Kamis, 09 Agustus 2012

SALAH KAPRAH DALAM MENGARTIKAN KATA IDUL FITHRI

tulisan ini aku copy dari seorang sahabat,

Mengartikan "Idul Fithri" dengan "Kembali kepada fithrah (kembali suci)", adalah SALAH KAPRAH, baik secara lughah (bahasa/etimologi) maupun syara' (istilah/terminologi).

Kesalahan memaknai Idul Fithri dengan "Kembali kepada Fithrah (kembali suci)", dapat dijelaskan sebagai berikut:


1. Kesalahan Secara Lughah (Bahasa/Etimologi)

Kata "Fithri" dalam Idul Fithri, diambil dari lafazh "fithru (فطر)/ ifthaar" (أفطار), yang artinya menurut bahasa adalah berbuka (berbuka puasa jika terkait dengan puasa).

Jadi, Idul Fithri artinya "hari raya berbuka puasa". Yakni, hari di mana KITA KEMBALI BERBUKA (tidak puasa lagi) setelah selama sebulan berpuasa. Fithri di sini ditulis dengan huruf "fa-tha-ra" (فطر), yang berarti berbuka.

Adapun kata Fithrah yang juga memiliki arti suci, ditulis dengan huruf "fa-tha-ra dan ta marbuthah" (فطرة).

Dari sini SUDAH JELAS kesalahan mereka yang memaknai Idul Fithri dengan kembali suci, secara lughah (bahasa).

2. Kesalahan Secara Syara' (Istilah/Terminologi)

Makna Idul Fithri telah dijelaskan secara syara' oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits berikut:

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

"Puasa itu pada hari (ketika) kalian semua berpuasa, IDUL FITHRI (yaitu) PADA HARI KETIKA KALIAN SEMUA BERBUKA dan Idul Adha ketika kalian semua ber-Idul Adha (menyembelih hewan)."

[Hadits Riwayat at-Tirmidzi dalam Sunannya (no: 633), dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Silsilah ash-Shahihah (no: 224)].

Hadits di atas dengan tegas menyatakan bahwa Idul Fithri ialah hari raya di mana kita kembali berbuka puasa (tidak berpuasa lagi setelah selama sebulan berpuasa).

Oleh karena itu, disunnahkan makan terlebih dahulu pada pagi harinya, sebelum kita pergi ke tanah lapang untuk mendirikan shalat 'Id. Supaya umat mengetahui bahwa Ramadhan telah selesai dan hari ini adalah hari kita berbuka bersama-sama. Itulah arti Idul Fithri. Demikian pemahaman dan keterangan ahli-ahli ilmu dan TIDAK ADA KHILAF di antara mereka.

Jadi, bukan artinya "kembali kepada fithrah (suci)", karena kalau demikian niscaya terjemahan hadits menjadi:

"Al-Fithru (suci), (yaitu) pada hari ketika kalian semua bersuci."

Tidak ada yang menterjemahkan dan memahami demikian KECUALI ORANG-ORANG YANG BENAR-BENAR JAHIL TENTANG DALIL-DALIL SUNNAH dan LUGHAH/BAHASA.

(Dikutip dengan diringkas dan beberapa penyesuaian, dari kitab Al-Masaa-il, Jilid 1, karya Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat hafizhahullah, penerbit Darus Sunnah, Jakarta)

Semoga Allah Ta'ala mudahkan kaum muslimin di negeri ini kembali kepada pemahaman Islam yang benar, amin.

Semoga bermanfaat...

-Sahabatmu-
Abu Muhammad Herman.

Senin, 06 Agustus 2012

Kedudukan Kitab Durratun Nasihin


Pertanyaan :
Bagaimana kedudukan kitab Durratun Nashihin? Apakah dapat dijadikan rujukan untuk diamalkan? Jazakumullah khair
sigit@yahoo.com

Jawab:
Di masyarakat kita, kitab ini cukup populer, menjadi pegangan dalam pengutipan hadits dalam ceramah-ceramah. Lengkapnya, berjudul Durratun Nashihin Fil Wa’zhi wal Irsyad karya Syaikh ‘Utsman bin Hasan bin Ahmad Syakir al-Khubari seorang Ulama yang hidup di abad ke sembilan hijriyah.

Tentang kitab ini, kami kutipkan pernyataan Syaikh bin Baz rahimahullah dalam Fatawa Nur ‘ala ad-Darb (1/80-81), dengan ringkas sebagai berikut:

“Kitab ini tidak bisa dijadikan pegangan. (Sebab) berisi hadits-hadits maudhu (palsu) dan lemah yang tidak bisa dijadikan sandaran, sehingga tidak sepatutunya buku ini dijadikan sandaran dan kitab-kitab serupa lainnya yang berisi hadits palsu dan lemah. Hal ini karena hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendapatkan perhatian penuh dari para imam-imam (ahli) Sunnah. Mereka telah menjelaskan dan memilah hadits-hadits shahih dan yang tidak shahih. Maka, sudah seharusnya seorang mukmin memiliki kitab-kitab yang baik dan bermanfaat (saja), seperti Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, Sunan Arba’ah [1], Mumtaqa al-Akhbar karya Majdudin Ibnu Taimiyah rahimahullah dan kitab Riyadhus Shalihin karya Iman an Nawawi rahimahullah, Bulughul Marom, dan ‘Umdatul Hadits. Kitab-kitab (hadits) ini bermanfaat bagi seorang Mukmin. Kitab-kitab ini jauh dari hadits-hadits palsu dan dusta. Tentang hadits-hadits lemah yang ada di kitab Sunan, Riyadhus Shalihin atau Bulughul Marom, para penulisnya telah menjelaskan dan menyampaikan hukumnya. Hadits-hadits yang lemah yang belum dijelaskan penulis kitab-kitab tersebut, telah dipaparkan dan ditunjukkan oleh para ulama lainnya dalam kitab-kitab syarag yang menjelaskan kitab-kitab tersebut. Demikian juga dijelaskan oleh para ulama dalam karya mereka (secara khusus) tentang hadits-hadits palsu dan lemah.” [2]

Note :
[1] Empat kitab Sunan; Sunan Abu Dawud, at-Tirmidzi, an Nasa’i dan Ibnu Majah, pent.)

[2] Sebagian ulama telah membukukan hadits-hadits palsu dan lemah dalam kitab-kitab tersendiri. Misal, al-Maudhu’at karya Imam Ibnul Jauzi, al-Fawaid al-Majmu’ah karya Imam Syaukani, Silsilah al-aHadits adh-Dhai’ifa wal Maudhu’ah karya Syaikh al Albani dan lain-lain. Buku-buku ini ditulis dalam rangka memperingatkan umat dari hadits-hadits palsu dan lemah agar tidak diamalkan. Pent.

[Disalin ulang dari Majalah as Sunnah Vol.7 Edisi 11/Thn XIV/Rabiul Tsani 1432H/Maret 2011M Hal.7]

Artikel terkait tentang kitab Durratun Nashihin ni dapat di lihat juga pada judul :

Silahkan dibaca juga buku : Hadits-hadits Palsu dalam Kitab Durratun Nashihin. Dr. Ahmad Lutfi Fathullah, MA. Penerbit Darus Sunnah Press.


Sumber : http://alqiyamah.wordpress.com/2011/03/24/kedudukan-kitab-durratun-nashihin/

Benarkah Al-Qur’an Turun Pada 17 Ramadhan?


Satu perkara yang sulit dilupakan oleh kaum muslimin bahwa Al-Qur’an turun di bulan Romadhon, tepatnya malam Lailatul Qodar. Allah menurunkan Al-Qur’an di bulan suci ini karena keutamaan yang tinggi baginya, dan hikmah. Allah Ta’ala berfirman,
ﺷَﻬْﺮُ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺃُﻧْﺰِﻝَ ﻓِﻴﻪِ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁَﻥُ‏‎ ‎ﻫُﺪًﻯ ﻟِﻠﻨَّﺎﺱِ ﻭَﺑَﻴِّﻨَﺎﺕٍ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻬُﺪَﻯ ﻭَﺍﻟْﻔُﺮْﻗَﺎﻥِ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Romadhon, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia, dan penjelasan mengenai petunjuk itu, serta pembeda (antara yang haq dengan yang batil).” (QS. Al-Baqoroh: 185)
Al-Hafizh Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala memuji Bulan Puasa (Romadhon) diantara bulan-bulan lainnya dengan memilih Romadhon diantara bulan-bulan itu untuk diturunkan Al-Qur’an yang agung (di dalamnya); sebagaimana halnya Dia mengkhususkan Romadhon dengan hal itu, maka sungguh ada sebuah hadits datang (menyebutkan) bahwa Romadhon adalah bulan yang diturunkan di dalamnya Kitab-Kitab Allah kepada para nabi.“ (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1/292)
Sebagai penguat bagi ucapan Ibnu Katsir rahimahullah, Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﺃُﻧْﺰِﻟَﺖْ ﺻُﺤُﻒُ ﺇِﺑْﺮَﺍﻫِﻴْﻢَ ﺃَﻭَّﻝَ ﻟَﻴْﻠَﺔٍ ﻣِﻦْ‏‎ ‎ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﻭَﺃُﻧْﺰِﻟَﺖِ ﺍﻟﺘَّﻮْﺭَﺍﺓُ ﻟِﺴِﺖٍ ﻣَﻀَﻴْﻦَ ﻣِﻦْ‏‎ ‎ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﻭَﺃُﻧْﺰِﻝَ ﺍﻟْﺈِﻧْﺠِﻴْﻞُ ﻟِﺜَﻠَﺎﺙَ ﻋَﺸْﺮَﺓَ ﻟَﻴْﻠَﺔً‏‎ ‎ﺧَﻠَﺖْ ﻣِﻦْ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﻭَﺃُﻧْﺰِﻝَ ﺍﻟﺰَّﺑُﻮْﺭُ ﻟِﺜَﻤَﺎﻥِ‏‎ ‎ﻋَﺸْﺮَﺓَ ﺧَﻠَﺖْ ﻣِﻦْ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﻭَﺃُﻧْﺰِﻝَ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥُ‏‎ ‎ﻟِﺄَﺭْﺑَﻊٍ ﻭَﻋِﺸْﺮِﻳْﻦَ ﺧَﻠَﺖْ ﻣِﻦْ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ
“Shuhuf Ibrahim diturunkan di malam pertama Romadhon; Taurat diturunkan pada 7 Ramadhan; Injil diturunkan pada 14 Ramadhan; Zabur diturunkan pada tanggal 19 Ramadhan; Al-Qur’an diturunkan pada 25 Ramadhan.” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad (4/107), Abdul Ghoniy Al-Maqdisiy dalam Fadho’il Romadhon (53/1), dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq (2/167/1). Dihasankan oleh Al-Albaniy dalam Shohih As-Siroh, hal. 90)
Hadits ini merupakan bantahan -dari segi sejarah- atas orang yang meyakini bahwa Nuzulul Qur’an pada tanggal 17 Romadhon!!!
Di dalam Al-Qur’an sendiri Allah Ta’ala telah menerangkan kapan turunnya Al-Qur’an, yaitu melalui firman-Nya:
ﺇِ ﻧَّﺂ ﺃَﻧْﺰَﻟْﻨَﻪُ ﻓِﻰ ﻟَﻴْﻠَﺔِ ﺍﻟْﻘَﺪْﺭِ
“Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan (lailatul qadar).” (QS. Al-Qadr: 1)
Kapan lailatul qadar itu? Nabi shallahu’alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada kita tentang hal ini. Beliau bersabda:
“Carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari 4/225 dan Muslim 1169)
Dengan demikian telah jelas bahwa lailatul qadar terjadi pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan yaitu pada malam-malam ganjilnya 21, 23, 25, 27 atau 29. Maka gugurlah keyakinan sebagian kaum muslimin yang menyatakan bahwa turunya al-Quran pertama kali pada tanggal 17 Ramadhan.
Jika ada yang berargumen, “Tanggal 17 Ramadhan yang dimaksud adalah turunnya al-Quran ayat pertama ke dunia kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yaitu surat al-‘Alaq ayat 1-5, sedangkan Lailatul qadar pada surat al-Qadar adalah turunnya al-Quran seluruhnya dari lauhul mahfudz ke Baitul Izzah di langit dunia !!?”
Maka jawabnya: Benar, bahwa turunnya al-Qur’an yaitu pada Lailatul qadar seperti yang tertuang dalam surat al-Qadar adalah turunnya al-Qur’an dari Lauhul Mahfudz ke Baitul Izzah di langit dunia, dan setelah itu al-Qur’an diturunkan secara bertahap selama 23 tahun. Seperti perkataan Ibnu Abbas radliyallahu’anhu dan yang lainnya ketika menafsirkan QS. Ad-Dukhon ayat 3 [1]: “Allah menurunkan al-Qur’an sekaligus dari Lauh Mahfudz ke Baitul Izzah (rumah kemuliaan) di langit dunia kemudian Allah menurunkannya secara berangsur-angsur sesuai dengan berbagai peristiwa selama 23 tahun kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.” (Tafsir Ibnu Katsir 8/441)
Tetapi apakah ini menjadikan benarnya pendapat bahwa turunnya ayat pertama (QS. Al-‘Alaq: 1-5) kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam adalah 17 Ramadhan??
Ada pendapat bagus dari Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarokfury di Kitab Sirohnya tentang kapan awal permulaan wahyu dalam kitab siroh beliau. Beliau menjelaskan bahwa memang ada perbedaan pendapat di antara pakar sejarah tentang kapan awal mula turunnya wahyu, yaitu turunnya surat Al-Alaq: 1-5. Beliau menguatkan pendapat yang menyatakan pada tanggal 21.
Beliau mengatakan: “Kami menguatkan pendapat yang menyatakan pada tanggal 21, sekalipun kami tidak melihat orang yang menguatkan pendapat ini. Sebab semua pakar biografi atau setidak-tidaknya mayoritas di antara mereka sepakat bahwa beliau diangkat menjadi Rasul pada hari Senin, hal ini diperkuat oleh riwayat para imam hadits, dari Abu Qotadah radliyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah ditanya tentang puasa hari Senin. Maka beliau menjawab,
“Pada hari inilah aku dilahirkan dan pada hari ini pula turun wahyu (yang pertama) kepadaku.”
Dalam lafdz lain disebutkan, “Itulah hari aku dilahirkan dan pada hari itu pula aku diutus sebagai rasul atau turun wahyu kepadaku.” (Lihat shahih Muslim 1/368; Ahmad 5/299, Al-Baihaqi 4/286-300, Al-Hakim 2/602)
Hari senin dari bulan Ramadhan pada tahun itu adalah jatuh pada tanggal 7, 14, 21, dan 28.
Beberapa riwayat yang shahih telah menunjukkan bahwa Lailatul Qodar tidak jatuh kecuali pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Jadi jika kami membandingkan antara firman Allah, “Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Quran) pada Lailatul Qodar”, dengan riwayat Abu Qotadah, bahwa diutusnya beliau sebagai rasul jatuh pada hari Senin, serta berdasarkan penelitian ilmiah tentang jatuhnya hari Senin dari bulan Ramadhan pada tahun itu, maka jelaslah bagi kami bahwa diutusnya beliau sebagai rasul jatuh pada malam tanggal 21 dari Bulan Ramadhan. (Lihat Kitab Siroh Nabawiyyah oleh Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarokfury Bab Di Bawah Naungan Nubuwah, hal. 58 pustaka al-Kautsar)
Dengan demikian, peringatan Nuzulul Quran 17 Ramadhan dengan dzikir tertentu dan bentuk pengajian khusus adalah bentuk peringatan yang tidak pernah ada landasannya dari al-Qur’an dan Hadist Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam, sehingga termasuk dalam perkara bid’ah.
Begitu juga acara peringatan lailatul qadar pada malam 27 Ramadhan (atau malam ganjil lainnya) dengan suatu pengajian khusus juga merupakan bid’ah karena Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam tidak pernah memperingatinya melainkan beliau shallahu’alahi wa sallam menghidupkan malam tersebut dengan qiyamul lail dan memperbanyak doa.
Wallahu a’lam bish-shawab.
sumber : http://fadhlihsan.wordpress.com/2012/08/05/benarkah-al-quran-turun-pada-17-ramadhan/