dalam hatinya. Beruntung kedua orangtua mendukungnya, hingga saat SMP ia sudah bisa mewujudkan niatnya.
Pendidikan agama dan penekanan wajibnya jilbab sejak dini, sangat penting untuk menyadarkan wanita terhadap pentingnya jilbab. Sebaliknya, minimnya pendidikan agama akan membuat seorang wanita begitu mudah menyepelekan jilbab. Meskipun demikian, ada pula wanita yang baru mendalami agama setelah dewasa, kemudian memutuskan berjilbab setelah mengetahui hukumnya. Namun sayang, jika dibandingkan dengan keseluruhan jumlah kaum muslimah di Indonesia ini, yang berjilbab atas dasar agama dan karena kesadarannya sendiri, termasuk sangat sedikit.

Masih lebih banyak wanita muslimah yang mengumbar aurat dan menanggalkan jilbab. Ini adalah bukti bahwa sebagian besar umat Islam ini masih tidak mengerti terhadap ajaran agamanya. Karena nyata-nyata perintah berjilbab itu diturunkan  langsung dengan firman Allah l, dan termuat dalam  kitab suci AlQuran. Allah l berfirman,
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.’”(al-Ahzab: 59)
Ayat ini merupakan perintah yang sangat jelas kepada wanita-wanita mukminat untuk mengenakan jilbab. Adapun yang dimaksud dengan jilbab adalah milhafah (baju kurung) dan mula’ah(kain panjang yang tidak berjahit). Di dalam kamus al-Muhithdinyatakan, bahwa jilbab itu seperti sirdaab(terowongan) atau sinmaar (lorong), yakni baju atau pakaian longgar bagi wanita selain baju kurung atau kain apa saja yang dapat menutup pakaian kesehariannya seperti halnya baju kurung.”[Kamus al-Muhith]. Sedangkan dalam kamus al-Shahhah, al-Jauhari mengatakan, “Jilbab adalah kain panjang dan longgar (milhafah) yang sering disebut dengan mula’ah (baju kurung).”[Kamus al-Shahhah, al-Jauhariy]
Sedangkan dalam ayat lain, Allah l berfirman,
“Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.’”(an-Nuur: 31)
Ayat-ayat tersebut sekaligus menjadi bantahan bagi sebagian orang yang mengatakan bahwa berjilbab bukanlah kewajiban agama, melainkan hanya produk budaya Arab yang kemudian banyak ditiru oleh kaum muslimin.

Saat Jilbab Ditanggalkan

Berikut ini beberapa hal yang akan timbul apabila jilbab ditanggalkan:
- Tidak ada bedanya penampilan wanita muslim dengan kafir
Allah l memerintahkan kaum muslimah untuk berjilbab, salah satunya adalah agar mereka lebih dikenal dan diketahui sebagai muslimah. Jadi, jilbab sesungguhnya adalah pakaian identitas seorang muslimah. Pakaian inilah yang membedakan seorang wanita Islam dengan wanita kafir. Dengan pakaian ini, jelas wanita akan tampak lebih berharga dan terhormat, dibandingkan wanita yang mengumbar auratnya. Sebagaimana barang dagangan, biasanya yang tertutup dengan rapi, lebih berharga dan lebih mahal daripada yang diobral dan bisa dijamah semua orang.
- Menjadikan wanita hilang rasa malunya, terjajah oleh mode dan dieksploitasi
Seorang wanita yang tidak berjilbab, biasanya akan berpakaian mengikuti tren atau mode yang berkembang. Padahal mode berpakaian itu selalu berubah-ubah, meskipun sama-sama mengumbar aurat. Berbagai model pakaian modis dan terlihat seksi ingin dibeli dan dipakainya. Karena itu, saat ini, marak anak-anak remaja yang berpakaian “kurang bahan” dan bergaya ala artis. Tentu ini sangat memprihatinkan.
Di sisi lain, banyak wanita yang  kebetulan memiliki tubuh indah dan wajah cantik, tergiur untuk menjadi fotomodel, bintang iklan atau mengikuti berbagai kontes kecantikan. Yang dinilai dari mereka cuma tinggi badan, lingkar dada, dan segala hal yang sifatnya fisik, bukan intelektualitas serta akhlak. Di sana aurat perempuan diumbar di bawah lensa kamera, rasa malu dibuang jauh-jauh. Sebenarnya, itu semua adalah penghinaan bagi martabat kaum wanita. Wanita hanya dijadikan pelaris barang dagangan. Sayang, demi uang, banyak wanita yang tidak merasa terhina, dan malah bangga menjalani  profesi itu.
- Maraknya pelecehan dan tindak asusila terhadap wanita
Saat ini sangat marak diberitakan berbagai kasus pelecehan seksual maupun tindak perkosaan terhadap kaum wanita. Dalam berbagai kasus tersebut, kesalahan bukan 100% dari pihak lelaki, karena kadang wanita juga berperan dengan berpakaian minim dan merangsang.
Sebenarnya, dengan berjilbab, seorang wanita telah “membantu” kaum Adam untuk menjaga pandangannya dari hal yang diharamkan.  Sebaliknya, dengan mengumbar aurat, seorang wanita juga telah memancing laki-laki untuk mengumbar pandangan dan hasrat seksualnya. Mereka memancing para lelaki untuk “mengganggunya.”
- Termasuk golongan penghuni neraka
Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah n bersabda;
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Ada dua golongan manusia yang menjadi penghuni neraka, yang sebelumnya aku tidak pernah melihatnya; yakni, sekelompok orang yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia; dan wanita yang membuka auratnya dan berpakaian tipis merangsang berlenggak-lenggok dan berlagak, kepalanya digelung seperti punuk unta. Mereka tidak akan dapat masuk surga dan mencium baunya. Padahal, bau surga dapat tercium dari jarak sekian-sekian.”(Riwayat Muslim)
Di dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi berkata, “Hadits ini termasuk salah satu mukjizat kenabian. Sungguh, akan muncul kedua golongan itu. Hadits ini bertutur tentang celaan kepada dua golongan tersebut. Sebagian ulama berpendapat, bahwa maksud dari hadits ini adalah wanita-wanita yang ingkar terhadap nikmat, dan tidak pernah bersyukur atas karunia Allah. Sedangkan ulama lain berpendapat, bahwa mereka adalah wanita-wanita yang menutup sebagian tubuhnya, dan menyingkap sebagian tubuhnya yang lain, untuk menampakkan kecantikannya atau karena tujuan yang lain. Sebagian ulama lain berpendapat, mereka adalah wanita yang mengenakan pakaian tipis yang menampakkan warna kulitnya (transparan)…mereka digelung dengan kain kerudung, s, atau yang lainnya, hingga tampak besar seperti punuk .”
Demikianlah, wanita-wanita yang disebutkan dalam hadits tersebut kini telah bermunculan. Semakin lama semakin banyak. Mereka ada di televisi, koran, majalah, internet, dan di panggung-panggung hiburan. Mereka senang dan bangga jika para lelaki terpesona dan mabuk kepayang dengan kecantikannya. Padahal, balik itu ancaman sebagai penghuni neraka sudah jelas di depan mata….Wallaahu a’lam.
Sumber: Rubrik Lentera, Majalah Sakinah, Vol. 10 no. 8