Kamis, 28 April 2011

MENGAGUNGKAN SUNNAH

Oleh
Abdul Qoyyum bin Muhammad bin Nashir As-Suhaibani


Allah Ta’alah berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولَهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةَ

Dan tidaklah pantas bagi seorang mukmin dan mukminah untuk memiliki pilihan apabilah Allah dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan.. [Al-Ahzab:36]

مَنْ يُطِعِ الرَّسُوْلَ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ

Barang siapa mentaati Rasul, maka sungguh ia telah mentaati Allah…[An-Nisa:80]

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap Allah dan hari kiamat, dan dia banyak menyebut Allah. [Al-Ahzab:21]

وَإِن تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلاَّ الْبَلاَغُ الْمُبِينُ

Dan jika taat kepadanya (Rasulullah), niscaya kamu mendapat petunjuk, dan tidak lain kewajiban Rasul itu kecuali menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. [An-Nur : 54]

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasulullah), takut akan di timpa fitnah (cobaan) atau di timpa adzab yang pedih. [An-Nur:63]

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلاَ تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَن تَحْبَطَ أَعْمَالَكُمْ وَأَنتُمْ لاَ تَشْعُرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras, sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak gugur pahala amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari. [Al-Hujurat:2]

Ibnul Qoyyim berkata dalam mengomentari ayat ini : “Maka Allah memperingatkan kaum mukminin dari gugurnya amalan-amalan mereka, disebabkan mengeraskan suara kepada Rasulallah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana sebagian mereka mengeraskan suara atas sebagian lainnya. Hal ini bukanlah menunjukan kemurtadan, akan tetapi (hanya) merupakan kemaksitan yang dapat menggugurkan amal, sedangkan pelakunya tidak merasakannya.[1]

Maka bagaimana terhadap orang yang mendahulukan perkataan, petunjuk dan jalan selain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas perkataan, petunjuk dan jalan beliau?! Bukankah hal ini telah menggugurkan amalannya sedang ia tidak merasakannya ?!!.[2]

Dari ‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu 'anhu ia berkata :

وَعَظَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهْ وَ سَلَّمَ مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا فَقَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberi nasehat kepada kami dengan suatu nasehat yang menggetarkan hati-hati dan mencucurkan air mata. Maka kami berkata : “Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat orang yang akan berpisah, oleh karena itu berilah wasiat kepada kami”. Beliau berkata: “Aku nasehatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah Azza wa Jalla serta taat walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak. Sesungguhnya barang siapa yang hidup di antara kalian, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib atas kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur-Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku, gigitlah oleh kalian dengan gigi geraham. Dan berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara yang baru, karena sesungguhnya setiap kebid'ahan adalah sesat. [3]

Abu Bakar As-Shidiq Radhiyallahu 'anhu berkata: “Tidaklah aku meniggalkan sedikitpun perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah, melainkan aku amalkan. Dan sesungguhnya aku takut jika aku meninggalkan sedikit saja dari perintahnya, aku akan tersesat.”

Ibnu Bathoh mengomentari hal ini dengan perkataanya: “Wahai saudaraku, inilah As-Shidiq Akbar, beliau merasa takut terhadap dirinya dari penyimpangan jika beliau menyelisihi sedikit saja dari perintah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka bagaimana pula terhadap suatu zaman yang masyarakatnya telah menjadi orang-orang yang merperolok-olok nabi dan perintahnya, bangga dengan sesuatu yang menyelisihinya serta bangga dengan melecehkan sunnahnya. Kita memohon kepada Allah agar terjaga dari ketergelinciran dan (memohon) keselamatan dari amalan-amalan yang jelek” [4]

Umar Bin Abdul Aziz berkata : “Tidak ada pendapat siapapun di atas sunnah yang dijalani oleh Rasulullah” [5]

Dari Abi Qilabah ia berkata : “Jika kamu mengajak berbicara seseorang dengan sunnah, kemudian orang tersebut berkata : “Tinggalkan ini dan berikan kepadaku kitab Allah (saja)! “ maka ketahuilah bahwa ia adalah orang yang sesat.” [6]

Adz-Dzahabi mengomentari hal ini dengan ucapannya: ”Apabila kamu melihat seorang ahlu kalam dan bid’ah berkata: “Jauhkanlah kami dari al-Kitab dan hadist-hadist ahad, dan berikanlah kepada kami akal saja, maka ketahuilah bahwa dia adalah Abu Jahal. Dan apabila kamu melihat penganut aliran tauhidy (sufi) berkata : “Tinggalkan kami dari nash-nash dan akal, dan berikanlah kepadaku perasaan dan naluri saja, maka ketahilah sesungguhnya Iblis telah menampakan dirinya dalam bentuk manusia atau telah menyatu padanya, jika engkau takut kepadanya, larilah! Kalau tidak, bantinglah dia dan dudukilah dadanya kemudian bacakan padanya ayat kursi dan cekiklah dia.” [7]

As-Syafi’i berkata : “Abu Hanifah Bin Samak Bin Fadl As-Syihaby telah mengkhabarkan kepadaku, dia berkata : Ibnu Abi Dzi’bi telah berkata kepadaku, dari Al-Muqri, dari Abi Syuraih Al-Ka’by, bahwasannya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda pada hari fathu (Makkah): “Barang siapa yang keluarganya di bunuh, maka ada dua pilihan baginya, jika dia mau dia boleh mengambil diat, dan jika dia mau maka baginya qishas”.

Abu Hanifah berkata: “Aku berkata kepada Abi Dzi’bi apakah kamu akan mengambil (hadits) ini wahai Abu Haris?” Maka dia memukul dadaku dan berteriak keras serta mencelaku, lalu berkata: “Aku menceritakan kedamu dari Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu kamu berkata: “Apakah kamu akan mengambilnya?!!. Ya, aku akan mengambilnya dan yang demikian itu adalah wajib bagiku dan orang bagi yang mendengarnya.

Sesungguhnya Allah telah memilih Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dari kalangan manusia, dan Allah memberi petunjuk kepada mereka melalui beliau dan lewat usaha beliau, dan Allah memilih bagi mereka apa yang Allah pilih bagi rosulNya, melalui lisan beliau. maka wajib bagi ummatnya untuk mengikutinya dalam keadaan taat dan tunduk, seorang muslim tidak dapat keluar dari hal itu.

Dia (Abu Hanifah ) juga mengatakan :“Dan dia terus marah tidak berhenti sampai aku berangan-angan andaikata ia mau berhenti.” [8]

Asy-Syafi’i rahimahullah berkata : "Kaum muslimin telah sepakat, bahwa barang siapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena perkataan seseorang” [9]

Al-Humaidi berkata : “Suatu hari Imam Syafi’i meriwayatkan suatu hadits, maka aku berkata: apakah kamu akan mengambil hadis itu? maka beliau menjawab: “Apakah kamu melihat aku keluar dari gereja atau (kamu melihat) zannar (ikat pinggang orang nashara) padaku, sehingga apabila aku mendengar suatu hadits dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam aku tidak berkata dengannya (yakni tidak menerimanya).“ [10]

Imam Syafi’i pernah ditanya tentang suatu permasalahan, maka beliau menjawab: “Tentang hal tersebut telah di riwayatkan demikian dan demikian dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,” Lalu si penanya berkata: “Wahai Abu Abdillah, apakah kamu berpendapat dengannya (hadis itu)”, maka imam Syafi’i gemetar dan nampak urat lehernya dan berkata: “Wahai kamu, bumi manakah yang akan kupijak, dan langit manakah yang akan menaungi aku, apabila aku meriwayatkan suatu hadits dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian aku tidak berkata dengannya ?! Ya, wajib bagiku menerimanya dengan mutlak.”[11]

Ahmad bin Hambal berkata : “Barang siapa menolak suatu hadis dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam maka ia berada di pinggir jurang kehancuran” [12]

Al-Barbahary berkata : “Apabila kamu mendengar seseorang mencerca atsar atau menolaknya atau menginginkan selainnya, maka ragukanlah keislamannya, dan janganlah kamu ragu bahwa ia adalah seorang pengekor hawa nafsu, dan mubtadi’ (ahli bid’ah)”[13]

Abu Al-Qosim Al-Asbahany berkata : Ahlu-Sunnah dari kalangan Salaf mengatakan: ”Apabila seseorang telah mencerca atsar, maka sudah pantas baginya untuk diragukan keislamannya” [14]

PASAL DISEGERAKANNYA ADZAB BAGI ORANG YANG TIDAK MEMULIAKAN SUNNAH
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ia bersabda :

لاَ تَطْرُقُوا النِّسَاءَ لَيْلاً قَالَ وَأَقْبَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَافِلاً فَانْسَاقَ رَجُلاَنِ إِلَى أَهْلَيْهِمَا فَكِلاَهُمَا وَجَدَ مَعَ امْرَأَتِهِ رَجُلاً

Janganlah kalian mendatangi para wanita (istri-istri) pada malam hari (misalnya ketika pulang dari safar-Red).

Ibnu Abbas berkata: “Pada suatu saat Rasulullah pulang dari bepergian, kemudian ada dua orang berjalan sembunyi-sembunyi pulang kepada istrinya masing-masing, maka kedua orang tersebut mendapatkan seorang pria sedang bersama istrinya" [15]

Dari Salamah bin Al-Akwa’ Radhiyallahu 'anhu:

أَنَّ رَجُلاً أَكَلَ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ بِشِمَالِهِ فَقَالَ كُلْ بِيَمِيْنِكَ قَالَ : لاَ أَسْتَطِيْعُ قَالَ : "لاَ اسْتَطعْتَ" مَا مَنَعَهُ إِلاَّ الْكِبَرُ. قَالَ فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيْهِ

Bahwasanya ada seseorang pernah makan di sisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan tangan kirinya, maka beliau bersabda: “Makanlah dengan tangan kananmu!” Orang itu berkata: “Saya tidak bisa” maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata : “Kamu tidak akan bisa. Tidaklah ada yang menghalangi orang itu melainkan kesombongan. Berkata Salamah: ”Orang tersebut akhirnya tidak bisa mengangkat tangan (kanan) ke mulutnya.” [16]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ia bersabda :

بَيْنَمَا رَجُلٌ يَتَبَخْتَرُ فِي بُرْدَيْنِ خَسَفَ اللَّهُ بِهِ الأَرْضَ فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِيهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَقَالَ لَهُ فَتًى قَدْ سَمَّاهُ وَهُوَ فِي حُلَّةٍ لَهُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَ هَكَذَا كَانَ يَمْشِي ذَلِكَ الْفَتَى الَّذِي خُسِفَ بِهِ ثُمَّ ضَرَبَ بِيَدِهِ فَعَثَرَ عَثْرَةً كَادَ يَتَكَسَّرُ مِنْهَا فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ لِلْمَنْخَرَيْنِ وَلِلْفَمِ ( إِنَّا كَفَيْنَاكَ الْمُسْتَهْزِئِينَ )

Tatkala seseorang berjalan dengan sombong dengan mengenakan dua burdahnya (jenis pakaian), maka Allah menenggelamkannya ke dalam bumi, dia dalam keadaan berbolak balik di dalamnya sampai hari kiamat”. Maka berkatalah seorang pemuda kepada Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu –seorang perawi telah menyebutkan namanya– sedangkan pemuda tersebut mengenakan pakaiannya: “Wahai Abu Hurairah apakah seperti ini jalannya orang yang ditenggelamkan ke bumi itu”?. Kamudian ia melenggang dengan tangannya, lalu ia tergelincir, yang hampir-hampir mematahkan tulangnya. Kemudian Abu Hurairah berkata: “Untuk hidung dan mulut (kata cercaan)”. “Sesungguhnya kami memelihara kamu dari (kejahatan) orang-orang yang mengolok-olok [Al-Hijr: 95]” [17]

Dari Abdurahman bin Harmala dia berkata :

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ يُوَدِّعُهُ بِحَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ فَقَالَ لَهُ لاَ تَبْرَحْ حَتَّى تُصَلِّيَ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ يَخْرُجُ بَعْدَ النِّدَاءِ مِنَ الْمَسْجِدِ إِلاَّ مُنَافِقٌ إِلاَّ رَجُلٌ أَخْرَجَتْهُ حَاجَتُهُ وَهُوَ يُرِيدُ الرَّجْعَةَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَقَالَ إِنَّ أَصْحَابِي بِالْحَرَّةِ قَالَ فَخَرَجَ قَالَ فَلَمْ يَزَلْ سَعِيدٌ يَوْلَعُ بِذِكْرِهِ حَتَّى أُخْبِرَ أَنَّهُ وَقَعَ مِنْ رَاحِلَتِهِ فَانْكَسَرَتْ فَخِذُهُ

Seorang lelaki datang kepada Sa’id bin Al-Musayyib untuk pamitan berhaji atau umroh. lalu Sa’id bin Al-Musayyib berkata kepada orang tersebut: “Janganlah engkau berangkat sebelum engkau melakukan sholat, karena sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: “Tidaklah keluar dari masjid setelah adzan melainkan seorang munafik, kecuali seorang harus keluar karena keperluannya, sedangkan dia bertujuan kembali lagi ke masjid”. Lelaki itupun berkata: “Sesungguhnya teman-temanku telah berada di Al-Harroh. Abduruhman berkata: “Maka orang itu akhirnya keluar, belum selesai Sa’id menyayangkan kepergian orang tersebut dengan menyebut-nyebutnya, tiba-tiba dikabarkan bahwa orang tersebut telah terjatuh dari kendaraannya sehingga patah pahanya.” [18]

Dari Abu Yahya As-Saji ia berkata: “Kami berjalan di gang-gang Bashroh menuju ke rumah salah seorang ahlu hadits, maka aku mempercepat jalanku. Dan ada seorang di antara kami yang jelek di dalam agamanya, ia berkata: ”Angkatlah kaki kalian dari sayapnya para malaikat, janganlah kalian mematahkannya (dia berkata sebagai ejekan), akhirnya orang tersebut tidak bisa melangkah dari tempatnya sehingga kering kedua kakinya dan kemudian jatuh.” [19]

Abu Abdillah Muhammad bin Ismalil At-Taimy berkata : Aku pernah membaca dalam sebagian kisah, bahwa pernah ada seorang ahlul bid’ah tatkala mendengar sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلاَ يَغْمِسْ يَدَهُ فِي الإِنَاءِ حَتىَّ يَغْسِلَهَا فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِيْ أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ

Apabilah salah seorang di antara kamu bangun dari tidurnya, maka janganlah ia mencelupkan tangannya ke dalam bejana sehingga ia mencucinya terlebih dahulu, karena dia tidak mengetahui di mana tangannya bermalam.

Maka ahlu bid’ah tersebut berkata dengan nada mengejek: “Aku mengetahui di mana tanganku bermalam di atas tempat tidur !! maka ketika ia bangun, tangannya telah masuk ke dalam duburnya sampai pergelangan tanganya”.

At-Taimy berkata: ”Hendaklah seseorang merasa takut menganggap ringan terhadap sunnah serta keadaan-keadaan yang (seharusnya ia) tawaqquf/diam . Maka lihatlah akibat yang telah sampai pada orang tersebut akibat akibat kejekan perbuatannya”. [20]

Al-Qodhi Abu Thoyyib berkata : “Kami pernah berada di majlis perdebatan di masjid jami’ Al-Mansyur, maka tiba-tiba datang seorang pemuda Khurosan, kemudian bertanya tentang “Al-Mushorroh”, dan dia meminta dalilnya, sampai akhirnya diberikan dalil dengan hadits Abu Hurairah yang meriwayatkan tentang hal tersebut. Kemudian orang tersebut mengatakan –sedangkan dia adalah orang hanif-: “Hadits Abu Hurairah tidak dapat diterima….tetapi belum selesai orang itu dari perkataannya, tiba-tiba seekor ular yang sangat besar jatuh dari atap masjid, orang-orangpun lari karenanya, dan pemuda itupun juga lari darinya, sedangkan ular tersebut terus mengejarnya. Maka orang-orang mengatakan kepadanya: ”Bertaubatlah, bertaubatlah”, maka pemuda itupun berkata: ”Aku bertaubat “, maka akhirnya ular itupun lenyap dan tidak terlihat bekas-bekasnya.[21]

Adz-Dzahabi berkata : “Sanad riwayat ini adalah para imam.”


SIKAP SALAFUS SHOLEH TERHADAP ORANG YANG MENENTANG SUNNAH
Dari Qotadah ia berkata: “Kami pernah bersama Imron bin Husain dalam suatu rombongan, sedang di dalam rombongan kami terdapat Basyir bin Ka’ab. Pada hari itu Imron menceritakan kepada kami, dia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : ”Malu itu baik semuanya “ atau beliau bersabda: “Malu itu semuanya adalah baik”

Kemudian Basyir bin Ka’ab berkata: ”Sesungguhnya kami mendapati di sebagian kitab-kitab atau hikmah, bahwa dari malu itu ada yang merupakan ketentraman dan penghormatan kepada Allah, tetapi pada malu itu ada kelemahan”. Maka Imron pun marah sampai merah kedua matanya dan berkata: “Tidakkah engkau melihat aku mengatakan kepadamu dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sedangkan engkau menentangnya”.[22]

Dari Abdullah bin Mughofal Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang khadzaf (melempar dengan batu kerikil; semacam ketapel) dan beliau bersabda: ”Karena khadzaf itu tidak akan mendapatkan buruan dan tidak dapat mengalahkan musuh, tetapi hanya akan membutakan mata dan memecahkan gigi”. Maka seseorang berkata kepada Abdullah bin Mughofal: “Aku berpendapat, hal itu tidak apa-apa”. Maka Abdullah bin Mughofal berkata: “Sesungguhnya aku telah mengatakan kepadamu dari Rasulullah, sedangkan engkau mengatakan seperti ini, maka demi Allah aku tidak akan berbicara kepadamu selamanya.”[23]

Dari Abi Al-Mukhariq dia berkata: Ubadah bin Ash-Shamit menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menukar dua dirham dengan satu dirham. Lalu ada seseorang berkata: ”Aku berpendapat yang demikian tidak apa-apa asalkan kontan”. Maka ‘Ubadah berkata: “Aku berkata “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, sedangkan engkau mengatakan “aku berpendapat yang demikian itu tidak apa-apa!! Maka demi Allah, tidak akan menaungi aku dan kau satu atap-pun selamanya (yakni: aku tidak akan tinggal serumah denganmu).[24]

Dari Salim bin Abdullah bahwa Abdullah bin Umar berkata : Saya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berabda : “Janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian ke masjid jika mereka meminta izin kepada kalian untuk ke sana ”
.
Salim berkata: Bilal bin Abdullah berkata: “Demi Allah kami akan melarang mereka (para wanita)”. Salim berkata: Maka Abdullah menghadap kepadanya (Bilal bin Abdullah), kemudian mencercanya dengan suatu cercaan yang jelek, yang aku belum pernah mendengar cercaan seperti itu sama sekali. Kemudian (Abdullah) berkata: “Aku mengatakan kepadamu dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan engkau mengatakan “Demi Allah kami akan melarang mereka (para wanita)” [25]

Dari Atho’ bin Yasar: “Bahwa ada seseorang pernah menjual kepingan emas atau perak lebih banyak dari ukuran beratnya. Lalu Abu Darda’ berkata kepadanya : “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang dari hal ini, kecuali dengan yang senilai. Tetapi orang itu berkata: ”Aku berpendapat bahwa seperti ini tidak apa-apa“. Maka Abu Darda berkata: “Siapakah yang bisa memberikan alasan kepadaku dari si fulan ini, aku mengatakan dari Rasulullah, sedangkan dia mengatakan kepadaku dari akalnya. Maka aku tidak akan tinggal di negri ini yang engkau berada padanya”.

Dari Al-A’raj, ia berkata : “Aku pernah mendengar Abu Said Al-Khudry berkata kepada seseorang: “Tidakkah engkau mendengar aku, aku mengatakan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda : ”Janganlah kalian menjual/menukar dinar dengan dinar, dirham dengan dirham, kecuali dengan yang senilai, dan janganlah kalian menjual/menukar darinya secara kontan dengan hutang”, kemudian kamu berfatwa dengan apa yang engkau fatwakan. Maka demi Allah, tidaklah menaungi aku dan kamu selama aku hidup kecuali masjid” [26]

Dari Qotadah ia berkata : “Ibnu Sirin pernah mengatakan kepada seseorang tentang sebuah hadits dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian orang tersebut berkata : ”Si fulan telah berkata demikian dan demikian”, maka Ibnu Sirin berkata: “Aku mengatakan kepadamu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan engkau mengatakan si fulan dan si fulan telah berkata demikian dan demikian ?!!”, maka aku tidak akan berbicara kepadamu selama-lamanya[27]

Abu As-Saib berkata: “Kami pernah bersama Waqi’, maka dia berkata kepada seseorang yang berada di sisinya yang berpandangan dengan akalnya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melakukan Al-Isy’ar” [28]

Abu Hanifah berkata : Itu adalah suatu penyiksaan. Orang tersebut berkatalah bahwasannya telah di riwayatkan dari Ibrohim An-Nakha’i bahwa ia berkata: Al-Isr’ar adalah penyiksaan. Abu Saib berkata: “Maka aku melihat Waqi’ sangat marah dan berkata: “Aku telah berkata kepadamu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, sedangkan engkau berkata: Ibrahim telah berkata. Maka sangatlah pantas kamu dipenjara dan tidak dilepaskan sehingga kamu menarik kembali perkataanmu ini.” [29]

Dari Khirzadz Al-’Abid ia berkata: “Abu Mu’awiyah Adh-Dharir meriwayatkan hadits “Adam berdebat dengan Musa“ di dekat Harun Al-Rasyid. Lalu seorang bangsawan dari Quraisy berkata: “Di mana Adam bertemu dengan Musa”?, maka Harunpun marah dan berkata : “(Untuk) perkataan (yang mengada-ada) adalah pedang, seorang zindiq mencerca hadits“. Maka Abu Mu’awiyahpun terus berusaha menenangkan Harun, dan berkata: “Sabar wahai Amirul Mukminin, karena dia itu belum faham sampai akhirnya Amirul mukminin menjadi tenang.” [30]

PENUTUP
Inilah nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah tentang mengagungkan Sunnah, serta beginilah sikap Salafush shalih (sahabat dan tabi’in ) terhadap orang-orang yang menentang sunnah. Kita lihat sikap mereka yang menunjukkan kekuatan, keteguhan dan ketegasan terhadap orang yang menampakkan sesuatu yang di dalamnya terdapat penentangan terhadap sunnah.



sumber : http://almanhaj.or.id/content/3051/slash/0

Jumat, 08 April 2011

HIKMAH DIBALIK LARANGAN ADOPSI ANAK


Oleh
Ustadz Imam Wahyudi



Setiap pasangan yang telah menikah pasti mendambakan anak. Secara alamiah berfungsi untuk melestarikan eksistensi umat manusia di muka bumi. Disamping itu, keberadaan seorang anak juga menjadi sumber kegembiraan di tengah keluarga. Bahkan pada masa senja, sang anak menjadi tumpuan harapan.

Demikian indah dan sempurna menurut semua orang, sebuah rumah tangga yang dipenuhi canda dan tawa anak-anak di dalamnya. Sehingga, tidak heran jika pasangan yang belum mendapatkan keturunan begitu gelisah dan sedih, lalu menempuh bermacam cara untuk memperolehnya. Pada zaman mutakhir ini banyak cara yang bisa ditempuh untuk mendapatkan seorang anak, baik dengan operasi, proses bayi tabung, sewa rahim, maupun dengan mengadopsi anak. Dalam fiqih Islam, cara adopsi dikenal dengan istilah tabanni. Lantas bagaimanakah menurut tinjauan hukum Islam?

SEJARAH ADOPSI DALAM ISLAM
Pada masa jahiliyah, adopsi sudah membudaya. Seseorang mengangkat anak orang lain untuk dimiliki, dan statusnya seperti halnya anak kandung sendiri, kemudian mengumumkannya di hadapan masyarakat. Nantinya, si anak anak itu benar-benar menikmati status sebagai anak kandung. Sehingga dalam pembagian warisan, ia pun memperoleh bagian, seperti halnya anak kandung lainnya.

Dalam perjalanan sejarah kehidupannya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersentuhan dengan kebiasaan ini. Beliau pernah mengangkat seorang anak, yaitu Zaid bin Hâritsah. Bahkan karenanya, kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan beberapa firman-Nya untuk meluruskan keadaan. Mula kisah ini, berawal dari dialog antara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Zaid, dan Hâritsah, bapak kandung Zaid.[1]

Kronologinya, Zaid kecil menjadi salah satu korban peperangan antar suku yang kerap terjadi di Jazirah Arab. Dia ditawan oleh pihak "musuh". Waktu itu, umur Zaid sekitar 8 tahun. Dia selanjutnya menjadi barang dagangan. Hingga sampailah kemudian kemenakan Ummul-Mukminîn Khadîjah binti Khuwailid Radhiyallahu 'anhuma yang bernama Hakîm bin Hazam bin Khuwailid membelinya. Zaid pun berpindah-tangan ke Khadîjah Radhiyallahu 'anha sebagai hadiah. Yang kemudian pasca pernikahannya dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, oleh Khadijah, Zaid diberikan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai hadiah.

Selama bertahun-tahun hidup bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, terasalah kebahagiaan menyelimuti kehidupan Zaid. Sampai akhirnya, datanglah bapak dan paman Zaid yang telah lama berkelana mencarinya. Begitu menemukannya, mereka pun berdua ingin menebus Zaid dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Akan tetapi, beliau tidak menerima tebusan tersebut, justru menawarkan sebuah kemudahan. Yakni dengan menawarkan kebebasan memilih kepada Zaid, apakah tetap tinggal bersama beliau, atau pulang dan tinggal bersama keluarganya?

Di luar dugaan, Zaid dengan yakin memilih tetap tinggal bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam merasa terharu dengan keputusan Zaid yang mengesankan itu, sehingga beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menggandeng tangan Zaid menuju Ka’bah dan berhenti di Hijir Ismail sembari mengumumkan di hadapan orang-orang Quraisy: "Wahai kaum Quraisy! Persaksikanlah bahwa ini adalah anakku. Dia mewarisiku, dan aku mewarisinya".

Mendengar ungkapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka tenteramlah hati bapak dan paman Zaid, sehingga merekapun membiarkan Zaid hidup bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sejak saat itu, Zaid dikenal dengan sebutan Zaid bin Muhammad, sampai turun surat al-Ahzâb ayat 5.[2]

HUKUM ADOPSI DALAM ISLAM
Agama Islam yang mulia ini selalu menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, jauh dari unsur kezhaliman dan ekstrimitas (berlebih-lebihan). Oleh karena itu, kecintaan terhadap orang lain pun tidak boleh membuat seorang muslim bersikap berlebihan. Demikian pula dalam masalah adopsi. Atau karena kecintaanya, kemudian memasukkan anak angkat sebagai bagian keluarga sebagai anak kandung yang baru. Atau sebaliknya, dalam hal bapak atau orang tua angkat.

Sebaliknya, betapapun seseorang membenci orang tuanya dikarenakan suatu kesalahannya, baik ringan maupun fatal hingga menyakitkan hati, maka tetap saja terlarang bagi sang anak mengingkari keberadaan orang tuanya sebagai sebagai orang tua kandung.

Atas dasar munculnya ekses yang tidak proporsional seperti di atas dan dampak buruk lainnya, maka Islam melarang praktek adopsi anak sebelum hal itu terwujud, dan menggugurkannya jika memang telah terlanjur. Larangan ini berdasarkan beberapa dalil.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

وَمَاجَعَلَ أَدْعِيَآءَكُمْ أَبْنَآءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُم بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ . ادْعُوهُمْ لأَبَآئِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللهِ

"Dia (Allah) tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak-anak kandung kalian. Yang demikian itu hanyalah perkataan kalian di mulut kalian. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya, dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Panggillah anak-anak angkat tersebut dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah …" [al-Ahzab/33:4-5]

Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma berkata: "Dahulu, kami tidak memanggil Zaid bin Haritsah Radhiyallahu 'anhu kecuali dengan panggilan Zaid bin Muhammad, sampai turunnya ayat 'Panggillah anak-anak angkat tersebut dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah". al-Ahzab/33 ayat 5."[3]

Inilah perintah yang menghapuskan hukum tabanni pada masa permulaan Islam. Hukum lama tersebut membolehkan pengakuan seseorang atas anak orang lain sebagai anak kandungnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala kemudian memerintahkan untuk mengembalikan penisbatan nasab kepada bapak-bapak kandung mereka, dan inilah perilaku yang adil, sikap tengah lagi baik.

Dalam banyak kesempatan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa orang yang menasabkan dirinya kepada selain bapak kandungnya diancam sebagai orang kafir, dilaknat oleh Allah, para malaikat-Nya dan seluruh manusia. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak mau menerima ibadah yang wajib maupun yang sunnah darinya, dan surga diharamkan atas dirinya. Dengan merujuk fakta ini, maka demikian pula menisbatkan nasab anak orang lain kepada nasab sendiri juga tidak dibolehkan.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لاتَرْغَبُوْا عَنْ اَبَا ئِِكم، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ أَبِيْهِ فَهُوَ كُفْرٌ

"Janganlah kalian membenci bapak-bapak kalian. Barang siapa yang membenci bapaknya, maka dia telah kafir [4]. [HR Imam al-Bukhari, no. 6768, Muslim, no. 215]

Di antara sebab penyebutan istilah kafir dalam hadits di atas, karena penisbatan nasab seperti itu merupakan kedustaan atas nama Allah Subhanahu wa Ta'ala. Seakan-akan dia berkata "saya diciptakan oleh Allah dari air mani si A (baca: bapak angkat)", padahal tidaklah demikian, karena ia sebenarnya diciptakan dari air mani si B (bapak kandungnya).[5]

Dalam hadits yang lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

من ادعى إلى غير أبيه أو انتمى إلى غير مواليه, فعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين, لايقبل الله منه يوم القيامة صرفا ولا عدلا

"Barang siapa yang mengaku sebagai anak kepada selain bapaknya atau menisbatkan dirinya kepada yang bukan walinya, maka baginya laknat Allah, malaikat, dan segenap manusia. Pada hari Kiamat nanti, Allah tidak akan menerima darinya ibadah yang wajib maupun yang sunnah" [HR Muslim, no. 3314 dan 3373]

PENGECUALIAN HUKUM
Mengenai keharaman memanggil seseorang dengan menisbatkan nasabnya kepada orang lain ada pengecualiannya. Boleh seseorang menisbatkan nasabnya kepada orang lain apabila tidak mengetahuinya, tidak disengaja dan lain sebagainya, dalilnya sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

"Dan tiada dosa bagi atas apa yang tidak kamu sengaja, akan tetapi yang ada dosanya adalah yang disengaja oleh hatimu" [al-Ahzab/33:5]

Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan, jika manusia menasabkan seseorang kepada bapak angkatnya dikarenakan suatu kekeliruan, atau terlanjur terucap tanpa ada unsur kesengajaan, maka tidak dihitung sebagai dosa. Beliau menyebutkan riwayat dari Qatâdah rahimauhllah yang menyatakan, apabila Anda menasabkan seseorang kepada yang bukan bapak kandung, berdasarkan persangkaan Anda, maka Anda sama sekali tidak berdosa.[6]

Mengomentari hadits al-Bukhâri rahimahullah (no. 6766 dan no. 6768), al-Imam Ibnu Baththaal rahimahullah berkata: "Kedua hadits ini tidak memberikan pengertian, bahwa seseorang yang sudah terkenal dengan penisbatan nasab kepada selain bapak kandunganya terkena ancaman di atas, seperti al-Miqdad bin al-Aswad. Akan tetapi yang dimaksud, yaitu orang yang berpaling dari nasab bapak kandungnya dalam keadaan mengetahui, sengaja dan sukarela. Karena, pada masa jahiliyyah masyarakat tidak mengingkari orang yang mengadopsi anak orang lain dan seseorang yang menisbatkan dirinya kepada bapak angkat yang mengadopsinya. Sampai akhirnya turunlah ayat "Panggillah anak-anak angkat tersebut dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah" –al-Ahzâb/33 ayat 5- dan firman-Nya "Dia (Allah) tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak-anak kandung kalian" –Qs al-Ahzâb/33 ayat 4.

Setelah itu, setiap orang menisbatkan dirinya kepada bapak kandungnya masing-masing dan tidak menisbatkan kepada bapak angkat yang mengadopsinya. Akan tetapi masih ada beberapa orang yang terkenal dengan nasab bapak angkat mereka, dengan tujuan agar mudah dikenal, bukan menjadikannya sebagai bapak kandung, seperti al-Miqdâd bin al-Aswad, karena bapaknya bukanlah al-Aswad, akan tetapi 'Amr bin Tsa’labah al-Bahrâni.[7]

Sedangkan al-Aswad bin Abdi Yaghuts adalah bapak angkat yang mengadopsi beliau di masa jahiliyyah, dan tidak pernah kita dengar adanya pengingkaran Salaf dalam masalah itu, walaupun diucapkan dengan sengaja.[8]

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimîn rahimahullah mengatakan:
Jika seseorang menasabkan dirinya kepada kakeknya atau buyutnya dan seterusnya ke atas yang terkenal, tanpa mengingkari bapak kandungnya, maka hal ini tidak mengapa, sebagaimana ucapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

أنا ابن عبد المطلب, أنا النبي ولا كذب

"Aku adalah anak 'Abdul-Muththalib, aku adalah seorang nabi, dan itu bukan suatu kedustaan" [HR al-Bukhâri, no. 2930; Muslim, no. 78; at-Tirmidzi, no. 1688; dan Abu Dawud, no. 487]

Padahal nama beliau adalah Muhammad bin 'Abdillah bin 'Abdil-Muththalib, dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan hal ini pada peperangan Hunain, karena kakeknya lebih dikenal oleh kaum Quraisy dan lebih berpengaruh di hadapan mereka daripada bapaknya.[9]

PERKARA-PERKARA YANG DIBATALKAN
Pada masa jahiliyah dan pada masa awal Islam, di antara konsekuensi adopsi ialah saling mewarisi, tidak boleh menikahi isteri anak angkat dan sebaliknya. Intinya, kedudukan hubungan bapak angkat dengan anak angkat sederajat dengan kedudukan hubungan antara bapak kandung dengan anak kandung. Setelah turun ayat pelarangan adopsi, maka segala konsekuensi tersebut tidak berlaku dan tidak boleh diterapkan. Secara rinci, sebagai berikut.

1. Larangan memberi panggilan "anak" secara mutlak bagi anak-anak hasil adopsi.
2. Munculnya ancaman sangat berat bagi orang yang menisbatkan diri kepada selain orang tuanya.
3. Putusnya hubungan "anak-bapak" antara anak adopsi dengan orang tua angkatnya, yang berdampak pada putusnya hubungan saling mewarisi antara mereka berdua.
4. Dihalalkan menikahi mantan istri anak angkat, yang sebelumnya sudah merupakan perkara "haram" berdasarkan norma masyarakat yang berlaku pada waktu itu.

Dalam masalah ini, untuk lebih mempertegas larangan tersebut, maka Allah memerintahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menikahi Zainab binti Jahsy, mantan istri Zaid bin Haritsah, anak angkat beliau, setelah diceraikan oleh suaminya dan melewati masa ‘iddah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لاَيَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَآئِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا

"Maka tatkala Zaid telah menceraikan isterinya, Kami kawinkan kamu dengannya (Zainab binti Jahsy), supaya tidak ada keberatan bagi kaum Mukminin untuk mengawini isteri-isteri anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat tersebut telah menceraikan para isteri tersebut" [al-Ahzâb/33:37]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, inti tujuan Kami membolehkan engkau menikahinya (Zainab), yaitu supaya keengganan kaum Mukminin untuk menikahi para (mantan) isteri anak-anak angkat mereka yang telah diceraikan segera sirna.[10]

Secara lebih tegas, dibolehkan menikahi bekas isteri anak angkat ini tersirat dalam ayat tentang wanita-wanita yang tidak boleh dinikahi. Sebagaimana firman-Nya, yang artinya: …(Dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu…(Qs an-Nisaa`/4 ayat 23).

Ibnu Katsir menjelaskan, diharamkan atas kalian bekas para isteri anak kandung kalian. Hal ini untuk menghilangkan anggapan mengenai tidak bolehnya menikahi bekas para isteri anak-anak angkat kalian pada masa jahiliyyah.[11]

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan maksud ayat ini, bahwasanya bekas para isteri anak-anak angkat kalian tidak termasuk dalam larangan ini.[12]

Demikian pula disampaikan oleh Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, bahwa dalam perkara ini tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ulama.[13]

5. Dan sebagai dampak lanjutan dari point sebelumnya, karena istri anak angkat boleh dinikahi oleh bapak angkat bila diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya, maka wanita tersebut bukan termasuk mahram bagi bapak angkat. Oleh karenanya, ia wajib memakai busana muslimah secara lengkap (hijab) di hadapan orang tua angkatnya.

KESIMPULAN DAN HIKMAH
Dari uraian di atas, jelaslah bagi kita keharaman melakukan penisbatan nasab bukan kepada orang tuanya. Begitu pula dalam hal adopsi. Kita harus mengimani bahwa setiap larangan Allah pasti terdapat keburukan di dalamnya yang hendak dijauhkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dari diri kita. Dan sebaliknya, yang diperbolehkan pasti terdapat hikmah kebaikan di dalamnya yang hendak dianugerahkan, atau bahkan ditambahkan, walaupun tanpa kita ketahui.

Mungkin saja, ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menganugerahkan seorang anak kepada pasangan suami isteri, Allah Subhanahu wa Ta'ala hendak menghindarkan pasangan tersebut dari kekufuran, sebagaimana Allah memerintahkan nabi al-Khadhir untuk membunuh seorang anak yang apabila besar akan menjadi kafir dan menyeret kedua orang tuanya kepada kekufuran, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَأَمَّا الْغُلاَمُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَآ أَن يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا

"Dan adapun anak kecil itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir dia akan mendorong kedua orang tuanya kesesatan dan kekafiran" [al-Kahfi/18:80]

Dalam kenyataan hidup, kita sering menjumpai suatu pasangan yang tidak dikaruniai keturunan, kemudian berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkannya. Di antaranya dengan mengadopsi anak angkat. Akan tetapi, ternyata hidup mereka berubah, yang semula tenang dan tenteram, berbalik penuh bencana karena kedurhakaan sang anak angkat. Hingga akhirnya harta yang berlimpah milik pasangan tersebut benar-benar habis dan ludes. Ironisnya, ketika kedua orang tua angkat ini sudah tua renta, kemudian ditinggalkan begitu saja oleh sang anak angkat tersebut.

Di sinilah letak ujian bagi keimanan kita kepada taqdir Allah dan kebijaksanaan-Nya, serta betapa penting kita berbaik sangka terhadap Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Adil. Wallahu a’lam bish-shawâb.
sumber : http://almanhaj.or.id

DALIL-DALIL WAJIBNYA SHALAT BERJAMAAH DI MASJID

Shalat berjama’ah adalah termasuk dari sunnah (yaitu jalan dan petunjuknya) Rasulullah dan para shahabatnya. Rasulullah dan para shahabatnya selalu melaksanakannya, tidak pernah meninggalkannya kecuali jika ada ‘udzur yang syar’i.
Bahkan ketika Rasulullah sakit pun beliau tetap melaksanakan shalat berjama’ah di masjid dan ketika sakitnya semakin parah beliau memerintahkan Abu Bakar untuk mengimami para shahabatnya. Para shahabat pun bahkan ada yang dipapah oleh dua orang (karena sakit) untuk melaksanakan shalat berjama’ah di masjid.
Kalau kita membaca dan memperhatikan dengan sebaik-baiknya Al-Qur`an, As-Sunnah serta pendapat dan amalan salafush shalih maka kita akan mendapati bahwa dalil-dalil tersebut menjelaskan kepada kita akan wajibnya shalat berjama’ah di masjid.
Diantara dalil-dalil tersebut adalah:
1. Perintah Allah Ta’ala untuk Ruku’ bersama orang-orang yang Ruku’
Dari dalil yang menunjukkan wajibnya shalat berjama’ah adalah firman Allah Ta’ala: “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat serta ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (Al-Baqarah:43).
Berkata Al-Imam Abu Bakr Al-Kasaniy Al-Hanafiy ketika menjelaskan wajibnya melaksanakan shalat berjama’ah: “Adapun (dalil) dari Al-Kitab adalah firman-Nya: “Dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (Al-Baqarah:43).
Allah Ta’ala memerintahkan ruku’ bersama-sama orang-orang yang ruku’, yang demikian itu dengan bergabung dalam ruku’ maka ini merupakan perintah menegakkan shalat berjama’ah. Mutlaknya perintah menunjukkan wajibnya mengamalkannya.” (Bada`i’ush-shana`i’ fi Tartibisy-Syara`i’ 1/155 dan Kitabush-Shalah hal.66).
2. Perintah melaksanakan Shalat berjama’ah dalam keadaan takut
Tidaklah perintah melaksanakan shalat berjama’ah dalam keadaan biasa saja, bahkan Allah telah memerintahkannya hingga dalam keadaan takut. Allah berfirman: “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (shahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata…”. (An-Nisa`:102).
Maka apabila Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk melaksanakan shalat berjama’ah dalam keadaan takut maka dalam keadaan aman adalah lebih ditekankan lagi (kewajibannya). Dalam masalah ini berkata Al-Imam Ibnul Mundzir: “Ketika Allah memerintahkan shalat berjama’ah dalam keadaan takut menunjukkan dalam keadaan aman lebih wajib lagi.” (Al-Ausath fis Sunan Wal Ijma’ Wal Ikhtilaf 4/135; Ma’alimus Sunan karya Al-Khithabiy 1/160 dan Al-Mughniy 3/5).
3. Perintah Nabi untuk melaksanakan shalat berjama’ah
Al-Imam Al-Bukhariy telah meriwayatkan dari Malik bin Al-Huwairits: Saya mendatangi Nabi dalam suatu rombongan dari kaumku, maka kami tinggal bersamanya selama 20 hari, dan Nabi adalah seorang yang penyayang dan lemah lembut terhadap shahabatnya, maka ketika beliau melihat kerinduan kami kepada keluarga kami, beliau bersabda: “Kembalilah kalian dan jadilah bersama mereka serta ajarilah mereka dan shalatlah kalian, apabila telah datang waktu shalat hendaklah salah seorang diantara kalian adzan dan hendaklah orang yang paling tua (berilmu tentang Al-Kitab & As-Sunnah dan paling banyak hafalan Al-Qur`annya) diantara kalian mengimami kalian.” (Hadits Riwayat Al-Bukhari no. 628, 2/110 dan Muslim semakna dengannya no. 674, 1/465-466).
Maka Nabi yang mulia memerintahkan adzan dan mengimami shalat ketika masuknya waktu shalat yakni beliau memerintahkan pelaksanakannya secara berjama’ah dan perintahnya terhadap sesuatu menunjukkan atas kewajibannya.
4. Larangan keluar dari masjid setelah dikumandangkan adzan
Sesungguhnya Rasulullah melarang keluar setelah dikumandangkannya adzan dari masjid sebelum melaksanakan shalat berjama’ah. Al-Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata: “Rasulullah memerintahkan kami, apabila kalian di masjid lalu diseru shalat (dikumandangkan adzan-pent) maka janganlah keluar (dari masjid, red) salah seorang diantara kalian sampai dia shalat (di masjid secara berjama’ah-pent) (Al-Fathur-Rabbani Li Tartib Musnad Al-Imam Ahmad no. 297, 3/43).
5. Tidak Ada Keringanan dari Nabi bagi Orang yang Meninggalkan Shalat Berjama’ah
Sesungguhnya Nabi yang mulia tidak memberikan keringanan kepada ‘Abdullah Ibnu Ummi Maktum untuk meninggalkan shalat berjama’ah dan melaksanakannya di rumah, padahal Ibnu Ummi Maktum mempunyai beberapa ‘udzur sebagai berikut:
a. Keadaannya yang buta,
b. Tidak adanya penuntun yang mengantarkannya ke masjid,
c. Jauhnya rumahnya dari masjid,
d. Adanya pohon kurma dan pohon-pohon lainnya yang menghalanginya antara rumahnya dan masjid,
e. Adanya binatang buas yang banyak di Madinah dan
f. Umurnya yang sudah tua serta tulang-tulangnya sudah rapuh.
Al-Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata: Seorang laki-laki buta mendatangi Nabi lalu berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya saya tidak mempunyai seorang penuntun yang mengantarkanku ke masjid”. Lalu ia meminta Rasulullah untuk memberi keringanan baginya untuk shalat di rumahnya maka Rasulullah memberikannya keringanan. Ketika Ibnu Ummi Maktum hendak kembali, Rasulullah memanggilnya lalu berkata: “Apakah Engkau mendengar panggilan (adzan) untuk shalat?” ia menjawab “benar”, maka Rasulullah bersabda: “Penuhilah panggilan tersebut.”
Dan juga banyak dalil-dalil lainnya yang menunjukkan akan wajibnya shalat berjama’ah di masjid bagi setiap muslim yang baligh, berakal dan tidak ada ‘udzur syar’i baginya.
Kaum Muslimah Lebih Utama Shalat di Rumahnya
Adapun bagi kaum muslimah maka yang lebih utama baginya adalah shalat di rumahnya daripada di masjid, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur`an: “Wa buyuutuhunna khairullahunna” (dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka) dan juga hadits-hadits yang sangat banyak yang menjelaskan keutamaan shalat di rumah bagi kaum muslimah. Tapi apabila kaum muslimah meminta idzin untuk shalat di masjid maka tidak boleh dilarang bahkan harus diidzinkan. Tetapi ketika dia keluar ke masjid harus memenuhi syarat-syaratnya yaitu menutupi auratnya secara sempurna, tidak memakai wangi-wangian, tidak ditakutkan menimbulkan fitnah dan yang lainnya yang telah dijelaskan para ‘ulama.
Syaikhul Islam menjelaskan bahwa dalam keadaan tertentu shalatnya muslimah di masjid lebih utama dari pada di rumah ketika di masjid terdapat pelajaran (ta’lim) yang disampaikan oleh ahlus sunnah, tetapi jika di masjid tidak ada kajian ‘ilmu maka shalat di rumah lebih baik daripada di masjid.
Mengambil Ilmu Agama Harus dari Orang yang Benar Manhajnya
Dan perlu di ketahui bahwa kita tidak boleh mengambil ‘ilmu dari sembarang orang, tapi harus dari orang yang sudah jelas manhajnya dan terbukti berpegang teguh dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan pemahaman para shahabat. Kalau ia belum jelas manhajnya dan bahkan dia menyelisihi sunnah (seperti merokok, memotong jenggot, menurunkan kain di bawah mata kaki, bercampur baur dengan orang yang bukan mahramnya dan lainnya dari perkara-perkara yang menyelisihi Sunnah Rasulullah shallohu ‘alaihi wasallam ) maka tidak sepantasnya kita mengambil ‘ilmu darinya. Hal ini telah dijelaskan oleh Al-Imam Ibnu Sirin, di mana dia berkata: “Sesungghunya ilmu ini adalah agama maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat dari mana ia mengambil agamanya.”, dalam lafazh yang lain ia berkata: “Mereka (salafush-shalih) tidak menanyakan tentang isnad (suatu hadits) tetapi ketika terjadinya fitnah (setelah terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan-pent) maka mereka mengatakan: “sebutkan sanad kalian!” Maka ketika itu dilihat, apabila ‘ilmu (hadits) itu datang dari Ahlus Sunnah maka diambil haditsnya tetapi apabila datang dari Ahlul Bid’ah maka ditolak haditsnya.” (Lihat Muqaddimah Shahih Muslim).
Dari dalil-dalil yang menunjukkan atas wajibnya shalat berjama’ah adalah apa yang telah dijelaskan oleh Allah Ta’ala dari jeleknya akibat orang yang tidak memenuhi/menjawab panggilan untuk bersujud. Allah berfirman: “Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud maka mereka tidak mampu (untuk sujud). (Dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud dan mereka dalam keadaan sejahtera.” (Al-Qalam:42-43).
Yang dimaksud dengan “seruan untuk sujud” adalah seruan untuk melaksanakan shalat berjama’ah. Berkata Turjumanul Qur`an ‘Abdullah bin ‘Abbas dalam menafsirkan ayat ini: “Mereka mendengar adzan dan panggilan untuk shalat tetapi mereka tidak menjawabnya” (Ruhul Ma’ani 29/36).
Dan sungguh tidak hanya seorang dari salafnya ummat ini yang menguatkan tafsiran ini, atas dasar inilah berkata Ka’ab Al-Ahbar: “Demi Allah tidaklah ayat ini diturunkan kecuali terhadap orang-orang yang menyelisihi dari (shalat) berjama’ah.” (Tafsir Al-Baghawiy 4/283, Zadul Masir 8/342 dan Tafsir Al-Qurthubiy 18/251).
Telah Berkata Sa’id bin Jubair: “Mereka mendengar (panggilan) ‘Hayya ‘alal falaah’ tetapi tidak memenuhi panggilan tersebut.” (Tafsir Al-Qurthubiy 18/151 dan Ruhul Ma’ani 29/36).
Berkata Ibrahim An-Nakha’iy: “Yaitu mereka diseru dengan adzan dan iqamah tetapi mereka enggan (memenuhi seruan tersebut).” (Ibid).
Berkata Ibrahim At-Taimiy: “Yakni (mereka diseru) kepada shalat yang wajib dengan adzan dan iqamah.” (Tafsir Al-Baghawiy 4/283).
Dan sejumlah ahli tafsir telah menjelaskan juga bahwasanya dalam ayat ini terdapat ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat berjama’ah. Atas dasar/jalan ini berkata Al-Hafizh Ibnul Jauziy: “Dan dalam ayat ini terdapat ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat berjama’ah.” (Zadul Masir 8/342).
Berkata Al-Imam Fakhrurraziy (tentang ayat): “Dan sungguh mereka pada waktu di dunia telah diseru untuk sujud sedang mereka dalam keadaan sejahtera.” (Al-Qalam:43), yakni ketika mereka diseru kepada shalat-shalat (yang wajib) dengan adzan dan iqamah sedang mereka dalam keadaan sejahtera, mampu untuk melaksanakan shalat. Dalam ayat ini terdapat ancaman terhadap orang yang duduk (tidak menghadiri) dari shalat berjama’ah dan tidak memenuhi panggilan mu`adzdzin sampai ditegakkannya iqamah shalat berjama’ah.” (At-Tafsirul-Kabir 30/96).
Berkata Al-Imam Ibnul Qayyim: “Dan telah berkata lebih dari satu dari salafush shalih tentang firman Allah Ta’ala: “Dan sungguh mereka pada waktu di dunia telah diseru untuk sujud sedang mereka dalam keadaan sejahtera.” (Al-Qalam:43), yaitu ucapan mu`adzdzin: “hayya ‘alash-shalaah hayya ‘alal-falaah”.
Ini merupakan dalil yang dibangun di atas dua perkara:
Yang pertama: bahwasanya memenuhi panggilan itu adalah wajib
Yang kedua: tidak bisa memenuhi panggilan tersebut kecuali dengan hadir dalam shalat berjama’ah.
Hal tersebut di atas (kewajiban shalat berjama’ah di masjid-pent) adalah yang telah difahami oleh golongan yang paling ‘alim dari ummat ini dan yang paling fahamnya yaitu dari kalangan para shahabat radhiyallahu ‘anhum. (Ibnul Qayyim, Kitabush shalah hal. 65).
Adapun yang menguatkan akan wajibnya shalat berjama’ah juga adalah apa yang telah disebutkan oleh ‘Abdullah bin ‘Abbas dari jeleknya akibat orang yang meninggalkannya. Sungguh Al-Imam Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan dari Mujahid dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: Telah berselisih atasnya seorang laki-laki yang berpuasa sepanjang siang dan shalat sepanjang malam tapi tidak menghadiri shalat jum’at dan tidak pula shalat berjama’ah, maka ia berkata: “Dia di neraka.” (Al-Mushannaf 1/346 dan Jami’ut-Tirmidzi 1/188 dicetak dengan Tuhfatul Ahwadzi).
Sebagai penutup kami bawakan ucapannya Ibrahim bin Yazid At-Taimiy, ia berkata: “Apabila Engkau melihat/mendapatkan orang yang mengenteng-entengkan (bermudah-mudahan) dalam masalah takbiratul ihram, maka bersihkanlah badanmu darinya.” (Siyar A’lamin Nubala` 5/62, lihat Dharuratul Ihtimam hal. 83).
Dari ucapan beliau ini, terdapat isyarat agar kita berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan takbiratul ihram dalam shalat berjama’ah. Maka seyogyanya bagi kita untuk memperhatikan aktivitasnya masing-masing.
Hendaklah ketika keluar atau bepergian melihat waktu shalat. Ketika waktu adzan dikumandangkan sebentar lagi sekitar 5 atau 10 menit maka kita selayaknya memperhatikannya, apakah keluarnya kita bisa mengejar untuk mendapatkan takbiratul ihram atau tidak? Jika tidak, lebih baik kita menunggu sampai kita selesai melaksanakan shalat.
Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang mencintai Sunnah Rasulullah, mengamalkannya, menjaganya dengan sebaik-baiknya dan membelanya dari para penentangnya, Amin. Wallahu a’lamu bish-shawab.
Mutiara Kalam
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya barangsiapa diantara kalian yang hidup sepeninggalku nanti maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Al-Khulafa` Ar-Rasyidin yang terbimbing, berpeganglah erat-erat dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham…” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ad-Darimi dan lainnya dari Al-’Irbadh bin Sariyah, lihat Irwa`ul Ghalil no. 2455).
sumber : http://qurandansunnah.wordpress.com

WAKTU SHOLAT.

Waktu-waktu Shalat
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban yang ditetapkan waktunya bagi kaum mukminin.” (An-Nisa`: 103)
أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْءَانَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْءَانَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan dirikan pula shalat subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan oleh malaikat.” (Al-Isra`: 78)
Shalat dianggap sah dikerjakan apabila telah masuk waktunya. Dan shalat yang dikerjakan pada waktunya ini memiliki keutamaan sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
سَأَلْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم: أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا. قَالَ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: بِرُّ الْوَالِدَيْنِ. قَالَ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ
Aku pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Amal apakah yang paling dicintai oleh Allah?” Beliau menjawab, “Shalat pada waktunya.” “Kemudian amalan apa?” tanya Ibnu Mas`ud. “Berbuat baik kepada kedua orangtua,” jawab beliau. “Kemudian amal apa?” tanya Ibnu Mas’ud lagi. “Jihad fi sabilillah,” jawab beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 527 dan Muslim no. 248)
Sebaliknya, bila shalat telah disia-siakan untuk dikerjakan pada waktunya maka ini merupakan musibah karena menyelisihi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, seperti yang dikisahkan Az-Zuhri rahimahullahu, ia berkata, “Aku masuk menemui Anas bin Malik di Damaskus, saat itu ia sedang menangis. Aku pun bertanya, ‘Apa gerangan yang membuat anda menangis?’ Ia menjawab, ‘Aku tidak mengetahui ada suatu amalan yang masih dikerjakan sekarang dari amalan-amalan yang pernah aku dapatkan di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali hanya shalat ini saja. Itupun shalat telah disia-siakan untuk ditunaikan pada waktunya’.” (HR. Al-Bukhari no. 530)
Ada beberapa hadits yang merangkum penyebutan waktu-waktu shalat. Di antaranya hadits Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ وَقْتِ الصَّلَوَاتِ، فَقَالَ: وَقْتُ صَلاَةِ الْفَجْرِ مَا لَمْ يَطْلُعْ قَرْنُ الشَّمْسِ الْأَوَّلِ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ عَنْ بَطْنِ السَّمَاءِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَيَسْقُطْ قَرْنُهَا الْأَوَّلُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ إِذَا غَابَتِ الشَّمْسُ مَا لَمْ يَسْقُطِ الشَّفَقُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang waktu shalat (yang lima), beliau pun menjawab, “Waktu shalat fajar adalah selama belum terbit sisi matahari yang awal. Waktu shalat zhuhur apabila matahari telah tergelincir dari perut (bagian tengah) langit selama belum datang waktu Ashar. Waktu shalat ashar selama matahari belum menguning dan sebelum jatuh (tenggelam) sisinya yang awal. Waktu shalat maghrib adalah bila matahari telah tenggelam selama belum jatuh syafaq1. Dan waktu shalat isya adalah sampai tengah malam.” (HR. Muslim no. 1388)
Demikian pula hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ لِلصَّلاَةِ أَوَّلاً وَآخِرًا، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلاَةِ الظُّهْرِ حِيْنَ تَزُوْلُ الشَّمْسُ وَآخِرُ وَقْتِهَا حِيْنَ يَدْخُلُ وَقْتُ الْعَصْرِ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلاَةِ الْعَصْرِ حِيْنَ يَدْخُلُ وَقْتَهَا وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ تَصْفَرُّ الشَّمْسُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْمَغْرِبِ حِيْنَ تَغْرُبُ الشَّمْسُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ يَنْتَصِبُ اللَّيْلُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْفَجْرِ حِيْنَ يَطْلُعُ الْفَجْرُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ
Sesungguhnya shalat itu memiliki awal dan akhir waktu. Awal waktu shalat zhuhur adalah saat matahari tergelincir dan akhir waktunya adalah ketika masuk waktu ashar. Awal waktu shalat ashar adalah ketika masuk waktunya dan akhir waktunya saat matahari menguning. Awal waktu shalat maghrib adalah ketika matahari tenggelam dan akhir waktunya ketika tenggelam ufuk. Awal waktu shalat isya adalah saat ufuk tenggelam dan akhir waktunya adalah pertengahan malam. Awal waktu shalat fajar adalah ketika terbit fajar dan akhir waktunya saat matahari terbit.” (HR. At-Tirmidzi no. 151 dan selainnya. Asy-Syaikh Albani rahimahullahu berkata tentang hadits ini, “Sanad hadits ini shahih di atas syarat Syaikhani (Al-Bukhari dan Muslim). Dishahihkan oleh Ibnu Hazm, namun oleh Al-Bukhari dan selainnya disebutkan bahwa hadits ini mursal. Pernyataan ini dibantah oleh Ibnu Hazm dan selainnya. Dalam hal ini Ibnu Hazm benar, terlebih lagi hadits ini memiliki syahid dari hadits Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma.” (Ats-Tsamarul Mustathab fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, 1/56 dan Ash-Shahihah no. 1696)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَمَّنِي جِبْرِيْلُ عليه السلام عِنْدَ الْبَيْتِ مَرَّتَيْنِ، فَصَلَّى بِيَ الظُّهْرَ حِيْنَ زَالَتِ الشَّمْسُ وَكَانَتْ قَدْرَ الشِّرَاكِ، وَصَلَّى بِيَ الْعَصْرَ حِيْنَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَهُ، وَصَلَّى بِيَ –يَعْنِي الْمَغْرِبَ– حِيْنَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ، وَصَلَّى بِيَ الْعِشَاءَ حِيْنَ غَابَ الشَّفَقُ، وَصَلَّى بِيَ الْفَجْرَ حِيْنَ حَرُمَ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ عَلَى الصَّائِمِ، فَلَمَّا كَانَ الْغَدُ صَلَّى بِيَ الظُّهْرَ حِيْنَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَهُ، وَصَلَّى بِيَ الْعَصْرَ حِيْنَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَيْهِ، وَصَلَّى بِيَ الْمَغْرِبَ حِيْنَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ، وَصَلَّى بِيَ الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ وَصَلَّى بِيَ الْفَجْرَ فَأَسْفَرَ، ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَيَّ فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، هَذَا وَقْتُ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِكَ وَالْوَقْتُ مَا بَيْنَ هَذَيْنِ الْوَقْتَيْنِ
Jibril mengimamiku di sisi Baitullah sebanyak dua kali2. Ia shalat zhuhur bersamaku ketika matahari telah tergelincir dan kadar bayangan semisal tali sandal. Ia shalat ashar bersamaku ketika bayangan benda sama dengan bendanya. Ia shalat maghrib bersamaku ketika orang yang puasa berbuka3. Ia shalat isya bersamaku ketika syafaq telah tenggelam. Ia shalat fajar bersamaku ketika makan dan minum telah diharamkan bagi orang yang puasa4. Maka tatkala keesokan harinya, Jibril kembali mengimamiku dalam shalat zhuhur saat bayangan benda sama dengan bendanya. Ia shalat ashar bersamaku saat bayangan benda dua kali bendanya. Ia shalat maghrib bersamaku ketika orang yang puasa berbuka. Ia shalat isya bersamaku ketika telah berlalu sepertiga malam. Dan ia shalat fajar bersamaku dan mengisfar5kannya. Kemudian ia menoleh kepadaku seraya berkata, “Wahai Muhammad, inilah waktu shalat para nabi sebelummu dan waktunya juga berada di antara dua waktu yang ada6.” (HR. Abu Dawud no. 393, Asy-Syaikh Albani rahimahullahu berkata tentang hadits ini dalam Shahih Abi Dawud, “Hasan shahih.”)
Pada pembahasan mengenai waktu-waktu shalat ini kami akan memulai dari shalat subuh terlebih dahulu walaupun kebanyakan ulama memulainya dari shalat zhuhur. Wallahul muwaffiq ‘ilash shawab.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata, “Sekelompok pengikut mazhab kami (mazhab Hambali) seperti Al-Khiraqi dan Al-Qadhi pada sebagian kitabnya serta selain keduanya, memulai dari waktu shalat zhuhur. Di antara mereka ada yang memulai dengan shalat fajar/subuh seperti Abu Musa, Abul Khaththab, dan Al-Qadhi pada satu pembahasan, dan ini yang lebih bagus karena shalat wustha (shalat pertengahan) adalah shalat ashar. Shalat ashar bisa menjadi shalat wustha apabila shalat fajar merupakan shalat yang awal7.” (Al-Ikhtiyarat dalam Al-Fatawa Al-Kubra, 1/45)
1 Cahaya kemerah-merahan yang terlihat di arah barat setelah matahari tenggelam.
2 Yakni dalam dua hari untuk mengajariku tata cara shalat dan waktu-waktunya. (‘Aunul Ma’bud, Kitab Ash-Shalah, bab fil Mawaqit)
3 Yaitu saat matahari tenggelam dan masuk waktu malam dengan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى الَّيْلِ
Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam hari.
4 Awal terbitnya fajar yang kedua berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمْ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
Makan dan minumlah kalian hingga jelas bagi kalian benang yang putih dari benang yang hitam dari fajar (jelas terbitnya fajar).”
5 Lihat keterangan tentang isfar dalam pembahasan waktu shalat fajar yang akan datang setelahnya.
6 Dengan demikian boleh mengerjakan shalat di awal waktunya, di pertengahan dan di akhir waktu. (‘Aunul Ma’bud, Kitab Ash-Shalah, bab fil Mawaqit)
7 Sehingga bila diurutkan menjadi sebagai berikut:
Shalat pertama: shalat fajar, kedua: shalat zhuhur, ketiga: shalat ashar, keempat: shalat maghrib, kelima: shalat isya.
Dengan demikian shalat ashar jatuh pada pertengahan, sehingga diistilahkan shalat wustha.
Shalat Fajar atau Shalat Subuh
Shalat subuh ini memiliki dua nama yaitu fajar dan subuh. Al-Qur`an menyebutkan dengan nama shalat fajar sedangkan As-Sunnah kadang menyebutnya dengan nama fajar dan di tempat lain disebutkan dengan nama subuh. (Al-Majmu’, 3/48)
Awal waktu shalat fajar adalah saat terbitnya fajar kedua atau fajar shadiq1 sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat ini di waktu ghalas, bahkan terkadang beliau selesai dari shalat fajar dalam keadaan alam sekitar masih gelap (waktu ghalas), sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha:
كُنَّا نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم صَلاَةَ الْفَجْرِ مُتَعَلِّفَاتٍ بِمُرُوْطِهِنَّ، ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوْتِهِنَّ حِيْنَ يَقْضِيْنَ الصَّلاَةَ لاَ يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ
“Kami wanita-wanita mukminah ikut menghadiri shalat fajar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berselimut (menyelubungi tubuh) dengan kain-kain kami, kemudian mereka (para wanita tersebut) kembali ke rumah-rumah mereka ketika mereka selesai menunaikan shalat dalam keadaan tidak ada seorang pun mengenali mereka karena waktu ghalas (sisa gelapnya malam).” (HR. Al-Bukhari no. 578 dan Muslim no. 1455)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata, “Hadits ini menunjukkan disunnahkannya bersegera dalam mengerjakan shalat subuh di awal waktu.” (Fathul Bari, 2/74)
Demikian pula yang dikatakan Al-Imam Nawawi rahimahullahu. Dan ini merupakan mazhab Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad dan jumhur, menyelisihi Abu Hanifah yang berpendapat bahwa isfar (waktu sudah terang) lebih utama/afdhal. (Al-Minhaj, 5/145)
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Adapun shalat subuh maka dikerjakan waktu ghalas lebih afdhal. Demikian pendapat Malik, Asy-Syafi’i, dan Ishaq2 rahimahumullah. Juga diriwayatkan dari Abu Bakr, ‘Umar, Ibnu Mas’ud, Abu Musa, Ibnuz Zubair, dan ‘Umar bin Abdil ‘Aziz apa yang menunjukkan hal tersebut. Ibnu Abdil Bar rahimahullahu3 berkata, “Telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman g, bahwa mereka semuanya mengerjakan shalat subuh di waktu ghalas. Dan suatu hal yang mustahil bila mereka meninggalkan yang afdhal dan melakukan yang tidak afdhal, sementara mereka adalah orang-orang yang puncak dalam mengerjakan perkara-perkara yang afdhal. Diriwayatkan dari Al-Imam Ahmad rahimahullahu, beliau berpandangan bahwa yang utama adalah melihat keadaan makmum. Bila mereka berkumpul di waktu isfar maka yang afdal mengerjakannya di waktu isfar karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan perbuatan yang seperti ini dengan melihat berkumpulnya jamaah dalam penunaian shalat isya, sebagaimana diriwayatkan oleh Jabir radhiyallahu ‘anhu. Sehingga demikian pula yang berlaku pada shalat fajar. Ats-Tsauri dan ashabur ra`yi berkata, “Yang afdal shalat subuh dikerjakan waktu isfar dengan dalil hadits yang diriwayatkan oleh Rafi’ ibnu Khadij, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَسْفِرُوْا بِالْفَجْرِ فَإِنَّهُ أَعْظَمُ لِلْأَجْرِ
Lakukanlah shalat fajar dalam keadaan isfar (sudah terang), karena hal itu lebih memperbesar pahala.” (Al-Mughni, Kitab Ash-Shalah, Fashl At-Taghlis li Shalatish Shubhi)4
Adapun hadits asfiru bil fajri di atas maknanya/tafsirnya adalah “Hendaklah kalian selesai dari mengerjakan shalat fajar pada waktu isfar (karena shalat yang demikian lebih besar pahalanya).” Bukan awal masuknya ke shalat fajar, tapi akhir dari mengerjakan shalat fajar. Caranya tentu dengan memanjangkan bacaan dalam shalat ini. Bukan perintah untuk mengerjakan shalat subuh di waktu isfar. Hal ini sebagaimana juga dijelaskan dari riwayat bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah selesai dari shalat fajar ini pada waktu isfar (hari sudah terang), tatkala seseorang sudah mengenali wajah teman duduknya. Sebagaimana kata Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, “Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai dari shalat subuh tatkala seseorang telah mengenali siapa yang duduk di sebelahnya5.” (HR. Al-Bukhari no. 541 dan Muslim no. 1460)
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “Hadits di atas memang harus, mau tidak mau, ditafsirkan/dimaknakan seperti ini, agar sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini mencocoki perbuatan beliau yang terus beliau lakukan, berupa masuk ke dalam penunaian shalat subuh di waktu ghalas sebagaimana telah lewat. Makna ini yang dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam I’lamul Muwaqqi’in. Dan yang mendahului Ibnul Qayyim dalam pentarjihan ini adalah Al-Imam Ath-Thahawi dari kalangan Hanafiyyah, dan beliau panjang lebar dalam menetapkan hal ini (1/104-109). Beliau berkata, “Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad.” Walaupun apa yang dinukilkan oleh Ath-Thahawi dari tiga imam ini menyelisihi pendapat yang masyhur dari mazhab mereka dalam kitab-kitab mazhab yang menetapkan disunnahkannya memulai shalat subuh di waktu isfar.” (Ats-Tsamarul Mustathab, 1/81)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kenyataannya memang tidak pernah mengerjakan shalat fajar ini di waktu isfar kecuali hanya sekali. Dalam hadits Abu Mas’ud Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu disebutkan:
وَصَلَّى الصُّبْحَ مَرَّةً بِغَلَسٍ، ثُمَّ صَلَّى مَرَّةً أُخْرَى فَأَسْفَرَ بِهَا ثُمَّ كَانَتْ صَلاَتُهُ بَعْدَ ذَلِكَ الْغَلَسَ حَتَّى مَاتَ لَمْ يَعُدْ إِلَى أَنْ يُسْفِرَ
“Rasulullah sekali waktu shalat subuh pada waktu ghalas lalu pada kali lain beliau mengerjakannya di waktu isfar. Kemudian shalat subuh beliau setelah itu beliau kerjakan di waktu ghalas hingga beliau meninggal, beliau tidak pernah lagi mengulangi pelaksanaannya di waktu isfar.” (HR. Abu Dawud no. 394, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
Mendapati Satu Rakaat Fajar
Telah kita ketahui bahwa akhir waktu shalat fajar adalah ketika matahari terbit, sehingga keadaan seseorang yang baru mengerjakan satu rakaat fajar kemudian ketika hendak masuk pada rakaat kedua matahari terbit maka dia mendapati shalat subuh. Hal ini sebagamana ditunjukkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ أَدْرَكَ مِنَ الصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الصُّبْحَ، وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقدْ أدْرَكَ الْعَصْرَ
“Siapa yang mendapati satu rakaat subuh sebelum matahari terbit maka sungguh ia telah mendapatkan shalat subuh dan siapa yang mendapati satu rakaat ashar sebelum matahari tenggelam maka sungguh ia telah mendapatkan shalat ashar.” (HR. Al-Bukhari no. 579 dan Muslim no. 1373)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata tentang hadits di atas, “Ini merupakan dalil yang sharih/jelas tentang orang yang telah mengerjakan satu rakaat subuh atau ashar kemudian keluar waktu kedua shalat tersebut sebelum orang itu mengucapkan salam (sebelum sempurna dari amalan shalatnya, pent.), maka ia tetap harus menyempurnakannya sampai selesai dan shalatnya pun sah. Dinukilkan adanya kesepakatan dalam penunaian shalat ashar. Adapun dalam shalat subuh ada perselisihan. Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan ulama seluruhnya berpendapat subuh juga demikian, menyelisihi Abu Hanifah yang mengatakan, ‘Shalat subuh yang sedang dikerjakannya batal dengan terbitnya matahari karena telah masuk waktu larangan mengerjakan shalat, beda halnya dengan tenggelamnya matahari.’ Namun hadits ini merupakan hujjah yang membantahnya.” (Al-Minhaj, 5/109)
Hukum di atas adalah bagi orang yang mengakhirkan waktu shalat sampai ke waktu yang sempit tersebut. Adapun bagi orang yang tertidur atau lupa maka tidak hilang baginya waktu shalat selama-lamanya walaupun telah keluar dari seluruh waktunya, selama memang ia tidak mengerjakannya karena tertidur atau karena lupa. Waktu mereka mengerjakannya adalah ketika ingat atau saat terbangun dari tidur.
Ketiduran dari mengerjakan shalat ini pernah dialami oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau dikarenakan kelelahan yang sangat. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami berjalan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam. Sebagian orang yang ikut rombongan berkata, ‘Seandainya anda berhenti sebentar untuk beristirahat dengan kami, wahai Rasulullah!’ Beliau menjawab, ‘Aku khawatir kalian akan ketiduran dari mengerjakan shalat.’ Bilal berkata, ‘Aku yang akan membangunkan kalian.’ Maka para sahabat yang lain pun berbaring tidur sedangkan Bilal menyandarkan punggungnya ke tunggangannya. Namun ternyata ia dikuasai oleh kantuk hingga tertidur. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terbangun sementara matahari telah terbit. Beliau pun bersabda, ‘Wahai Bilal, apa yang tadi engkau katakan? Katanya engkau yang membangunkan kami?’ Bilal menjawab, ‘Aku sama sekali belum pernah tertidur seperti tidurku kali ini.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ قَبَضَ أَرْوَاحَكُمْ حِيْنَ شَاءَ، وَردَّهَا عَلَيْكُمْ حِيْنَ شَاءَ، يَا بِلاَلُ، قُمْ فَأَذِّنْ بِالنَّاسِ بِالصَّلاَةِ. فَتَوَضَّأَ، فَلَمَّا ارْتَفَعَتِ الشَّمْسُ وَابْيَاضَّتْ قاَمَ فَصَلَّى
Sesungguhnya Allah menahan ruh-ruh kalian kapan Dia inginkan dan Dia mengembalikannya pada kalian kapan Dia inginkan. Wahai Bilal! Bangkit lalu kumandangkan azan untuk memanggil manusia guna mengerjakan shalat.” Beliau lalu berwudhu, tatkala matahari telah meninggi dan memutih, beliau bangkit untuk mengerjakan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 595)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَمَا إِنَّهُ لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيْطٌ، إِنَّمَا التَّفْرِيْطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلاَةَ حَتَّى يَجِيْءَ وَقْتُ الصَّلاَةِ الْأُخْرَى، فَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلْيُصَلِّهَا حِيْنَ تَنَبَّهَ لَهَا
Sesungguhnya tertidur dari mengerjakan shalat bukanlah sikap tafrith (menyia-nyiakan). Hanyalah merupakan tafrith bila seseorang tidak mengerjakan shalat hingga datang waktu shalat yang lain (dalam keadaan ia terjaga dan tidak lupa). Maka siapa yang tertidur (atau lupa) sehingga belum mengerjakan shalat, hendaklah ia mengerjakannya ketika terjaga/ketika sadar/ingat.” (HR. Muslim no. 1560)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata menyampaikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ نَسِيَ الصَّلاَةَ فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا، فَإِنَّ اللهَ قَالَ: أَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِيْ
Siapa yang lupa dari mengerjakan shalat, maka hendaklah ia mengerjakannya ketika ingat, karena Allah berfirman: ‘Tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku’.”(HR. Muslim no. 1558)
1 Karena fajar ada dua, fajar pertama yang disebut fajar kadzib dan fajar kedua yang disebut fajar shadiq. Fajar shadiq ini muncul tersebar dalam keadaan melintang di ufuk.
2 Juga pendapat Al-Imam Ahmad, Abu Tsaur, Al-Auza’i, Dawud bin ‘Ali, dan Abu Ja’far Ath-Thabari. (Nailul Authar, 1/466)
3 Lihat At-Tamhid, 1/141. 4 HR. At-Tirmidzi no. 154, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi.
5 Karena di zaman itu tidak ada penerangan lampu, sehingga mereka mengerjakan shalat subuh dalam keadaan gelap. Sampai-sampai seseorang tidak tahu siapa yang shalat di sebelahnya. Beda halnya dengan keadaan masjid-masjid di zaman sekarang yang selalu terang benderang dengan cahaya lampu.
Shalat Zhuhur
Awal waktu zhuhur adalah saat matahari tergelincir (waktu zawal) dan akhir waktunya adalah ketika masuk waktu ashar. Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي الظُّهْرَ إِذَا دَحَضَتِ الشَّمْسُ
Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat zhuhur ketika matahari tergelincir.” (HR. Muslim no. 1403)
Hadits ini menunjukkan disenanginya menyegerakan shalat zhuhur, demikian pendapat Asy-Syafi’i rahimahullahu dan jumhur ulama. (Al-Minhaj 5/122, Al-Majmu’ 3/56)
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:
كُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِالظَّهَائِرِ، سَجَدْنَا عَلَى ثِيَابِنَا اتِّقَاءَ الْحَرِّ
Kami bila mengerjakan shalat zhuhur di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami sujud di atas pakaian kami dalam rangka menjaga diri dari panasnya matahari di siang hari.” (HR. Al-Bukhari no. 542 dan Muslim no. 1406)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu menyatakan, “Hadits ini menunjukkan disegerakannya pelaksanaan shalat zhuhur walaupun dalam kondisi panas yang sangat. Ini tidaklah menyelisihi perintah untuk ibrad (menunda shalat zhuhur sampai agak dingin, pent.), akan tetapi hal ini untuk menerangkan kebolehan shalat di waktu yang sangat panas, sekalipun ibrad lebih utama.” (Fathul Bari, 2/32)
Seperti disinggung di atas bahwa untuk shalat zhuhur ada istilah ibrad, yaitu menunda pelaksanaan shalat zhuhur sampai agak dingin. Ini dilakukan ketika hari sangat panas sebagai suatu pengecualian/pengkhususan dari penyegeraan shalat zhuhur. Jumhur berkata, “Disenangi ibrad dalam shalat zhuhur kecuali pada waktu yang memang dingin.” (Nailul Authar, 1/427)
Dalam hal ini ada hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا اشْتَدَّ الْحَرُّ فَأَبْرِدُوْا عَنِ الصَّلاَةِ، فَإِنَّ شِدَّةَ الْحَرِّ مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ
“Apabila panas yang sangat maka akhirkanlah shalat zhuhur sampai waktu dingin karena panas yang sangat merupakan semburan hawa neraka jahannam.” (HR. Al­-Bukhari no. 533 dan Muslim no. 1394)
Hikmah dari ibrad ini adalah untuk memperoleh kekhusyukan, karena dikhawatirkan bila shalat dalam keadaan panas yang sangat akan menyulitkan seseorang untuk khusyuk. (Al-Majmu’ 3/64)
Bagaimana Mengetahui Waktu Zawal?
Matahari telah zawal artinya matahari telah miring/condong dari tengah-tengah langit setelah datangnya tengah hari. Hal itu diketahui dengan munculnya bayangan seseorang/suatu benda di sebelah timur setelah sebelumnya bayangan di sisi barat hilang. Siapa yang hendak mengetahui hal tersebut maka hendaknya ia mengukur bayangan matahari. Manakala matahari semakin tinggi maka bayangan itu akan berkurang dari arah barat dan terus berkurang. Pas di tengah hari, saat matahari tepat di tengah-tengah langit, pengurangan bayangan tersebut berhenti. Nah, ketika matahari telah miring/bergeser dari tengah langit kembali bayangan muncul dan semakin bertambah serta jatuhnya di sisi timur. Awal pertama kali muncul di sisi timur itulah yang dinamakan waktu zawal. (Al-Ma’unah 1/196, At-Tahdzib lil Baghawi 2/9, Asy-Syarhul Kabir lil Rafi’i 1/367-368, Al-Majmu’ 3/28-29, Al-Mabsuth 1/133, Syarhu Muntaha Al-Iradat 1/133)
Akhir Waktu Zhuhur
Waktu shalat zhuhur masih terus berlangsung selama belum datang waktu shalat ashar dan bayangan seseorang sama dengan tinggi orang tersebut. Seperti ditunjukkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ، وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُوْلِهِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ
“Waktu shalat zhuhur adalah bila matahari telah tergelincir dan bayangan seseorang sama dengan tingginya selama belum datang waktu ashar.” (HR. Muslim no. 1387)
Apakah bayangan zawal ikut digabungkan ke bayangan benda/sesuatu untuk menunjukkan keluarnya/habisnya waktu zhuhur dan telah masuknya waktu ashar, ataukah tidak digabungkan?
Sebagai contoh, ada seseorang tingginya 165 cm, dan tinggi/panjang bayangannya ketika zawal 20 cm. Maka apakah keluarnya waktu zhuhur dan masuknya waktu ashar dengan menambahkan tinggi seseorang dengan tinggi/panjang bayangannya ketika zawal (165 ditambah 20) sehingga tinggi/panjang bayangan menjadi 185 cm, atau cukup tinggi/panjang bayangan 165 cm?
Al-Qarrafi rahimahullahu berkata, “Awal waktu ikhtiyari pada shalat zhuhur adalah pada saat zawal, dan ini berlangsung sampai panjang bayangan benda semisal dengan bendanya, (dihitung) setelah panjang bayangan benda ketika zawal.” (Adz-Dzakhirah 2/13)
Dikatakan dalam Raudhatu Ath-Thalibin (1/208), “Waktu zhuhur selesai apabila bayangan seseorang sama dengan tingginya, selain bayangan yang tampak ketika zawal.”
Ibnu Hazm rahimahullahu berkata, “Awal waktu zhuhur saat matahari mulai tergelicir dan miring/condong (ke barat). Maka tidak halal sama sekali melakukan shalat zhuhur sebelum itu, dan bila dikerjakan maka shalat tersebut tidaklah mencukupi. Waktu shalat zhuhur terus berlangsung sampai bayangan segala sesuatu sama dengan bendanya tanpa memperhitungkan bayangan yang muncul saat awal zawalnya matahari, tetapi yang dihitung/dianggap adalah yang lebih dari bayangan zawal tersebut.” (Al-Muhalla, 2/197)
Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Akhir waktu zhuhur adalah bila bayangan segala sesuatu sama dengan tingginya, setelah menambahkan bayangan sesuatu tersebut dengan bayangan tatkala zawal/matahari tergelicir.” (Al-Kafi, 1/120)
Penulis Zadul Mustaqni’ menyebutkan, “Waktu zhuhur dari zawal sampai bayangan sesuatu sama dengan sesuatu tersebut setelah (ditambah) dengan bayangan zawal.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu dalam syarahnya terhadap ucapan penulis tersebut mengatakan, “Di saat matahari terbit, sesuatu yang tinggi akan memiliki bayangan yang jatuh ke arah barat. Kemudian bayangan tersebut akan berkurang sesuai kadar tingginya matahari di ufuk. Demikian seterusnya hingga bayangan tersebut berhenti dari pengurangan. Tatkala bayangan tersebut berhenti dari pengurangan, kemudian bayangan itu bertambah walau hanya satu rambut maka itulah zawal dan dengannya masuklah waktu zhuhur. Ucapan penulis “setelah (ditambah) dengan bayangan zawal” maksudnya bayangan yang tampak saat matahari tergelincir (zawal) tidaklah terhitung. Pada waktu kita yang sekarang ini, tatkala matahari radhiyallahu ‘anhumaondong ke selatan maka bagi setiap sesuatu yang tinggi pasti memiliki bayangan yang selalu ada di arah utaranya. Bayangan ini tidaklah teranggap. Bila bayangan ini mulai bertambah maka letakkanlah tanda pada tempat awal penambahannya. Kemudian bila bayangan itu memanjang dari mulai tanda yang telah diberikan sampai setinggi (sepanjang) benda (sesuatu yang tinggi tersebut) berarti waktu zhuhur sudah berakhir dan telah masuk waktu ashar.” (Asy-Syarhul Mumti’, 2/102)
Pendapat seperti ini yang bisa kami kumpulkan dari beberapa kitab, di antaranya Al-Ma’unah (1/196), Mawahibul Jalil (1/388), Majmu’ Fatawa (23/267), Ar-Raudhul Murbi’ (1/100), Syarhu Muntaha Al-Iradat (1/133), Mughnil Muhtaj (1/249), At-Tahdzib lil Baghawi (2/9), Al-Hawil Kabir (2/14), Ad-Durarus Saniyyah (4/216,219,220,222), Adhwa`ul Bayan, Tafsir Surah An Nisa` ayat 103, dan beberapa kitab yang lainnya.
5. Shalat Isya
Awal waktu shalat Isya adalah saat tenggelamnya syafaq dan akhir waktunya ketika pertengahan malam, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr ibnul Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ وَقْتِ الصَّلَوَاتِ، فَقَالَ: وَقْتُ صَلاَةِ الْفَجْرِ مَا لَمْ يَطْلُعْ قَرْنُ الشَّمْسِ الْأَوَّلِ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ عَنْ بَطْنِ السَّمَاءِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَيَسْقُطْ قَرْنُهَا الْأَوَّلُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ إِذَا غَابَتِ الشَّمْسُ مَا لَمْ يَسْقُطِ الشَّفَقُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ الْلَيْلِ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang waktu shalat (yang lima), beliau pun menjawab, “Waktu shalat fajar adalah selama belum terbit sisi matahari yang awal. Waktu shalat zhuhur apabila matahari telah tergelincir dari perut (bagian tengah) langit selama belum datang waktu Ashar. Waktu shalat ashar selama matahari belum menguning dan sebelum jatuh (tenggelam) sisinya yang awal. Waktu shalat maghrib adalah bila matahari telah tenggelam selama belum jatuh syafaq. Dan waktu shalat isya adalah sampai tengah malam.” (HR. Muslim no. 1388)
Demikian pula hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ لِلصَّلاَةِ أَوَّلاً وَآخِرًا، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلاَةِ الظُّهْرِ حِيْنَ تَزُوْلُ الشَّمْسُ وَآخِرُ وَقْتِهَا حِيْنَ يَدْخُلُ وَقْتُ الْعَصْرِ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلاَةِ الْعَصْرِ حِيْنَ يَدْخُلُ وَقْتُهَا وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ تَصْفَرُّ الشَّمْسُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْمَغْرِبِ حِيْنَ تَغْرُبُ الشَّمْسُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ يَنْتَصِبُ اللَيْلُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْفَجْرِ حِيْنَ يَطْلُعُ الْفَجْرُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ
Sesungguhnya shalat itu memiliki awal dan akhir waktu. Awal waktu shalat zhuhur adalah saat matahari tergelincir dan akhir waktunya adalah ketika masuk waktu ashar. Awal waktu shalat ashar adalah ketika masuk waktunya dan akhir waktunya saat matahari menguning. Awal waktu shalat maghrib adalah ketika matahari tenggelam dan akhir waktunya ketika tenggelam ufuk. Awal waktu shalat isya adalah saat ufuk tenggelam dan akhir waktunya adalah pertengahan malam. Awal waktu shalat fajar adalah ketika terbit fajar dan akhir waktunya saat matahari terbit.” (HR. At-Tirmidzi no. 151 dan selainnya. Lihat Ash-Shahihah no. 1696)
Dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang Jibril mengimami Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat lima waktu selama dua hari berturut-turut, disebutkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَصَلىَّ بِي الْعِشَاءَ حِيْنَ غَابَ الشَّفَقُ
“…Dan Jibril shalat Isya denganku ketika tenggelamnya syafaq….” (HR. Abu Dawud no. 393, Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata tentang hadits ini dalam Shahih Abi Dawud, “Hasan shahih.”)
Selain itu, ada pula hadits lain yang menunjukkan akhir waktu isya adalah pertengahan malam. Seperti hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
أَخَّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ ثُمَّ صَلَّى، ثُمَّ قَالَ: قَدْ صَلَّى النَّاسُ وَنَامُوْا، أَمَّا إِنَّكُمْ فِي صَلاَةٍ مَا انْتَظَرْتُمُوْهَا
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat isya sampai pertengahan malam kemudian beliau shalat, lalu berkata, “Sungguh manusia telah shalat dan mereka telah tidur, adapun kalian terhitung dalam keadaan shalat selama kalian menanti waktu pelaksanaan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 572 dan Muslim no. 1446)
Demikian pula hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ أَنْ يُؤَخِّرُوا الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ أَوْ نِصْفِهِ
Seandainya tidak memberati umatku niscaya aku akan memerintahkan mereka untuk mengakhirkan shalat isya sampai sepertiga atau pertengahan malam.” (HR. At-Tirmidzi no. 167, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Juga hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
صَلَّيْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الْعَتَمَةِ، فَلَمْ يَخْرُجْ حَتَّى مَضَى نَحْوٌ مِنْ شَطْرِ اللَّيْلِ، فَقَالَ: خُذُوْا مَقَاعِدَكُمْ. فَأَخَذْنَا مَقَاعِدَنَا فَقَالَ: إِنَّ النَّاسَ قَدْ صَلُّوا وَأَخَذُوْا مَضَاجِعَهُمْ، وَإِنَّكُمْ لَنْ تَزَالُوْا فِي صَلاَةٍ ماَ انْتَظَرْتُمُ الصَّلاَةَ ،وَلَوْلاَ ضَعْفُ الضَّعِيْفِ وَسَقْمُ السَّقِيْمِ لَأَخَّرْتُ هَذِهِ الصَّلاَةَ إِلىَ شَطْرِ اللَّيْلِ
Kami pernah hendak shalat isya bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun beliau tidak keluar dari tempat tinggalnya (menuju ke masjid) hingga berlalu sekitar pertengahan malam. Beliau lalu berkata, “Tetaplah di tempat duduk kalian.” Kami pun menempati tempat duduk kami. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda, “Sungguh saat seperti ini orang-orang telah selesai mengerjakan shalat isya dan telah menempati tempat berbaring (tempat tidur) mereka. Dan sungguh kalian terus menerus teranggap dalam keadaan shalat selama kalian menanti shalat. Seandainya bukan karena kelemahan orang yang lemah dan sakitnya orang yang sakit niscaya aku akan mengakhirkan shalat isya ini sampai pertengahan malam.” (HR. Abu Dawud no. 422, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Dalam Al-Qamus disebutkan, “Malam adalah dari tenggelamnya matahari sampai terbitnya fajar shadiq atau terbitnya matahari.” Adapun dalam istilah syar’i, secara zahir malam itu berakhir dengan terbitnya fajar. Berdasarkan hal ini kita mengetahui bahwa tengah malam itu diukur dari tenggelamnya matahari sampai terbitnya fajar. Pertengahan waktu antara keduanya itulah yang disebut tengah malam sebagai akhir waktu shalat isya. Adapun setelah tengah malam ini bukanlah waktu pelaksanaan shalat fardhu, tapi waktu untuk melaksanakan shalat sunnah/nafilah seperti tahajjud. (Asy-Syarhul Mumti’ 2/115)
Apa yang Dimaksud dengan Syafaq?
Ulama berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan syafaq yang merupakan tanda habisnya waktu maghrib dan masuknya waktu isya.
Mayoritas mereka berpendapat bahwa syafaq itu adalah warna kemerahan di langit sebagaimana pendapat yang diriwayatkan dari ‘Umar ibnul Khaththab, ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, ‘Ubadah ibnush Shamit, dan Syaddad bin Aus g. Demikian pula pendapat Mak-hul dan Sufyan Ats-Tsauri. Ibnul Mundzir menghikayatkan pendapat ini dari Ibnu Abi Laila, Malik, Ats-Tsauri, Ahmad, Ishaq, Abu Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan, Abu Tsaur dan Dawud.
Sebagian lagi berpandangan syafaq adalah warna putih, seperti pendapat Abu Hanifah, Zufar dan Al-Muzani. Diriwayatkan pula hal ini dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ‘Umar bin Abdil Aziz, Al-Auza’i, dan dipilih oleh Ibnul Mundzir. (Al-Majmu’ 3/44, 45, At-Tahdzib lil Baghawi, 2/10, Asy-Syarhul Kabir lil Rafi’i 1/372, Nailul Authar 1/456)
Namun yang rajih (kuat) adalah pendapat pertama, karena pemaknaan syafaq dengan warna kemerahan di langit itulah yang dikenal di kalangan orang-orang Arab, dan ini disebutkan dalam syair-syair mereka. Demikian pula penjelasan yang diberikan oleh para ahli bahasa seperti Al-Azhari. Ia berkata, “Syafaq menurut orang Arab adalah humrah (warna kemerah-merahan di langit).”
Ibnu Faris berkata dalam Al-Mujmal: Al-Khalil berkata: “Syafaq adalah humrah yang muncul sejak tenggelamnya matahari sampai waktu isya yang akhir.” (Al-Majmu’, 3/45)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan surat Al-Insyiqaq memilih pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaukan dengan syafaq adalah humrah. Beliau menukilkan pendapat ini dari sejumlah besar ahlul ilmi. (Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 8/279)
Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullahu berkata dalam Subulus Salam (2/31): “Saya katakan, ‘Pembahasan ini adalah pembahasan dari sisi bahasa. Yang menjadi rujukan dalam hal ini tentunya ahli bahasa (Arab), sementara Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma termasuk ahli bahasa dan orang Arab (mengerti bahasa Arab) yang murni, maka ucapannya merupakan hujjah1, walaupun ucapannya itu hukumnya mauquf.”
Dalam Al-Qamus disebutkan, syafaq adalah humrah di ufuk, dari tenggelamnya matahari sampai isya dan mendekati isya atau mendekati ‘atamah.
Disenangi Mengakhirkan Shalat Isya’
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyenangi mengakhirkan shalat isya, sebagaimana diisyaratkan dalam beberapa hadits di atas, ditambah pula hadits berikut ini:
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
أَعْتَمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْعِشَاءِ حَتَّى نَادَاهُ عُمَرُ: الصَّلاَةُ، نَامَ النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ. فَخَرَجَ فَقَالَ: مَا يَنْتَظِرُهَا أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ غَيْرُكُمْ. قَالَ: وَلاَ يُصَلَّى يَوْمَئِذٍ إِلاَّ بِالْمَدِيْنَةِ، وَكاَنُوْا يُصَلُّوْنَ فِيْمَا بَيْنَ أَنْ يَغِيْبَ الشَّفَقُ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ الْأَوَّلِ
Rasulullah mengakhirkan shalat isya hingga malam sangat gelap sampai akhirnya Umar menyeru beliau, “Shalat. Para wanita dan anak-anak telah tertidur2.” Beliau akhirnya keluar seraya bersabda, “Tidak ada seorang pun dari penduduk bumi yang menanti shalat ini kecuali kalian3.” Rawi berkata, “Tidak dikerjakan shalat isya dengan cara berjamaah pada waktu itu kecuali di Madinah. Nabi beserta para sahabatnya menunaikan shalat isya tersebut pada waktu antara tenggelamnya syafaq sampai sepertiga malam yang awal.” (HR. Al-Bukhari no. 569 dan Muslim no. 1441)
Juga hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu:
أَبْقَيْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلاَةِ الْعَتَمَةِ، فَأَخَّرَ حَتَّى ظَنَّ الظَّانُّ أَنَّهُ لَيْسَ بِخَارِجٍ، وَالْقَائِلُ مِنَّا يَقُوْلُ: صَلَّى. فَإِنَّا لَكَذَلِكَ حَتَّى خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوْا لَهُ كَماَ قَالُوْا. فَقَالَ لَهُمْ: أَعْتِمُوْا بِهَذِهِ الصَّلاَةِ، فَإِنَّكُمْ قَدْ فَضَّلْتُمْ بِهَا عَلَى سَائِرِ الْأُمَمِ وَلَمْ تُصَلِّهَا أُمَّةٌ قَبْلَكُمْ
Kami menanti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat isya (‘atamah), ternyata beliau mengakhirkannya hingga seseorang menyangka beliau tidak akan keluar (dari rumahnya). Seseorang di antara kami berkata, “Beliau telah shalat.” Maka kami terus dalam keadaan demikian hingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar, lalu para sahabat pun menyampaikan kepada beliau apa yang mereka ucapkan. Beliau bersabda kepada mereka, “Kerjakanlah shalat isya ini di waktu malam yang sangat gelap (akhir malam) karena sungguh kalian telah diberi keutamaan dengan shalat ini di atas seluruh umat. Dan tidak ada satu umat sebelum kalian yang mengerjakannya.” (HR. Abu Dawud no. 421, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengharuskan umatnya untuk terus mengerjakannya di akhir waktu disebabkan adanya kesulitan. Dalam pelaksanaan shalat isya berjamaah di masjid, beliau melihat jumlah orang-orang yang berkumpul di masjid untuk shalat, sedikit atau banyak. Sehingga terkadang beliau menyegerakan shalat isya dan terkadang mengakhirkannya. Bila beliau melihat para makmum telah berkumpul di awal waktu maka beliau mengerjakannya dengan segera. Namun bila belum berkumpul beliau pun mengakhirkannya.
Hal ini ditunjukkan dalam hadits Jabir radhiyallahu ‘anhuma, ia mengabarkan:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الظُّهْرَ بِالْهَاجِرَةِ وَالْعَصْرَ وَالشَّمْسُ نَقِيَّةٌ وَالْمَغْرِبَ إِذَا وَجَبَتْ وَالْعِشَاءَ أَحْيَانًا يُؤَخِّرُهَا وَأَحْيَانًا يُعَجِّلُ، كَانَ إِذَا رَآهُمْ قَدِ اجْتَمَعُوْا عَجَّلَ وَإِذَا رَآهُمْ أَبْطَأُوْا أَخَّرَ …
Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat zhuhur di waktu yang sangat panas di tengah hari, shalat ashar dalam keadaan matahari masih putih bersih, shalat maghrib saat matahari telah tenggelam dan shalat isya terkadang beliau mengakhirkannya, terkadang pula menyegerakannya. Apabila beliau melihat mereka (para sahabatnya/jamaah isya) telah berkumpul (di masjid) beliau pun menyegerakan pelaksanaan shalat isya, namun bila beliau melihat mereka terlambat berkumpulnya, beliau pun mengakhirkannya….” (HR. Al-Bukhari no. 565 dan Muslim no. 1458)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu berkata, “Yang afdhal/utama bagi para wanita yang shalat di rumah-rumah mereka adalah mengakhirkan pelaksanaan shalat isya, jika memang hal itu mudah dilakukan.” (Asy-Syarhul Mumti’ 2/116)
Bila ada yang bertanya, “Manakah yang lebih utama, mengakhirkan shalat isya sendirian atau melaksanakannya secara berjamaah walaupun di awal waktu?” Jawabannya, kata Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu, adalah shalat bersama jamaah lebih utama. Karena hukum berjamaah ini wajib (bagi lelaki), sementara mengakhirkan shalat isya hukumnya mustahab. Jadi tidak mungkin mengutamakan yang mustahab daripada yang wajib. (Asy-Syarhul Mumti’ 2/116, 117)
Keutamaan Menanti Pelaksanaan Shalat Isya
Siapa yang menanti ditegakkannya shalat isya secara berjamaah bersama imam, maka ia terhitung dalam keadaan shalat selama masa penantian tersebut. Hal ini dinyatakan dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang telah lewat penyebutannya di atas:
أَخَّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ ثُمَّ صَلَّى ثُمَّ قَالَ: قَدْ صَلَّى النَّاسُ وَنَامُوْا، أَمَّا إِنَّكُمْ فِي صَلاَةٍ مَا انْتَظَرْتُمُوْهَا
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat isya sampai pertengahan malam kemudian beliau shalat, lalu berkata, “Sungguh manusia telah shalat dan mereka telah tidur, adapun kalian terhitung dalam keadaan shalat selama kalian menanti waktu pelaksanaan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 572 dan Muslim no. 1446)
Dibenci Tidur Sebelum Isya dan Berbincang Setelahnya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum isya dan berbincang-bincang setelahnya4. Dalam hal ini Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَحِبُّ أَنْ يُؤَخِّرَ الْعِشَاءَ، وَكَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَهَا وَالْحَدِيْثَ بَعْدَهَا
Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyenangi mengakhirkan shalat isya. Dan beliau membenci tidur sebelum shalat isya dan berbincang -bincang setelahnya.” (HR. Ibnu Majah no. 701, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Ibni Majah)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
جَدَبَ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السَّمَرَ بَعْدَ الْعِشَاءِ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan kami dari berbincang-bincang setelah isya.” (HR. Ahmad 1/388-389, 410, Ibnu Majah no. 703, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 2435)
At- Tirmidzi rahimahullahu berkata, “Kebanyakan ahlul ilmi membenci tidur sebelum shalat isya dan ngobrol setelahnya. Sebagian mereka memberi keringanan dalam hal ini. Abdullah ibnul Mubarak rahimahullahu berkata, ‘Kebanyakan hadits menunjukkan makruhnya’.” (Sunan At-Tirmidzi, 1/110)
Larangan tidur sebelum isya ini ditujukan kepada orang yang dengan sengaja melakukannya. Adapun orang yang tidak kuasa menahan kantuknya sehingga jatuh tertidur, maka diberikan pengecualian. Hal ini ditunjukkan dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas dalam pembahasan disenanginya mengakhirkan shalat isya, tentang tertidurnya para wanita dan anak-anak yang ikut menanti shalat isya berjamaah di masjid, sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari tidur mereka. (Fathul Bari, 2/66)
Demikian pula hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شُغِلَ عَنْهَا لَيْلَةً، فَأَخَّرَهَا حَتَّى رَقَدْنَا فِي الْمَسْجِدِ ثُمَّ اسْتَيْقَظْنَا ثُمَّ رَقَدْنَا ثُمَّ اسْتَيْقَظْنَا ثُمَّ خَرَجَ عَلَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ: لَيْسَ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ يَنْتَظِرُ الصَّلاَةَ غَيْرُكُمْ. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ لاَ يُبَالِي أَقَدَّمَهَا أَوْ أَخََّرَهَا، إِذَا كَانَ لاَ يَخْشَى أَنْ يَغْلِبَهَا النَّوْمُ عَنْ وَقْتِهَا وَكَانَ يَرْقُدُ قَبْلَهَا
Suatu malam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersibukkan dari mengerjakan shalat isya di awal waktu, maka beliau mengakhirkannya hingga kami tertidur di masjid kemudian kami terbangun, lalu kami tidur lagi kemudian terbangun. Lalu keluarlah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui kami, kemudian beliau bersabda: “Tidak ada seorang pun dari penduduk bumi yang menanti shalat ini selain kalian.” Adalah Ibnu Umar tidak memedulikan apakah ia mendahulukan atau mengakhirkannya, apabila ia tidak khawatir tertidur pulas/nyenyak dari mengerjakannya pada waktunya. Adalah Ibnu Umar tidur sebelum shalat isya.” (HR. Al-Bukhari no. 570)
Dalam riwayat Abdurrazzaq, dari Ma’mar, dari Ayyub, dari Nafi’, disebutkan bahwa terkadang Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma tertidur sebelum mengerjakan shalat isya dan beliau memerintahkan orang untuk membangunkannya. (Fathul Bari, 2/68)
Ibnul ‘Arabi berkata, “Tidur sebelum shalat isya ini boleh bagi orang yang yakin bahwa ia biasanya terbangun sebelum habisnya waktu shalat isya atau bersamanya ada orang yang akan membangunkannya.” (Nailul Authar, 1/461)
Adapun tentang berbincang-bincang setelah shalat isya, maka yang dimaksudkan adalah obrolan yang sebenarnya mubah bila dilakukan di selain waktu ini. Bila suatu obrolan makruh diperbincangkan pada waktu lain selain setelah isya, tentunya lebih sangat lagi dimakruhkan bila dilakukan setelah isya. Sementara perbincangan yang memang dibutuhkan maka tidaklah dimakruhkan dilakukan setelah isya. Demikian pula berbicara tentang perkara kebaikan seperti membaca hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, diskusi ilmu, cerita tentang orang-orang shalih, berbincang dengan istri, tamu, dan semisalnya. (Al-Majmu’ 3/44, Syarhu Muntaha Al-Iradat 1/135)
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “Yang zahir dari sejumlah hadits yang datang dalam bab ini adalah dibencinya berbincang dan begadang (setelah shalat isya), kecuali dalam perkara mengandung kebaikan bagi orang yang berbicara atau kebaikan bagi kaum muslimin.” (Ats-Tsamarul Mustathab fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, 1/75)
Ada beberapa hadits yang menunjukkan pengecualian dari kemakruhan tersebut:
1. Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengabarkan:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْمُرُ مَعَ أَبِي بَكْرٍ فِي الْأَمْرِ مِنْ أََمْرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَأَنَا مَعَهُمَا
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbincang-bincang (setelah shalat isya) bersama Abu Bakr dalam satu perkara kaum muslimin, dan aku bersama keduanya.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi no. 169, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
2. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:
رَقَدْتُ فِي بَيْتِ مَيْمُوْنَةَ لَيْلَةً كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَهَا لِأَنْظُرَ كَيْفَ صَلاَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاللَّيْلِ، قَالَ: فَتَحَدَّثَ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ أَهْلِهِ سَاعَةً ثُمَّ رَقَدَ
Aku pernah tidur di rumah Maimunah (istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bibi Ibnu ‘Abbas, pent.) pada suatu malam sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada (giliran bermalam, pent.) di rumah Maimunah. Aku sengaja bermalam untuk melihat bagaimana cara shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di waktu malam. Kata Ibnu Abbas, “(Setelah shalat isya, pent.) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbincang-bincang dengan istrinya beberapa saat kemudian beliau tidur.” (HR. Muslim)
3. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Usaid bin Hudhair dan seorang laki-laki lain dari Anshar berbincang-bincang di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam untuk suatu urusan mereka berdua, hingga berlalu sesaat dari waktu malam. Sementara malam itu sangatlah gelap. Keduanya kemudian keluar dari sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk pulang ke tempat mereka dan di tangan masing-masingnya ada tongkat. Maka tongkat salah satu dari keduanya bercahaya menerangi keduanya, hingga mereka berjalan dalam cahaya tongkat tersebut. Hingga ketika keduanya berpisah, menempuh jalan berbeda, tongkat yang satunya (yang semula tidak mengeluarkan cahaya, pent.) juga bercahaya. Maka masing-masing pun berjalan dalam cahaya tongkatnya hingga tiba di tempat keluarganya. (Diriwayatkan Ibnu Nashr dari Abdurrazzaq, kata Al-Imam Albani rahimahullahu, “Sanadnya shahih di atas syarat sittah.” Ats-Tsamarul Mustathab fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, 1/76)
4. Abu Sa’id, maula Anshar berkata, “Adalah Umar tidak membiarkan adanya orang yang berbicara setelah shalat isya. Beliau berkata, ‘Kembalilah kalian (jangan terus ngobrol setelah shalat isya. pent.), mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rizki kepada kalian dengan kalian bisa mengerjakan satu shalat, atau kalian bisa tahajjud.’ Lalu ‘Umar sampai ke tempat kami. Ketika itu aku sedang duduk bersama Ibnu Mas’ud, Ubai bin Ka’b dan Abu Dzar. Umar bertanya, ‘Untuk apa kalian duduk di sini?’ Kami menjawab, ‘Kami ingin berdzikir kepada Allah.’ ‘Umar pun ikut duduk bersama mereka. (Diriwayatkan oleh Ath-Thahawi 2/391, Ats-Tsamarul Mustathab fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, 1/77)
Dibencinya Menamakan Isya dengan ‘Atamah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَغْلِبَنَّكُمُ الْأَعْرَابُ عَلَى اسْمِ صَلاَتِكُمُ الْعِشَاءِ، فَإِنَّهَا فِي كِتَابِ اللهِ الْعِشَاءُ وَإِنَّهَا تُعْتِمُ بِحِلاَبِ الْإِبِلِ
Jangan sekali-kali orang-orang A’rab (Badui) mengalahkan kalian dalam penamaan shalat isya kalian ini, karena shalat ini dalam kitabullah disebut isya5 dan ia diakhirkan saat diperahnya unta.” (HR. Muslim no. 1454)
Dalam riwayat Ahmad disebutkan:
إِنَّمَا يَدْعُوْنَهَا الْعَتَمَةَ لِإِعْتَامِهِمْ بِالْإِبِلِ
“(Orang-orang A’rab) menyebut isya dengan atamah, karena mereka mengakhirkan pemerahan unta sampai malam sangat gelap (dan di saat itulah dilaksanakan shalat isya, pent.).” (Kata Al-Imam Albani rahimahullahu: “Sanadnya shahih di atas syarat Muslim.” Ats-Tsamarul Mustathab, 1/77)
Namun bila sekali-sekali maka boleh dipakai istilah shalat ‘atamah, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda dalam hadits yang terdapat dalam Ash-Shahihain:
وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِي الصُّبْحِ وَالْعَتَمَةِ لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا
Seandainya mereka mengetahui keutamaan/pahala yang didapatkan dalam shalat subuh dan atamah (secara berjamaah di masjid, pent.) niscaya mereka akan mendatanginya walaupun dengan merangkak.”
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata, “Ada yang mengatakan bahwa hadits ini sebagai nasikh (penghapus) hadits yang melarang penamaan isya dengan ‘atamah. Adapula yang mengatakan sebaliknya. Namun yang benar adalah apa yang menyelisih dua pendapat ini, karena tidak diketahuinya tarikh. Dan sebenarnya tidak ada pertentangan di antara kedua hadits ini. Dengan demikian, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melarang penamaan isya dengan ‘atamah secara mutlak. Namun beliau hanya melarang bila sampai nama yang syar’i, yaitu isya, sampai ditinggalkan. Karena isya adalah nama yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam Al-Qur`an, sementara nama ‘atamah telah mengalahkannya. Apabila shalat ini dinamakan isya namun terkadang ia disebut ‘atamah maka tidaklah apa-apa. Wallahu a’lam.
Dalam hadits ini ada penjagaan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap nama-nama yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan terhadap ibadah-ibadah yang ada. Sehingga nama tersebut tidak ditinggalkan, lalu nama yang tidak dari Allah Subhanahu wa Ta’ala justru diutamakan, sebagaimana yang dilakukan orang-orang belakangan. Di mana mereka meninggalkan lafadz-lafadz nash dan lebih mengutamakan/mengedepankan istilah-istilah yang baru. Karena hal ini, terjadilah kerusakan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sajalah yang mengetahuinya.” (Zadul Ma’ad, 2/9)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Karena didapatkan riwayat mauquf dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau memaknakan syafaq dengan humrah, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan Ad-Daraquthni.
2 Wanita dan anak-anak yang ikut menanti shalat isya di masjid. ‘Umar menyeru demikian karena menyangka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat isya karena lupa. (Al-Minhaj, 5/139)
3 Dalam riwayat Muslim diterangkan bahwa hal itu terjadi sebelum tersebarnya Islam di tengah manusia.
4 Ada yang mengatakan bahwa hikmah pelarangan berbincang setelah shalat isya adalah agar jangan sampai hal itu menjadi sebab seseorang meninggalkan qiyamul lail (shalat malam), atau ia tenggelam dalam obrolan kemudian tertidur pulas setelahnya hingga habis waktu shalat subuh. (Al-Majmu’ 3/44, Fathul Bari, 2/66)
5 Yaitu dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surah An-Nur ayat 58:
وَمِنْ بَعْدِ صَلَاةِ الْعِشَاءِ